Dari Hari Ke Hari: Fragmen I

ilustrasi. sumber: pexels.com

Oleh: Jumardi Putra*

Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.

Berikut ini percikan permenungan Dari Hari ke Hari yang saya tulis singkat sebagai status di aplikasi facebook tahun 2016 dan 2015. Mungkin ada gunanya.

***

Sejarah dan kondisi sosial menegaskan watak Jambi yang terbuka. Tempat ketegangan sekaligus harmoni mengiringi perjalanan panjangnya. Bak juwita, jelas ia digilai banyak pria. Namun haruskah Jambi terjerat dalam sebuah paham yang menutup diri pada segala kemungkinan untuk maju dalam gerak indvidu-individu yang merdeka atau hanya berhenti pada gerak karikatural semata. Tanah Pilih, sesungguhnya adalah lahan subur bagi kebangunan cita-cita. Sedangkan lahan tandus, sesunggunya adalah akibat dari konstruksi identitas yang menafikan 'liyan'. Memandang Kejambian Kita sampai sekarang dan ke depannya tak lain adalah rangkaian dialog dan sekaligus menjemput masa depan yang memberi kita kesempatan. (2016)

***

Acapkali kegiatan akademik di jambi disertai sambutan petinggi kampus yang gemar memerankan fungsi tokoh agama ketimbang sosok intelektual. Lihai mengutip ayat-ayat tuhan, tapi gagap mengetengahkan isu-isu fundamental tridharma perguruan tinggi yang bias menjadi solusi atas persoalan praksis kehidupan. Bahkan, tak jarang pula berlagak laiknya motivator. Melulu “how to”, bukannya mentradisikan Why (untuk menyebut critical thingking).

Setakat hal itu, terhadap isu-isu intoleransi terhadap kelompok rentan, plagiarisme, kebebasan berpikir, kampus seringkali menunjukkan potret buramnya,  tetapi nampak berapi-api bila bersentuhan dengan "otoritas langit". Padahal, teks-teks keagamaan harus terejawantahkan dalam praktek akademik di kampus seperti maraknya riset, tumbuh-kembangnya forum kajian, publikasi ilmiah, pelayanan yang maksimum, proses pembelajaran kontekstual, dan pengabdian masyarakat sekaligus keberpihakan terhadap kelompok minoritas, rentan, dan marginal yang oleh negara maupun kelompok kuat modal didiskriminasi hak-hak dasarnya.

Saya kerap dibuat bingung, mana kampus, mana pula lembaga pemberi fatwa.

***

Fenomena rebutan klaim sebagai ahli waris utama kerajaan belakangan ini merupakan gejala di banyak daerah di tanah air, selain aktivasi adat, pemberian gelar raja atau ratu. Gejalan semacam ini seolah menjadi salah satu tempat berpulang masyarakat untuk mengorganisir dirinya atas dasar klaim-klaim tradisi masa lalu.

Namun, meski pasca desentralisasi ‘identitas’ menjadi hal yang sangat terbuka untuk ditafsirkan kembali, ditangkap, dan dimanfaat dalam proses sosial dan negosiasi politik, ia tetap menyandarkan pada satu hal: ruang kultural. Barangkali di situlah keistimewaan Kerinci hingga saat ini.

Bilamana basisnya tidak pada kesadaran kulturalnya, ia tak lebih dari ‘orde-orde’ (dalam kemasan adat) yang bertiti-mangsa pada kepentingan politik semata.

Akhirnya, kenapa polemik di balik pemberian gelar ratu Saripah Murliati tidak terelakkan? Dia seolah terberikan. Tidak lahir dan tumbuh dalam kesadaran kultural masyarakatnya. 

(12 Oktober 2016)

***

Rasa bahagia sebagian besar dari kita (terutama masyarakat Jambi) terhadap keberhasilan pelukis cilik Sayla di pentas dunia baru-baru ini, sama bahagia dan hormat saya terhadap para perupa lainnya. Bahkan santer terdengar bahwa Wali Kota Jambi akan langsung menerima Sayla setiba di Bandara Sultan Taha, Jambi. Imagologis!

Tapi bukan di situ letak persoalannya. Sekali lagi bukan.

Setidaknya, terhadap capaian menggembirakan Sayla adalah bagaimana masing-masing kita berhasil melampaui perkara yang serba upacara, pengalungan bunga, dan segala luapan sukacita lainnya sebagai tanda bangga.

Sejatinya, melalui Sayla, mari perlahan-lahan kita masuk jauh ke dalam diri, bertanya sedemikian rupa, bagaimana sesungguhnya keberadaan perupa dengan karya-karya gemilangnya dalam negara (baca: Kota Jambi) yang selalu (gagal) mengartikulasikan hakikat seni ke dalam tubuh pembangunan kota dan keseharian warganya. Tidakkah ia ter(di)pinggirkan?

Sayla, bila suatu waktu kita bertemu, saya ingin bertanya satu hal, "Dalam laku kreatifmu, adakah negara hadir dalam bentuknya yang ideal?".

Sekali lagi, selamat Sayla! (2015/2016)

***

Setelah untuk keempat kali gagal, “ketidakhadiran” Jokowi di Jambi memberi ruang lebih luas untuk mempercakapkan kembali, dan itu telah terjadi dalam berbagai forum ataupun aksi belakangan ini (minimal yang saya cermati dan ikuti), ihwal imajinasi kita tentang Indonesia-pinjam ungkapan Bennedict Anderson-suatu masyarakat atau komunitas yang dibayangkan, yang diimajinasikan. Dalam “Kabut asap”, setidaknya bagi masyarakat Jambi, Indonesia mendapat makna “pahit dan getir”.

Masih segar dalam ingatan kita, sekira 30 tahun yang lalu, penggembala batin kehidupan, Emha Ainun Najib, biasa disapa Cak Nun, menulis sebuah esai: Indonesia Bagian dari Desa, sebuah keadaan, dalam bentuk dan makna yang beragam (bila merujuk jagad politik kontemporer), di mana menjadi Indonesia  akan selalu diterpa kesulitan dan tantangan. Buktinya, dalam bahasa satir Cak Nun, kesungguhan (kalau bukan rasa patuh) menjadi Indonesia seringkali berujung dengan luluhlantaknya pranata sosial budaya mereka yang ada di Desa. Di titik itu, seringkali muncul pertanyaan, mungkinkah kita membayangkan Indonesia yang lain? 

Meminta (kalau bukan mendesak) kehadiran Jokowi oleh masyarakat Jambi, tentu tidak selalu dalam pengertian harfiahnya yakni hadirnya sang Kepala Negara di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Bukan! Tetapi kehadiran Negara (dengan segala perangkat lunak maupun kasar) untuk penyelesaiaan kabut asap yang telah berbulan-bulan membuat ketidakberdayaan. Cukup sudah kanak-kanak menjadi martirnya. Teramat jelas, kantung mata para ibu menebal semenjak menanggung beban bulir air mata terkadang tertahan.

(2015)

***

Akan tiba satu waktu di mana kita harus menjawab, akhirnya, setelah misi turisme tersuguhi dan Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah menyamarkan dirinya sebagai subjek yang sulit dikenal, akibat lesatan migrasi warga dan budaya massa (globalisasi) yang menghempasnya, masing-masing kita, sejatinya, telah cukup mengukur hidup dengan konstruksi materialisme, seperti istilah-istilah yang muncul belakangan ini, seperti jembatan kaliber dunia ala Amerika, kabel dari Italia, menara ala masjid Damaskus dan Nabawi, serta bertumpuk-tumpuk koran (baca: advetorial) yang mengabarkan keberhasilan pembangunan kota.

(7 Juli 2015)

 

*Kota Jambi.

0 Komentar