Dari Hari ke Hari: Fragmen II

ilustrasi. sumber: orioncreatives

Oleh: Jumardi Putra*

Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.

Berikut ini percikan permenungan Dari Hari ke Hari yang saya tulis singkat sebagai status di aplikasi perpesanan whatsapp maupun facebook. Mungkin ada gunanya.

***

Kesan yang mengemuka di balik opsi Pilkada tidak langsung adalah bagaimana anggota legislatif memandang peluang atau kekuasaan yang ingin diraih sebagai legitimator dan pengakses sumber-sumber kuasa, tidak hanya politis, tetapi juga ekonomi. Sehingga prinsip-prinsip ideal yang membuat kursi legislatif dihormati sejarah tidak lagi menjadi acuan dan pegangan.

Saya teringat kata budayawan Radhar Panca Dahana, “Wahai (bukan) wakil rakyat, sejatinya anda ingat, dimana pundak anda sudah kami perkuat dengan seluruh sumber daya yang kami miliki, agar kami bisa bersandar saat kami butuh bantuan”. Di situlah saatnya kita bersama, tetapi tampaknya anda terlalu mudah mengingkari itu semua.

Pilpres sudah selesai. Kami, rakyat, kembali bekerja seperti hari-hari biasa, tanpa lagi dibatasi oleh pilihan politik. Sementara kalian, wahai pejabat maupun elit partai, mabuk pada candu kekuasaan (power) karena menjanjikan kemegahan pribadi (self-glory) dan kesenangan hidup (pleasure).

(2019)

Indonesia baik-baik saja, hanya pengelola negara yang berat rusaknya. Wahai penguasa, jangan ceramahi kami bagaimana cara mencintai bangsa Indonesia, karena kami telah membuktikannya. Wahai penguasa, kalian hanya pintar memuliakan "merah putih" dengan kata-kata, tidak dengan kerja nyata.

(2019)

Menyerahkan 100 persen urusan kebudayaan kepada SKPD adalah tindakan keliru. Apa pasal? (1) Program kebudayaan yang didesain mengarah jauh ke substansi pariwisata, (2) Progam promosi pariwisata di dalam dan luar negeri tak jelas output dan outcomenya, (3) Kerja-kerja penelitian budaya kalah seksi dari iven-iven kesenian tiap tahun yang cenderung klise, (4) Belum adanya pengejawantahan dari rencana induk pengembangan budaya dan pariwisata provinsi Jambi, sehingga program-program pengembangan pariwisata tampil parsial.

Demikian itu hanya sekelumit catatan penting dari sekian banyak program yang direncanakan dan luput dari perhatian publik. So, what are we going to do about it?

(10 Januari 2017)

Kondisi mutakhir koleksi perpustakaan Taman Budaya Jambi. Menyimpan dokumentasi kesenian berbentuk rekam dan cetak, seperti buku, kumpulan makalah, diktat, pamflet, brosur, CD, lukisan, dan photo, yang menandai laku serta geliat pemikiran kesenian di Jambi. Hanya cara kita merawat dan merayakan tak sepadan dengan keistimewaannya.

(15 Januari 2017)

Lebih baik dipahami sedikit orang, tapi utuh. Ketimbang dipahami banyak orang, tapi sepotong-sepotong.

(15 Januri 2017)

Memilih demokrasi berarti menyadari berlakunya hanya sebagian dari ide-ide (partial functioning of ideas). Karena itu demokrasi mensyaratkan saling percaya (mutual trust) dan saling menghargai (mutual respect). Untuk mencapai ke arah itu sikap kemutlak-mutlakan (all or nothing, take it or leave it) dan opurtunisme tidaklah tepat, tetapi menempuh kompromi atas dasar pertimbangan prinsipal: kemaslahatan umum.

(12 Januari 2017)

Makna yang diinternalisasi (saya menyebutnya-dilekati), seperti nilai-nilai keluhuran agama, keadiluhungan budaya, heroisme, sebagaimana dengan mudah kita temukan di banyak monumen, patung dan prasasti di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah, mungkin masih akan memiliki fungsinya sebagai penanda arah atau orientasi, tetapi tak pernah lagi makna yang persis ketika niat pertama kali dibuat, melainkan sebagai pengejawantahan turisme atau peristiwa yang kasatmata, fisik dan visual semata.

Ambil misal, tugu “selamat datang” di Kota Jambi dianggap sebagai gerbang Kota Jambi, yang melambangkan keramahan warga Jambi menerima setiap orang yang datang dari luar. Begitu juga dengan Tugu Juang, yang mensimbolkan heroisme dan cinta tanah air.

Benar tidaknya tafsir di atas, menurut hemat saya, tidak lagi relevan jika kita mencoba membaca apa makna monumen tersebut di tempat itu hari ini.

(2016)

Seminggu yang lalu saya mengunjungi Masjid Demak, Jawa Tengah. Kunjungan itu berulangkali saya lakukan, terlebih saat masih nyantri di Pesantren Tebuireng. Di situ yang membuat saya takjub, betapa "Rumah Tuhan", simbol kesetiaan sekaligus cinta umat Islam yang sungguh-sungguh pada sang pemilik kehidupan, dibangun dari sesuatu yang terbuang dan tidak selalu utuh (merujuk tatal/potongan kayu, yang kemudian menjadi penopang langit masjid).

Tidakkah itu menjadi isyarat betapa mengakrabi Tuhan tidak lantas memaksa (dengan cara kekerasan) pada apa yang disebut sebagai jalan "lurus" dan "kokoh". Tuhan dengan ke-Maha-an-Nya tetaplah keluasan yang tidak bisa dipersempit oleh cinta dan rasa patuh yang arogan, gegabah, serba paling benar, dan apatahlagi irasional.

(2016)

"Batanghari" dalam banyak agenda kesenian (untuk menyebut pentas/panggung) di Jambi, hemat saya gagal menempatkannya sebagai lalu lintas keberbagaian Nusantara dan warga dunia. Ia masih tampil dalam formatnya yang sempit, terjerembab masa lalu, sehingga berujung pada 'kultus privatus'.

Tidak heran, bila kita melihat panggung-panggung kesenian, meski dengan nama dan slogan yang berubah-ubah pada setiap tahun anggaran dililit kejumudan. Atas dasar itu, memikir ulang cara melihat "Batanghari" sekaligus desain agenda-agenda kesenian yang relevan dengan semangat zaman merupakan usaha yang sangat beralasan. Di situlah 'maqam' para insan seni. Bukan sebaliknya, menyerahkan seratus persen (untuk menyebut taklid buta) pada tafsir instansi teknis pemerintah yang diamanat mengurusi kebudayaan.

(2016)

Pemekaran Bungo dan Tebo pada 12 Oktober 1999 mengilhami terjadinya perubahan semboyan bagi keduanya, yang semula berbunyi "Bumi Sepucuk Bulat Seurat Tunggang" (1965) menjadi "Langkah Serentak Limbai Seayun" (Kab. Bungo) dan "Serentak Galah Serengkuh Dayung" (Kab. Tebo).

Perubahan tersebut penting ditilik, terutama soal bagaimana "kenangan masa lalu” dan “kolektivitas” itu dihimpun dalam “icopakai” adat-istiadat yang kini terbelah secara administratif atau kewilayahan. Adakah yang mengulasnya? Tentu saya tidak berhenti berharap.

(2016)

Refleksi setelah Ngangkring di Sarasehan Anak Negeri, Jambi TV. Saya jadi teringat penggalan puisi Ook Nugroho (2009), Kami akan pergi/Kembali pada sungai/Sebab mereka paham/Arah ke muara. Maka, di situlah kebudayaan (gugusan ide/norma/nilai-nilai, etika,dan estetika) yang menjadi basis bagi kerja-kerja penyelenggaraan substansi demokrasi.

Tidak sebagai kue, tapi sebagai perimbangan kehidupan. Budayawan Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai proses pengabdian dan pengadaban negeri. Tetapi sungguh disesalkan, kebudayaan dalam dinamika Pilgub kali ini, bahkan nun jauh sebelum ini, sekedar feriferik, kalau bukan teralienasi.

( 2016 )

Di negeri ini, praktik-praktik politik bagai kerumuman orang-orang di pasar. Transaksi antar partai maupun elit politik penuh gaduh. Para caleg maupun kandidat presiden-wakil terperangkap dalam sangkar virtual. Di ruang terbuka, slogan, jargon, dan janji-janji “serumpun padi” menjelma “tebaran ilalang”.

(2016)

Membaca 'Tuesday With Morrie' karya Mistch Albom serasa berada di halte intisari dunia antara: kesementaraan dan keabadian. Serangkaian ajakan yang tidak datang sebagai khotbah. Harapan yang menguatkan untuk tidak memilih berhenti saat dihadapakan dengan kebuntuan. Ada kemanusiaan yang dasariah, pun tak tercatat dalam bahasa pelarian. Semua berjalan mulus, sekaligus penuh terjal.

Disadari oleh Morrie sekaligus menghendaki kemudahan, tanpa kemudian menyesali sepenuhnya pada kesulitan yang didapati. Sepanjang jalan, ada banyak perempatan yang menyediakan tawaran jawaban, yang tak terkirakan tentang hal-hal yang belum selesai. Sementara di saat bersamaan, kematian itu terekam oleh keadaan badan yang mulai kehilangan intensitasnya.

Saya kira, inilah detik-detik yang menegangkan sekaligus menjanjikan untuk sebuah pelajaran pada kenikmatan yang terberikan dan teruji oleh kerja optimis saat nyawa masih dikandung badan. Puncaknya segala macam ekspresi Morie jelang ajal memisahi badan, selalu ada kesempatan untuk memberi harapan.

(2016)

Tak perlu rumit, lebai, apalagi naik pitam, memaknai kehadiran ruang publik, yang satu-dua hari ini bak gadis seksi, kecuali "bersikap adil" terhadap SY Fasha, bahwa Pedestrian Jomblo, ketika bersanding dengan ruas jalan yang ramai, tempat sebagian warga kota melepas penat di tengah rutinitas yang jumud, dan kaum remaja yang sedang menafsir anak tangga cinta, serta kekanak dan orang dewasa yang berolahraga, sejatinya yang dilekatkan padanya sebagai subkultur antah-berantah" menjadi tidak relevan. Apalagi dibumbui moralitas sempit 

Toh kalaupun dipaksakan menggunakan istilah berbumbu lokal, bersangkut tradisi dan budaya, tidak serta-merta menggaransi masing-masing kita, apalagi para pejabat, mencintai sejarah dan kebudayaan muasalnya. 

Kalaupun secara sadar ingin memperjuangkan hal-hal semacam itu, bukan sekadar nama dan simbol-simbol yang artifisial itu diketengahkan. Tidak pula dari situ memulai langkahnya. Klise dan remeh-temeh. 

Berterima kasih lah kepada SY Fasha, karena melalui Pedestrian Jomblo, ia seolah ingin bermain-main secara wajar sekaligus agak nakal "menerapungkan" kenangan masa lalu daerah ini, sebagaimana tercermin dalam polemik di jejaring sosial, yang sejatinya memperlihatkan dua kubu (pro-kontra) sama-sama terjebak dalam bahasa dan kerja-kerja sloganistik belaka. 

Baiklah Tuan dan Puan. Kalaupun ada harapan lain saya di tengah perebutan ruang tafsir terhadap Pedestrian Jomblo itu, saya hanya ingin, kepada SY Fasha, perbanyaklah dan perbaiki ruang publik hijau di Tanah Pilih ini, Sediakan juga "mobil pintar" dan bersama masyarakat, fasilitasi iven-iven seni-budaya, dari yang kecil sampai skala besar dan strategis di sana, supaya "Jomblo" tidak lagi hadir sebagaimana dicurigai, tetapi melampaui citra rendahan, udik tur primitifnya. Di situlah kebudayaan berjalan dinamis sekaligus mendewasakan simbol-simbol yang menyertainya.

Loh, bagaimana dengan Kantor Lembaga Adat (LAM) Kota Jambi, yang "dipantati" Pedestrian Jomblo dengan segala kebudayaan yg datang dan ditimbulkannya, sekaligus bertentangan dengan citra normatifnya? Saya hanya bisa berkata,"Biasa aja, Bung! Justru saatnya LAM Kota Jambi menjadi karib yang dialogis, terbuka, dan tumbuh bersama Pedestrian Jomblo, yang sudah barang tentu kompleks dan multidimensional. Tidak serba dipahami sebagai hitam-putih.

(2016)

Sungai Empelu mengisi sebagian besar album kenangan masa kecilku. Di situ saya bersama kawan-kawan berenang, menyelam hingga ke dasar sungai, melompat dari ketinggian tebing, berperahu ke hulu, menyalakan bedil minyak tanah, menjadi saksi saat ikan saluang melawan arus, beradu cepat menuruni anak tangga hingga menginjak bibir jamban, dan beramai-ramai menunaikan shalat meminta hujan (istisqa') di pulau indah.

Kini, sungai Empelu telah berubah. Meski lebaran kali ini dimeriahi pacuperahu, tetap saja ia gagal menyauk kolektivitas dari seluruh warganya. Apa pasal? Ia tak lagi jernih. Keruh. Ia dipunggungi kemasyhuran sumur bor dan jalan aspal. Bahkan belakangan ini aktivitas dompeng pun turut memperburuk ekosistem sungai. Jika pun kemeriahan terjadi tiap lebaran di sungai ini, ia tak lebih dari sekedar peristiwa yang kasatmata. Ia tak lagi menjadi pemandu arah dan orientasi. Situasi demikian mengingatkan saya pada kekhawatiran Garret Hardin (tragedy of the commons,1968), suatu ketidakbahagiaan akibat kekejaman/kerakusan untuk merebut sumberdaya alam bersama.

( Januari 2015 )

Yang tidak boleh kita abaikan sekarang ini adalah bagaimana proses pemilihan Rektor di dua kampus besar Jambi saat ini, yakni IAIN STS Jambi dan Universitas Jambi? Apakah menghasilkan figur yang menjunjung tinggi harkat ilmu dan martabat ilmuwan atau sebaliknya, gagal mewariskan jejak pikiran, karya, sumbangsih terhadap kemanusiaan sehingga membiarkan terjadinya eksodus besar-besaran di kalangan akademi bergelayut di bawah pohon rindang kekuasaan.

Keadaan demikian ini menyegarkan kembali ingatan kita pada kekhawatiran Julien Benda tentang the betrayal of intelectual, pengkhianatan kaum intelektual. Singkatnya, untuk mengetahui Jambi dewasa ini, mari lihat kampusnya.

(Oktober 2015)

Pilgub Jambi sudah di depan mata. Perhelatan lima tahunan ini juga bukan perkara politik semata. Juga bukan kepemilikan para elit partai dan calon penguasa. Ia adalah ruang publik. Tempat kemaslahatan umum dipertengkarkan, diperaturankan, dianggarkan, diwujudukan sampai kemudian dievaluasi dalam kurun waktu lima tahu sekali. Bukan kepemilikian terbatas kaum elit dan penguasa partai. Juga menghalau jauh-jauh praktik transaksional.

Pilgub juga bukan hanya peristiwa prosedural belaka. Lebih tepat ia disebut peristiwa kebudayaan. Ia berpendelum pada kemasalahatan umum. Di situlah substansinya.

Saatnya masing-masing kita, warga Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah, pada momentum Pilgub ini, menjadi subjek-subjek yang berkesadaran. Turut serta merawat dan merayakan substansi demokrasi, sebut saja seperti mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, pengejawantahan kesejahteraan, terbukanya lapangan pekerjaan, pendidikan yang bermutu, kehidupan beragama yang inklusif, dan tercipatnya keamanaan yang baik.  

(2015)

Sepuluh tahun kita diampu oleh para menteri yang berpakaian rapi, bertingkah santun, berpendidikan tinggi, dan berkomunikasi canggih, tetapi kenyataan  sebagian dari mereka menunjukkan keadaan sebaliknya. Korup!

Nah, saat ini kita dipertemukan dengan sosok menteri yang serba berterus terang, tamat SMP, merokok, bertato, dan berprestasi dalam dunia yang digelutinya, sebagian dari kita langsung menghakiminya sebagai tindakan yang seolah "ilegal." Dialah Sri Puji Astuti. Agaknya, peribahasa yang berbunyi "Mensana In Corporeseno" menemui cakap-renungnya dalam diskursus publik kita sekarang.

(2014)

Mengamati laku politik para elit di negeri ini, mengingatkan saya pada Thomas Hobbes yang melukiskan kekuasaan yang begitu besar dengan sebutan "Leviathan." Hanya saja, dewasa ini wujud praktik leviathan tersebut tidak tampil bak otoritarianisme Orde Baru, tetapi datang dengan wajahnya yang baru dalam lanskap demokrasi prosedural. Waspada!

(2014)

"Blusukan" merupakan metode mujarab bagi seorang pemimpin untuk mengasah kognisi, menyulut afeksi dan menautkan saraf sosial antar sesama, serta menguji kemantaban jiwa-raga sang pemimpin dengan rakyat yang memandatkannya. Blusukan metode sederhana untuk bersentuhan dengan keringat dan harapan warga dan ujungnya menciptakan harmonisasi antara cita-cita yang disampaikan pada masa kampanye dengan kerja nyata setelahnya. Blusukan memecah gelembung sabun yang hanya indah secara visual dan memuliakan tradisi kerja yang dilandasi pemikiran dan meditasi, refleksi dan kontemplasi.

Blusukan memang bukan hal baru, tapi pemimpin kita dewasa ini justru melawan kesemestiannya sendiri. Mereka hanya lihai memuliakan "blusukan" dengan kata-kata, tidak dengan kerja. Dengan demikian, tidaklah keliru bila krisis moral para pemimpin kita sudah sempurna.

Wahai para penguasa, janganlah berlama-lama di meja kerja, karena ide dan cita-cita sudah terlalu lama mengawang-awang di alam khayal nun jauh di sana. Bekerjalah, karena kami, rakyat Indonesia, telah lama menunggu pemimpin yang hadir tidak untuk diri dan golongannya, tapi untuk seluruh rakyat yang lahir, tumbuh, dan besar dari rahim kebangsaan kita: Indonesia.

Akankah pemimpin yang kita pilih pada Pemilu Presiden kali ini dapat meringankan beban berat republik ini atau justru sebaliknya, tidak akan terpikul lagi. Karena itu, rakyat sendiri harus mampu menunjukkan dirinya sebagai masyarakat yang tidak silau atau gampang terpukau oleh retorika politik kaum politisi yang mengumbar janji-janji kosong.

Jangan sampai suara rakyat, untuk lima tahun periode kekuasaan, digunakan para elit yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya.

(2014)

Di tengah-tengah kesengsaraan kaum miskin, di puncak piramida kita melihat banyak yang hidup dalam kebahagiaan tanpa batas. Turbulensi kejiwaan keluarga miskin sekedar komiditi di berbagai televisi dan acara berbungkus sosial. Bahkan, mitos desentralisasi-antitesa sentralisasi-yang diyakini akan mempercepat dan memeratakan kesejahteraan, justru melahirkan raja-raja baru yang berperilaku bak orde ba(r)u.

(2014)

Masihkan kita terus tumbuh hanya dengan menggali banyak batubara, menanam jutaan hektar kelapa sawit, dan mengisap gas dan minyak. Saat bersamaan, pencemaran lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam telah menjadi sumber bencana bagi kita dan bahkan bagi anak cucu kita kelak. Lalu jalan mana yang dapat kita tempuh untuk kebangunan Jambi di masa mendatang? Kebudayaan.

Saatnya kita memberi perhatian serius terhadap interes-interes yang bernilai (kedalaman) dan membangun domain tempat wacana dan opini seni-budaya diekspresikan serta tempat kegiatan-kegiatan intelektual dapat diaktualisasikan.

(2014)

Segala bentuk pendakuan (klaim) identitas kebudayaan justru akan mempersempit pembuluh darah kebudayan, yang seyognyanya dinamis, ramah, dan menjadi rumah bagi segala bentuk gagasan maupun ekspresi kebudayaan.

(2014)

Dalam pergelaran tradisi lisan Melayu Jambi yang ditaja Kantor Bahasa Jambi malam ini, usaha membentangkan tradisi lisan ke dalam sebuah pergelaran, menunjukkan fenomena "keterputusan" ketimbang "kesinambungan" (dialektik). Ia, tak ubah barang antik. Semacam kosmetika modernitas yang diburu oleh pasar (baca: pariwisata) untuk dijadikan dagangan dengan disertai umbul-umbul keadiluhungan.

Riuh tepuk tangan, sorak-orai, dan keterpukauan terhadap masa lampau, membuat "adat lamo dan pusako usang" seolah terberikan, sebagaimana saat ini kita tak kuasa bertanya secara kritis tentang apa yang kita pikir, makan, minum dan tonton sehari-hari. Lewat begitu saja!

Sebuah keadaan yang berkebalikan tentang kita dewasa ini, yg amat sering menyebutnya sebagai warisan. Toh, bukankah pewarisan (untuk menyebut regulasi) baru datang belakangan? Sementara karya budaya (tradisi lisan) yg tercipta dan berkembang itu, sedari awal tidak pernah diniatkan bahwa kelak ditetapkan sebagai warisan.

Di situlah pertaruhan ekonomi, politik, budaya, agama terjadi, dan sepanjang itu pula tafsir tentangnya mengalami perubahan, tergantung konteks yang melingkupinya.

Nah, barangkali dari situ masing-masing kita memulai, mengetengahkan pergelaran tradisi lisan sebagai penghubung kesadaran antara masa lampau dan sekarang. Dengan kata lain, pergelaran tradisi lisan (atau apapun bentuk dan jenis perhelatannya), tak lain sebagai cermin proses sejarah, sehingga membantu masyarakat saat ini menemukan kembali kesadarannya.

Karena di situ pula, dalam rentang waktu amat panjang, kita (generasi jauh setelahnya) akan melihat secara seksama elan vital alam pikiran, gejolak batin, medan magis dan spiritual, pasang-surut tafsir, re-kreasi, dan segala hal yang melingkupi tradisi lisan (sebagai perilaku dan materi) ditransmisikan daru satu generasi ke generasi berikutnya.

Sampai jumpa dialog besok malam. Semoga kita menemukan sesuatu yang hilang di balik bingkai (frame), yang nyatanya membuat banyak penonton terperangah selama pergelaran berjalan.

Hal demikian dapat ditemukan, bila kita bercakap langsung dengan pewaris dan pelaku tradisi lisan itu sendiri, di samping tentunya mendengar dan membaca tafsir-tafsir dari mereka yang pernah bersinggungan dengan tradisi tersebut, ambil misal, dalam sebuah kerja penelitian, serta penonton sebagai apresiator, yang barang tentu bisa bercerita tentang rasa keterlibatan, kenikmatan pengalaman, dan respon-respon lainnya.

(5 Mei 2014)

Di negeri ini, bukan saja soal kultur politik yang serba “tunggang-langgang”, tetapi juga praktik demokrasi yang hampir tak berkaki. Di satu sisi, institusi-institusi politik terus bermunculan, sedang pada sisi yang lain, keadilan, kesejahteraan rakyat, dan penegakan hukum masih jauh panggang dari api.

Yang menang melalui pemilihan elektoral berhasil memeroleh kekuasaan, kemegahan pribadi, dan kesenangan hidup, sedang yang kalah sebaliknya. Bahkan ada yang jatuh terpuruk dengan kondisi jiwa penuh bimbang. Keduanya sama-sama menjauhi “cahaya demokrasi”, sehingga lupa cara membuat kursi legislatif (atau pun jabatan publik lainnya) dihormati sejarah.

(2013)

 

Membaca buku ‘GusDurKu, Gusdur Anda, GusDur Kita’, karangan Muhammad AS Hikam, serasa mendapati hiburan rohani, terutama saat hidup terasa goyah di tengah rutinitas pekerjaan dan hamburan kata para elit dan penguasa. Olehnya, humor tidak secara otomatis menjadikan perkara-perkara filosofis berubah kepada hal yang remeh temeh.

Begitu juga perkara serius atawa jelimet, tampil dalam wajahnya yang anggun dan begitu sederhana untuk dipahami. Ada benarnya bahwa pertanyaan maupun pernyataan yang rumit terkadang hanya membutuhkan jawaban yang sederhana: Gitu aja kok repot!!!

Di luar soal itu, bak nutrisi, buku ini juga bisa mencairkan kutub pikiran yang serba tertutup, dunia yang stagnan, dan akal yang mati lemas.

(12 September 2013)


Membaca 'Pelayaran dan Perniagaan abad ke 16-17' karya Prof. AB. Lapian, kita akan mengetahui betapa laut dan sungai adalah dua sisi dalam satu mata uang. Wilayah sungai yang menjorok ke dalam dan lebar menjadikan posisi pelabuhan lebih aman. Tak ayal, di pantai timur Sumatra, Sungai Musi dan Batanghari, untuk menyebut beberapa, bagian yang tak terpisahkan dari Svarnnadvipa, menemukan kejayaannya. Hal ini dikenal dengan istilah “the favoured commercial coast”.

(15 Agustus 2013)

 

Kepada tempat dan waktu berikut aspek-aspek yang melekat di dalamnya itulah saya berhutang budi. Kini aku ingin menemuinya lagi. Meski hanya puisi yang mahir mengukir kenangan se isi tubuhnya. Selamat datang imaji!

(2013)


Peristiwa adalah ujian dengan segala macam maksud, jenis, dan tipologi di baliknya. Maju mundur alurnya. Kadang meluapkan air mata, memerlukan tawa, bahkan tegang menemui rahasia, sebelum kepastian betul-betul datang menghampiri.

(2013)

 

Talk show di televisi jarang sekali secara serius menanyakan pendapat, perspektif, dan isi kepala narasumber. Demikian yang dapat kita lihat pada acara Bukan Empat Mata, Show Imah, ataupun infotaiment, untuk menyebut beberapa. Bahkan bila perempuan menjadi tamu, keseksian tubuhlah yang ditonjolkan. Entah kenapa, hal yang remeh temeh, naif, dan miskin imajinasi itu justru dipertontonkan.

(2013)

 

Kemilau Sumatra 2012 di Jambi, Karnaval Tanpa Visi. Tidak berlebihan apabila kita meninjau ulang agenda tahunan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata se-sumatra ini. Tersebab yang tercermin dalam agenda ini tak lebih dari upaya konvensional pengembangan parisiwata sebelumnya, baik dari segi bentuk atau pun jenisnya, yakni sebuah ajang promosi produk seni budaya suatu daerah yang bersifat tangible.


Kemilau belum menunjukkan kemajuan yang signifikan sebagai aktor terdepan dalam hal pembangunan, pengembangan sekaligus menghadirkan iklim pelestarian local wisdom; tetapi justru terbelenggu dalam interes-interes material dan praktis yang ditawarpaksakan modernitas. Tak ada dialog dan diskusi, sehingga semua berlalu tanpa rasa ragu dan kebermanfaatan menjadi sesuatu yang amat jarang dipertanyakan secara sungguh-sungguh untuk sebuah agenda dalam skala besar, baik penyelenggara maupun anggarannya.


Sungguh sulit membedakan ritual tahunan ini dengan pasar malam. Tak jarang ditemui, tenda-tenda berdiri dengan segala bujuk rayu materialnya. Jadi, relevankah agenda ini diteruskan, saat 'etnic tourism' menghendaki lahirnya kesadaran kultural, dengan cara-cara yang melibatkan perangkat kebudayaan itu sendiri, bukan hanya permainan kemasan di kulit luar. Saatnya kita memeram keadaan ini, agar menjadi tuan rumah tidak lagi perkara gengsi tapi mutu alias isi.

(2012)


*Catatan:  pragmen dari hari ke hari ini akan selalu penulis mutakhirkan di web ini ke depan. Kebiasaan penulis membuat status refleksi-kritis beraroma politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan agama di status whatsapp juga facebook. Saya terpikir mengumpulkannya agar dapat dibaca kembali oleh sesiapa saja. 

0 Komentar