![]() |
ilustrasi. sumber: harianhaluan.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Istilah seperti judul di atas pertama kali menyeruak saat Menteri
PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI
dengan agenda pembahasan Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) Kementerian PPN/Bappenas Tahun 2025, Kamis, 13 Juni 2024.
Dalam forum rapat tersebut, Suharso menyebut dua istilah dalam satu
tarikan nafas, yang menurut saya menarik sekaligus urgen untuk dicakap-renung
kembali yaitu ketindihan teknokratik dan ketindihan intelektual. Ketindihan
menunjukkan suatu kondisi dimana tubuh tidak bisa
bergerak secara leluasa lantaran ada sesuatu yang sangat membebaninya. Sedangkan
istilah teknokratik dan intelektual, meski secara lughowi maupun istilahi bisa
berbeda, tapi dalam konteks perencanaan bertolak dari satu gagasan pokok yaitu
penggunaan metode dan kerangka pikir ilmiah dalam penyusunan rencana
pembangunan baik nasional maupun daerah, sehingga pelaksanaannya sesuai tujuan sekaligus tepat
sasaran.
Kedua istilah itu muncul bertepatan Suharso menjawab pelbagai pertanyaan
anggota Komisi XI saat memperdalam RKA Kementerian/Lembaga yang dinilai masih
belum sejalan dengan target yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) tahunan, turunan dari RPJMN dan RPJPN. Mendengar istilah itu, terang saja
peserta rapat dibuat terheran-heran. Begitu juga saya pribadi saat menyaksikan
melalui kanal youtube milik Komisi XI
DPR RI (https://www.youtube.com/live/0ygx_u-5AIU?app=desktop).
Dua contoh kasus yang disampaikan oleh Suharso dalam forum rapat itu
menyasar pelaksanaan program revolusi mental dan penanganan stunting. Memang, di bawah kepemimpinan
Presiden Jokowi, kedua program itu termasuk prioritas nasional. Tak syak, dalam
banyak kesempatan Jokowi sendiri kerap mengeluh sekaligus mengingatkan kepada Menteri,
Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Wali Kota agar efektif dan efisien
membelanjakan program kegiatan pemerintah. Baginya, program berbau seremonial
dan segala hal yang tidak secara langsung terhubung dengan RKP harus
dihindari.
Faktanya, pada dua program priroitas nasional tersebut dalam
pelaksanaannya justru digunakan membeli motor trail (untuk revolusi mental) dan
pembangunan pagar puskesmas pada program penurunan angka stunting. Tak pelak, di hadapan anggota Komisi XI DPR-RI Suharso
berkali-kali menggelengkan kepalanya. Bagi Suharso, dua bentuk kegiatan
tersebut jelas tidak sejalan dengan target indikator kinerja utama dari program
prioritas nasional pada K/L terkait. Namanya juga contoh kasus, bisa jadi itu
hanya sepersekian dari kemungkinan masih banyaknya implementasi program oleh
K/L berbiaya jumbo, yang belum tentu sejalan dengan target pembangunan yang
telah ditetapkan.
Pangkal masalahnya, meski berkedudukan strategis sebagai Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (lebih lanjut baca Peraturan Presiden No. 80
Tahun 2021 tentang Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan
Presiden No. 81 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), lembaga yang
dinahkodai oleh Suharso justru tidak kuasa mengoreksi, apalagi menghentikan
kegiatan semacam itu (bagian terkecil dari ribuan program yang mengatasnamakan
prioritas nasional), karena penempatan alokasi anggaran berada langsung di
sistem kementerian teknis atau lembaga masing-masing. Di sinilah, konteks
ketindihan teknokratik yang dikemukakan Suharso dapat dimengerti.
Berdasarkan peran dan fungsi Bappenas yaitu perencanaan, alokasi,
pengendalian dan enabler, anggota
Komisi XI meminta keberanian Bappenas untuk lebih serius memantau dan mengawasi
program prioritas di setiap K/L. Bahkan, Bappenas dihujani pelbagai pertanyaan
sekaligus kritik merujuk hasil pengawasan DPR-RI terhadap pelaksanaan program
kegiatan pemerintah di lapangan, antara lain pelaksanaan manajemen resiko
pembangunan nasional, satu data indonesia, percepatan pembangunan Papua, RPJP, pengentasan
kemiskinan, ekonomi hijau, peta jalan transformasi ekonomi Indonesia,
pengembangan ekosistem industri kedirgantaraan, sampah nasional, Inpres jalan,
air minum dan layanan pengolahan air limbah domestik dan masih banyak pekerjaan
rumah lainnya yang bersifat terintegasi antar kementerian/lembaga. Begitu juga tantangan
Indonesia yang terperangkap dalam negara berpendapatan menengah (Middle income
trap), sehingga sulit (kalau bukan tergopoh-gopoh) menjadi negara maju.
Gayung pun bersambut, muncul narasi berjamaah dari Komisi XI supaya
Bappenas diperkuat keberadaannya untuk mengkoordinasikan seluruh program kementerian/lembaga
sehingga sesuai cetak biru yang ditetapkan atau familiar kita kenal dengan
sebutan RPJPN dan RPJMN dan dokumen terunan lainnya seperti rencana strategis
maupun rencana kerja K/L. Jika tidak begitu, laju pertumbuhan pembangunan
nasional bisa kocar-kacir tanpa haluan yang jelas sebagai pegangan bersama. Seturut
kemudian, salah satu Anggota Komisi IX menyampaikan sebuah adigium yang familir
bagi para perencana pembangunan yakni “salah dalam merencanakan, itu sama
halnya merencanakan kegagalan”.
Di luar soal kafasitas dan kafabilitas Bappenas yang menjadi titik
perhatian Anggota Komisi XI, hemat saya ketindihan teknokratik maupun ketindihan
intelektual yang diungkapkan oleh Suharso adalah suatu kenyataan (untuk
menyebut potret buram) dalam pelaksanaan pembangunan baik nasional maupun daerah,
yang menujukkan bahwa pembiayaan program/kegiatan yang bersumber dari APBN
maupun APBD masih belum sepenuhnya mencapai kondisi yang lebih baik secara
terencana demi kesejahteraan masyarakat. Maka, dalam konteks itu, pendekatan
teknokratik menjadi relevan untuk mencapai kesejahteraan melalui adanya
perencanaan pembangunan secara holistik, berkeadilan serta berkelanjutan. Bukan
asal program/kegiatan terealisasi 100 persen baik dari aspek fisik maupun
keuangan.
Sebagai pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan pembangunan, merujuk
Undang-Undang 25 Tahun 2004 terdapat lima pendekatan yang terintegrasi satu
sama lain, yaitu politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top-down) dan
bawah-atas (bottom-up). Kelima jenis pendekatan perencanaan pembangunan
tersebut tidak bisa berdiri sendiri karena dalam pelaksanaannya memiliki
plus-minus, sehingga diperlukan satu gerak irama seiring sejalan, sehingga
tidak berlaku parsial.
Seturut hal itu, kontribusi perencaan pembangunan tidak melulu
bergantung pada penyelenggara pemerintah, melainkan juga keterlibatan aktif beberapa
aktor yang dapat ikut merencanakan dan memantau jalannya pembangunan yaitu
seperti pemerintah, akademisi, sektor swasta, masyarakat, dan Non-Governmental
Organizations (NGO).
Memaknai persoalan sekaligus tantangan Bappenas di atas, sejatinya
menunjukkan perlu adanya pembenahan secara menyeluruh mulai dari cara
merencanakan pembangunan, mengelola pembangunan, pengendalian pembangunan dan memastikan
kesinambungan pembangunan itu sendiri. Hal itu tidak saja berlaku pada level
pemerintah pusat, melainkan juga bagi pemerintah daerah.
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik artikel pada portal jamberita.com pada Rabu, 11 September 2024.
0 Komentar