![]() |
Batanghari, Kota jJambi. |
Sebagai karya sastra yang paling tua dan monumental, puisi memiliki beragam definisi, salah satunya, Kosasih (2008: 31) mengemukakan “Puisi adalah bentuk karya sastra yang tersaji secara monolog, menggunakan kata-kata yang indah dan kaya akan makna”. Keindahan puisi ditentukan oleh diksi, majas, rima, dan irama sedangkan kekayaan makna puisi tersaji lewat ungkapan-ungkapan kontemplatif yang tersaji pada penggunaan diksi, majas, dan imaji. Puisi tercipta dari pengalaman- pengalaman penyair yang diungkapkan secara jujur dan dituangkan ke dalam tulisan dengan imajinasi, diksi, majas dan bahasa yang khas dan indah. Puisi menyuguhkan masalah hidup dan kehidupan yang dituangkan oleh penyairnya melalui medium bahasa lewat hasil renungan tentang realitas kehidupan.
“Bahasa
yang digunakan dalam puisi ialah bahasa yang terdiri dari bunyi- bunyi
distingtif, yang dipakai sebagai pola sistemis untuk mengkomunikasikan segala
perasaan dan pemikiran penyairnya” (Semi, 1988: 13). Kata-kata yang digunakan
puisi merupakan hasil pemilihan yang cermat dan penuh dengan pertimbangan, baik
makna, susunan bunyinya, maupun hubungan kata dengan kata lain dalam larik dan
baitnya. Kata-kata memiliki kedudukan penting dalam puisi, sebab kata adalah
media guna melukiskan imajinasi penyairnya. “Kata-kata dalam puisi bersifat
konotatif, makna kata-kata itu mungkin lebih dari satu. Kata-kata yang dipilih
bersifat puitis dan memiliki efek keindahan. Bunyinya harus indah dan memiliki
keharmonisan dengan kata-kata lain” (Kosasih, 2008: 31).
Sehubungan
dengan penggunaan bahasa puisi, Sayuti (2002: 76) berpendapat: Sebagai bentuk
komunikasi antara penyair dan audiens, bahasa ekspresi puisi berkenaan dengan
perubahan dari arti menjadi makna. Satuan-satuan bahasa dalam puisi berfungsi
menjembatani atau membangan komunikasi itu, karena adanya bentuk yang khas itu
satuan-satuan bahasa tersebut juga berfungsi merepresentasikan persamaan antara
dua sistem pemaknaan, yakni sebagai pembawa arti (denotatif) dan sebagai
pembawa makna (konotatif). Maka tidak heran bila kita selalu membaca sebuah
puisi kata-kata yang digunakan oleh penyairnya selalu bersifat denotatif dan
konotatif.
Penggunaan
bahasa yang terpilih dimaksudkan untuk menimbulkan efek puitis. Sesungguhnya
kepuitisan itu bersifat subjektif, sehingga amat sukar menentukan pengertian
puitis. “Sifat kepuitisan itu bermacam-macam di antaranya ialah keaslian
ucapan, sifat yang menarik perhatian, menimbulkan perasaan, membuat orang
berfikir atau berkontemplasi, dapat memberikan sugesti, juga sifat yang
menghidupkan lukisan. Semua itu menimbulkan keharuan dalam hati yang luas,
itulah yang disebut puitis” (Pradopo 2010: 64).
Kata-kata
yang dipilih penyair untuk membangun puisinya melahirkan corak atau gaya
tersendiri dari pemikiran penyairnya. Corak atau bentuk gaya tersebut disebut
dengan sarana retorika. Sarana retorika timbul oleh sebab unsur-unsur
kebahasaan yang dipilih oleh penyair. “Sarana retorika merupakan sarana
kepuitisan yang berupa muslihat pikiran yang digunakan penyair untuk menarik
perhatian, pikiran hingga berkontemplasi atas apa yang dipikirkan penyair. Pada umumnya sarana retorika ini menimbulkan
ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek yang ditimbulkan dan
dimaksudkan oleh penyairnya” (Pradopo, 2010: 94).
Sebagai
penyair muda, Jumardi Putra menunjukkan komitmen dan konsistensinya dalam
menulis puisi dengan diterbitkannya buku kumpulan puisi “Ziarah Batanghari”. Di
Jambi sendiri ada beberapa nama penyair yang rutin menulis dan telah
menerbitkan puisinya secara tunggal, di antaranya nama-nama seperti Ari Setia
Ardhi, Dimas Arika Mihardja, EM Yogiswara, Ramayani, Iriani R Tandy, dan Chory
Marbawi. Selain nama-nama yang disebutkan tadi, ada pula beberapa penyair Jambi
yang masih rutin menulis puisi saat ini namun belum membukukan puisinya secara
tunggal, antara lain Yupnical Saketi, Ari Mhs Ce’gu, Asro Al Murthawy, dan
penyair lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu namanya.
Alasan
lain yang memperkuat dipillihnya buku “Ziarah Batanghari” karya Jumardi Putra
sebagai bahan penelitian adalah karena puisi-puisi yang ditulis JP (Jumardi
Putra) banyak mengisahkan tentang jejak sejarah Melayu Jambi. Untuk ukuran
penyair muda, hal demikian masih jarang dalam khazanah perpuisian di Indonesia
terutama di Jambi. Senada dengan yang dikatakan oleh Abdul Hadi WM, penyair dan
guru besar Universitas Paramadina pada kolom endorsement di buku tersebut
dengan menyatakan “sajak-sajak Jumardi Putra yang memaparkan jejak sejarah
kerajaan Melayu-Sriwijaya jarang ditulis penyair muda dan bagus”. Oleh sebab
itu, peneliti sendiri yang memang juga lahir dan dibesarkan di Jambi merasa
perlu memanfaatkan potensi tersebut.
Berdasarkan
pembacaan awal, puisi-puisi Jumardi Putra yang kekinian itu tampak dominan
unsur retorika seperti pemajasan dan citraan. Sementara untuk bunyi dan ritme,
tidak banyak data yang ditemukan. Atas pertimbangan tersebut, maka konteks
penelitian terpusat pada sarana retorika.
Penelitian
terhadap sarana retorika puisi ternyata masih terbatas, dari beberapa
penelusuran, peneliti menemukan penelitian ihwal sarana retorika salah satunya
pernah dilakukan oleh Trionggo Priyo Wibowo, mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul
penelitian “Wujud Sarana Retorika pada Puisi-Puisi Anak di Harian Kedaulatan
Rakyat Edisi Minggu Bulan Januari-Maret 2012”. Penelitian tersebut mengkaji
puisi kaitannya dengan aspek kebahasaan. Aspek kebahasaan yang diteliti adalah
pemajasan, penyiasatan struktur kalimat, dan citraan.
Trionggo
(2012) menyimpulkan bahwa wujud sarana retorika yang terdapat pada puisi anak
harian Kedaulatan Rakyat Edisi Januari-Maret 2012 meliputi (1) pemajasan, (2)
penyiasatan struktur kalimat, (3) citraan. Pemajasan yang sering muncul secara
berurutan adalah hiperbola, personifikasi, metafora, paradoks, simile.
Penyiasatan struktur kalimat yang dominan secara urut ialah repetisi,
pararelisme, klimaks, antiklimaks. Citraan yang dominan adalah citraan gerak,
citraan lihatan, citraan rasaan, citraan pendengaran, citraan penciuman,
citraan perabaan, dan citraan pencecapan. Selanjutnya Trionggo (2012) dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa fungsi sarana retorika yang ditemukan yaitu
(a) menghidupkan gambaran secara nyata, (b) mengkonkretkan sesuatu yang
abstrak, (c) memunculkan suasana agar lebih ekspresif, (d) menjadikan kata-kata
lebih estetis dan puitis, (e) memberi penekanan terhadap suatu hal, (f)
memadatkan makna.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, penelitian ini diharapkan memperkaya kajian puisi yang
menitikberatkan pada aspek sarana retorika yang meliputi pemajasan, penyiasatan
struktur kalimat, dan citraan pada kumpulan puisi “Ziarah Batanghari” karya
Jumardi Putra. Hal yang tercakup dalam penelitian ini meliputi ; (1) wujud
sarana retorika, (2) fungsi sarana retorika. Penelitian yang dijadikan rujukan
di atas tidak sepenuhnya sama dengan penelitian yang peneliti lakukan, yakni
berbeda dalam hal karakteristik subjek penelitian, yang mana dalam penelitian
ini subjeknya adalah buku kumpulan puisi karya Jumardi Putra.
*Tulisan di atas merupakan latar belakang skripsi berjudul "Sarana Retorika Puisi-Puisi Jumardi Putra dalam Buku Ziarah Batanghari (Yogyakarta, Ayyana, 2013) yang disusun oleh Sandi Suryamat, mahasiswa Jurusan FKIP Universitas Jambi, dan diujikan pada 14 Februari 2015.
0 Komentar