Baduneh: Rumput Tetangga Selalu Terlihat Lebih Hijau

ilustrasi hidup sederhana. sumber: ANTRA News


Oleh: Jumardi Putra*

 

Tidak ada hidup yang benar-benar sempurna. Di balik pintu yang tertutup, setiap orang di rumahnya masing-masing sedang memperjuangkan pertempuran yang tidak kita ketahui.

 

Sewaktu kecil saya kerap mendengar kata “baduneh” dari para orang tua di dusun—sikap iri terhadap capaian orang lain terhadap hal-hal meterial, terutama terjadi sesama tetangga dekat rumah di sebuah pemukiman warga.

Sejauh pencermatan saya, baduneh itu lebih menunjukkan sisi negatif ketimbang titik balik (sikap positif) untuk menjadi lebih baik daripada orang lain secara wajar. Ambil misal, seorang warga membeli televisi berukuran jumbo, kulkas empat tingkat dan mobil baru, maka muncul desas-desus dari tetangga terdekat lainnya menyoal capaian itu dan saat yang sama mereka berusaha menunjukkan kemampuan membeli barang-barang mewah serupa. Begitu seterusnya pada contoh-contoh lain, kendati sejatinya harus ngutang sana-sini demi untuk terlihat mampu di mata tetangga lainnya. 

Tak pelak, baduneh makin membuat budaya konsumerisme menggergaji setiap warga, dan hal itu tidak pandang bulu kelas ekonomi, karena realitas di lapangan juga terjadi antara sesama kelas ekonomi menengah tanggung hingga level elit. Ringkasnya, sifat baduneh bisa menjangkiti warga desa hingga perkotaan.

Sikap demikian itu jelas tidak sehat secara mental dan berujuang pada karakter diri yang menghalalkan segala cara. Bukan tanpa sebab, dalam wujudnya yang beragam, korupsi dan atau menghalalkan segala cara (baca: melawan hukum) menjadi pilihan tidak terelakkan untuk memenuhi hasrat memiliki serba apa saja yang dimiliki oleh tetangga atau orang lain di dekat kita.     

Saya tidak tahu persis asal muasal kata baduneh itu, tetapi ia melekat kuat dalam kehidupan sehari-hari warga di dusun tempat saya lahir dan tumbuh besar di Kabupaten Bungo. Disksi baduneh secara lughawi bisa berbeda antara satu dusun dengan dusun lainnya, tetapi sifat yang dimaksud baduneh itu juga kerap kita jumpai di banyak tempat di manapun kita bermukim. Dalam artian luas, sikap baduneh itu bisa menyentuh pelbagai konteks kehidupan setiap manusia di pelbagai level dan tingkatan.  

Secara kekinian, baduneh itu mendekati seperti bunyi kalimat berikut ini: rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Pangkal masalahnya yaitu, seringkali kita alfa bahwa kita tidak tahu berapa besar biaya "air" yang mereka (subjek yang diirikan) keluarkan untuk menyiramnya, atau apakah rumput itu sebenarnya hanya plastik belaka.


Dari Sebuah Kisah

Di sebuah perumahan kelas menengah, hiduplah seorang wanita bernama Aini. Ia adalah perempuan yang rajin, walakin ia memiliki satu kebiasaan kurang elok yaitu sering mengintip kehidupan tetangganya, Rahma, dari balik jendela.

Rahma terlihat memiliki segalanya. Suaminya sering membawakan kejutan berupa hadiah sepulang dari kerja di luar kota, anak-anaknya selalu terlihat berpakaian branded, dan yang paling membuat Aini iri adalah mobil baru yang parkir di depan rumah Rahma setahun sekali.

"Lihat itu," keluh Aini pada suaminya saat makan malam. "Rahma baru saja membeli meja mewah ruang tamu dan perabot dapur. Padahal perkakas ruang tamu dan seisi dapur kita sudah pada rusak. Mereka pasti punya banyak uang, ya? Hidup mereka sangat sempurna."

Suaminya tidak lantas terpancing, melainkan melempar senyum tipis dan menjawab, "Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah orang lain, Sayang. Mari syukuri apa yang kita punya sejauh ini." Mendengar jawaban sang suami, Aini bersikap dingin. Bahkan, ia menunjukkan sikap kecewa terhadap suaminya yang tidak mengerti maksud dan keinginanya agar sang suami lebih keras lagi bekerja mencari uang agar bisa seperti Rahma, si tetangga itu.

Waktu terus berjalan. Suatu sore, Aini melihat ambulans berhenti di depan rumah Rahmah. Dengan rasa penasaran yang bercampur cemas, ia keluar rumah. Ia melihat Rahma keluar dengan mata sembab, mengantar suaminya yang terkulai lemas di atas tandu.

Beberapa hari kemudian, Aini memberanikan diri berkunjung membawa hantaran makanan dan bebuahan. Saat masuk ke dalam rumah Rahma, Aini tertegun. Di balik barang-barang mewah yang sering ia irikan, suasana rumah itu terasa sepi dan dingin.

Rahma bercerita dengan suara lirih, "Suamiku bekerja 15 jam sehari untuk membayar semua cicilan ini dan pengobatan sakit jantungnya yang selama ini kami rahasiakan. Mobil baru itu sebenarnya bukan milik kami, tapi fasilitas kantor agar suamiku bisa terus bekerja meski fisiknya mulai lemah. Kami jarang sekali bisa duduk makan malam bersama seperti keluargamu."

Rahma menatap Aini dengan wajah teduh, "Aku sering melihatmu dari jendela saat sore hari, Aini. Aku sangat iri melihatmu dan suamimu tertawa sambil berkebun di halaman kecil di sebelah rumahmu. Mendengar itu, Aini diam seribu bahasa. ia tertegun cukup lama. Tidak lama setelah itu, ia teringat ucapan dan mimik muka suaminya yang selalu sabar kala ia mengeluhkan ingin memiliki barang-barang mewah seperti yang dimiliki oleh Rahma. Kini, justru dari Rahma langsung Aini mengetahui tentang sikap salah kaprahnya melihat semua yang dimiliki oleh Rahma. Kedua matanya pun meneteskan air mata, lalu kedua tangannya segera memegang erat kedua tangan si Rahma. Mereka berpelukan saling menguatkan.

Dalam perjalanan balik ke rumah, Aini berulangkali menyesalkan sikapnya terhadap sang suami. Begitu juga sikap irinya kepada si Rahmah. Ia sadar sikap iri tidak mengantarkan siapapun pada level kehidupan yang wajar sekaligus menenangkan.

Jika segala sesuatu yang kita lihat pada orang lain hanya di permukaan, tanpa melihat perjuangan atau penderitaan di baliknya, maka niscaya itu membuat kita tidak bersikap adil dan terjerumus pada prasangka serba buruk. Begitu juga saat kita sibuk menghitung berkah orang lain, kita lupa menghitung berkah yang kita miliki sendiri.

Pada akhirnya, tidak ada hidup yang benar-benar sempurna. Dunia ini bukan surga dan tak perlu juga menjadikan sebagaimana kita membayangkan surga. Di balik pintu yang tertutup, setiap orang di rumahnya masing-masing sedang memperjuangkan pertempuran yang tidak kita ketahui. Maka, berhentilah membandingkan jalan hidupmu dengan orang lain. Setiap oang sedang berada di bab masing-masing, yang setiap bab memiliki tantangan masing-masing dan bahkan, genre cerita di setiap bab tidak selalu dalam makna tunggal.

Demikian itu sifat buruk dari Baduneh, pesan bijak bestari yang sedari dahulu disampaikan oleh orang tua terdahulu di dusun-dusun secara turun temurun kepada anak cucu mereka.


*Kota Jambi, 22 Desember 2025.

 

*Berikut tulisan-tulisan saya senafas lainnya:

1) Esok, Kita Menemukan Sekali Lagi, Kenyataan Dunia Ini

2) Sepotong Hati Rodiyati Ningsih

3) Hidup Sederhana yang Tidak Sederhana

4) Hasta Siempre, Viejo Querido: Belajar dari Jose Mujica

5) Barangkali Memang Kita Harus Berduka

6) Keluar dari Jeratan Trauma 1965

7) Besak Ota

8) Belajar dari Kegagalan J.K. Rowling

9) Mereka Pulang Sebagai Orang Yang Sama Seperti Sebelum Pergi

10) Sepotong Hati di Restoran Hotel Suatu Pagi

11) Digergaji Konsumsi 

12) Kehidupan Ini Tidak Kita Biarkan Jatuh dalam Ratapan dan Tangisan

13) Dari Hari Ke Hari: Fragmen X

14) Dari Hari Ke Hari: Fragmen IX

15) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VIII

16) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VII

17) Dari Hari Ke Hari: Fragmen VI

18) Dari Hari Ke Hari: Fragmen V

19) Dari Hari Ke Hari: Fragmen IV

20) Dari Hari Ke Hari: Fragmen III

21) Dari Hari Ke Hari: Fragmen II

22) Dari Hari Ke Hari: Fragmen I

0 Komentar