![]() |
| Pallubasa Makassar |
Oleh: Jumardi Putra*
Saat sedang asyik rebahan di hotel,
sembari membaca buku bertajuk Meniti Jalan Berduri: mengenang sosok dan
pemikiran mendiang intelektual sekaligus aktivis George Junus Aditjondro,
tiba-tiba telepon genggam yang tergeletak tidak jauh dari saya berdering.
Ternyata, yang menghubungi saya adalah Noki Hidayat, sejawat kantor yang juga
menjabat sebagai Kepala Bagian Persidangan Sekretariat DPRD Provinsi Jambi.
Kami pun terlibat percakapan singkat yang berujung mengajak saya, Ammar
dan Bang Firman menyantap Pallubasa.
Ini adalah pertama kali saya
mendengar nama makanan khas Makassar itu. Tanpa ragu, saya pun mengiyakan
ajakannya. Ternyata, warung makan yang menyajikan Pallubasa itu berada di
Jakarta Utara, sementara saya dan beberapa kawan lainnya menginap di salah satu hotel di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, saya berpikir ajakan makan malam itu masih di sekitar Sabang, pusat
kuliner di Jakarta Pusat yang terkenal dengan beragam pilihan makanan berat dan
camilan, terutama karena lokasinya yang dekat dengan pusat perkantoran.
Kami pun naik GrabCar menuju Jalan
Boulevard Raya I4 No.6, Kelapa Gading, Jakarta Utara, dari arah Jalan Wahid
Hasyim. Jalanan setelah Magrib malam itu tidak begitu padat, sehingga kami
hanya membutuhkan waktu kira-kira 40 menit untuk sampai di lokasi, tepatnya di
Jalan Boulevard Raya I4 No.6, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Benar saja, dari balik kaca jendela
mobil, saya membaca kalimat "RM Pallubasa Serigala: Cabang Makassar".
Tidak hanya itu, pengunjung warung itu juga ramai. Menurut pengakuan salah satu
pegawai warung, ini adalah tempat makan Pallubasa yang paling banyak dikunjungi
di Jakarta. Rumah Makan Makassar di Kelapa Gading ini merupakan cabang dari
restoran asalnya di Makassar yang telah berdiri sejak 1986. “Kenapa ada kata
Serigala,” tanya saya. “Itu alamat jalan asal pemilik warung Pallubasa ini di
Makassar,” balasnya menjawab keheranan saya.
![]() |
| Petugas RM Pallubasa Serigala |
Saya bukan penikmat kuliner yang
militan. Tapi saya sulit menyangkal bahwa Pallubasa ini ueeenak. Tekstur daging
sapinya sangat empuk dan mudah dikunyah. Campuran serundeng membuat aroma
hidangan tambah wangi. Selain semangkuk kuah, Pallubasa juga disajikan bersama
sepiring nasi. Bagi pecinta makanan pedas, cukup menambahkan sambal pada
kuahnya. Pallubasa sekilas terlihat mirip Coto Makassar, namun keduanya sangat
berbeda. Pallubasa juga menggunakan telur bebek atau ayam, baik matang maupun
mentah, dalam penyajiannya. Namun, saya sendiri tidak menambahkan telur,
kecuali tiga sejawat saya lainnya.
Perbedaan mendasar antara Pallubasa
dengan Coto Makassar ataupun sup daging lainnya terletak pada kuahnya. Kuah
kental Pallubasa berasal dari campuran beragam rempah-rempah khas seperti
lengkuas, serai, jintan, bawang merah, pala, bawang putih, jahe, asam, kayu
manis, gula merah, dan cabai keriting yang dihaluskan. Bumbu halus ini kemudian
ditumis hingga wangi dan dicampurkan ke dalam air yang sudah dididihkan. Daging
sapi atau jeroan (isi dalam perut sapi) yang telah direbus, kemudian
dipotong-potong dan dicampur dengan kuah rempah tersebut.
Sebagai sentuhan akhir dan juga
merupakan ciri khas dari Pallubasa adalah penambahan kelapa parut yang telah
disangrai (serundeng) sehingga kuahnya menjadi kental dan gurih. Tambahan lain
yang membuat Pallubasa lebih spesial adalah dengan menambahkan telur ayam yang
dimasak setengah matang. Sebelum menyantap pallubasa, saya sempat
sejenak melihat dari dekat petugas rumah makan menyiapkan Pallubasa yang dipesan oleh para
pengunjung malam itu.
Di tengah makan, barulah sejawat Noki
Hidayat, menceritakan kepada saya latar belakang ketertarikannya pada kuliner
nusantara, galibnya kala ia melaksanakan urusan kantor di daerah-daerah di
tanah air. Ia mengatakan bahwa Pallubasa adalah salah satu makanan legendaris
yang cukup terkenal di kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Atas dasar itu
pula ia ingin menyantap Pallubasa malam itu, kendati beberapa hari sebelumnya
ia sudah menikmati menu makan yang sama di kota Bandung.
Merujuk pelbagai informasi seputar
makanan khas Makasaar ini, "Pallu" berarti masakan dan
"Basa" berarti berkuah. Maka Pallubasa diartikan sebagai
"masakan berkuah". Awalnya, Pallubasa adalah masakan yang hanya
diperuntukkan untuk kelas pekerja seperti kuli bangunan, tukang becak, dan
kelas pekerja lainnya. Hal ini dikarenakan pada masa itu Pallubasa merupakan
makanan termurah yang hanya dapat dijangkau oleh para pekerja.
Biasanya, setiap mengunjungi daerah-daerah lain di tanah air selain urusan kantor, saya lebih sering menyisakan waktu untuk
mengunjungi gedung-gedung bersejarah (heritage), museum, pusat studi,
perpustakaan kampus, tokoh akademisi/peneliti, dan toko-toko buku, ketimbang menikmati kuliner. Namun, setelah menyantap Pallubasa, terlintas di pikiran saya bahwa
sesekali saya perlu menikmati
kuliner khas nusantara--mustikarasa Indonesia--di setiap daerah yang
berkesempatan saya kunjungi ke depan. Semoga.
*Jakarta, Oktober 2025.



0 Komentar