![]() |
ilustrasi. rangkaian ibadah haji. sumber: republika |
Oleh: Jumardi Putra*
Hari elok ketiko baik. Demikian 6 Juni 2025 atau bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1446 Hijriah yaitu Hari Raya Idul Adha. Bahkan, perayaan hari raya kurban tahun ini bebarengan dengan sayyidul ayyam atawa penghulu/raja dari segala hari yaitu Jumat. Alhamdulillah.
Pagi hari ini saya
sekeluarga melaksanakan rangkaian shalat Idul Adha pukul 07.20an WIB di Majid
Darul Husna, dipungkasi mendengarkan siraman ruhani dari sang khatib yaitu
Datuk Azra’i Al Basyari, sosok familiar di ranah Adat Melayu Jambi. Isi khutbahnya
tidak jauh dari urgensi dan makna ibadah haji sekaligus kurban yang dilakukan umat muslim
sedunia.
Sebelum meninggalkan
masjid Darul Husna, para jamaah saling bersalaman membentuk lingkaran seraya
melafazkan takbir tiada henti. Begitu juga dengan jamaah perempuan.
Kami pun pulang ke rumah sekira pukul 08.40an WIB, berjarak hanya sepelemparan batu dari masjid Darul Husna, berlokasi di Lorong Depati Setio, RT 16, Jalan Sari Bakti, Kelurahan Beliung, Kecamatan Alam Barajo-Kota Jambi. Bukan kebetulan nenek—ibu saya--dari kampung halaman ikut lebaran Idul Adha di tempat kami, apatahlagi sehari sebelum perayaan Idul Adha, 5 Juni 2025, bertepatan genap delapan tahun bapak saya berpulang (2017), sehingga kehadiran nenek melengkapi kebahagiaan keluarga kecil kami di hari raya besar Islam kali ini. Tulisan saya tentang almarhum bapak bisa dibaca lebih lanjut di link berikut ini: Akulah si Telaga: Berlayarlah di Atasnya.
Segera setelah itu kami makan pagi bersama. Setelahnya, masing-masing kami rehat di tengah suasana langit di luar rumah diliputi mendung, setelah sebelumnya sedari pagi hujan gerimis.
***
Waktu shalat Jumat
pun tiba. Bedanya tadi pagi kami sekeluarga shalat Idul Adha di Masjid Darul
Husna, nah sekarang saya bersama anak-anak shalat Jumat di Majid Al Amin, di Lorong
Matahari, Jalan Sari Bakti, RT 16, Kelurahan Beliuang, Kecamatan Alam Barajo,
Kota Jambi. Bila tadi pagi kami cukup jalan kaki ke Masjid Darul Husna, kali
ini kami menggunakan motor untuk sampai ke masjid Al Amin. Langit pun masih
diliputi awan hitam tebal.
Saya merasa khutbah
Jumat kali ini bagus, baik dari sisi substansi maupun cara sang khatib
menyampaikan kepada jamaah sidang Jumat. Saya perhatikan jarang jamaah yang
ngantuk, sesuatu yang kerap saya saksikan di sela khutbah Jumat sebelum-sebelumnya.
Saya sendiri tidak jarang berjuang melawan kantuk, lebih-lebih bila sang khatib
gagal membawakan pesan khutbah secara efektif.
Berdasarkan informasi di papan pengumuman Masjid Al-Amin, sang khatib bernama lengkap dengan gelar pendidikan yaitu Dr. H. M. Zaki, M.Ag. Topiknya masih seputar ibadah haji dan makna ibadah qurban. Walakin, yang menarik buat saya adalah sang khatib mengungkai makna dua momen ibadah sakral itu melalui kisah menarik yang berpangkal dari mimpi seorang ulama zuhud yaitu Abdullah bin Mubarak (w. 797 M) tentang 600 jamaah haji gagal meraih predikat "mabrur" serta menukil pesan ketauhidan dan sosial di balik momen paling krusial dalam perjalanan hidup Nabi Ibrahim saat diperintahkan oleh Tuhan “menyembelih” anaknya sendiri yaitu Ismail sebagai qurban. Namun, Allah menggantikan Nabi Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk rahmat-Nya. Dari sinilah, ibadah kurban pada Idul Adha menjadi simbol pengorbanan dan ketaatan kepada Tuhan. Selain itu, Idul Adha juga mengajarkan nilai solidaritas sosial. Ringkasnya, dengan menyembelih hewan kurban, umat Islam diajarkan untuk berbagi dengan sesama, terutama kepada mereka yang kurang mampu. Ibadah kurban ini menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang di sekitar kita.
Nah, baik praktik ibadah haji maupun kurban menjadi gagal mendapatkan ganjaran sebagaimana mestinya, akibat salah sejak dari niat lantaran bukan semata karena Allah, melainkan karena kepentingan duniawi lainnya--,karena nyatanya—begitu dalam pandangan sang khatib—umat Islam kerap abai merenungkan dan menata niat di balik rangkaian ibadah yang dilakukan.
Puncaknya, sebelum menutup khutbah sesi pertama, sang khatib menyitir Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan, “Kullu ni'matin laa tuqorribu minallahi fahiya baliyyah" (Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah). Itu artinya, kenikmatan berupa harta, jabatan, kecerdasan, ilmu, dan teknologi semuanya adalah amanah yang harus digunakan dengan bijaksana dan sesuai dengan petunjuk Allah. Sebaliknya, penyalahgunaan nikmat-nikmat tersebut akan membawa kerugian dan kebinasaan baik di dunia maupun di akhirat. Di sinilah, dalam pandangan sang khatib, menata niat menjadi perkara penting sebagai pijakan bagi umat muslim agar segala bentuk kenikmatan (contoh kemampuan melaksanakan haji dan kurban) tidak berlalu percuma dan bahkan bisa menjadi malapateka. Maka, niatkan segala sesuatunya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Kembali ke sang khatib. Materi khotbahnya tidak bertele-tele dan jauh dari kesan menggurui. Sembari itu ia berulang kali mengatakan bahwa yang ia ucapkan adalah juga pesan buat dirinya sendiri—sebuah tindakan komunikasi yang apik dan penuh empati di tengah latar belakang jamaah yang beragam. Begitu juga ia cukup menukilkan 2 sampai 3 ayat Alquran dan hadits. Tergolong tidak banyak, tapi mengena. Intonasi penyampaiannya juga terjaga sedari awal hingga akhir khutbah. Kemampuanya membaca al-quran juga didukung ilmu tajwid yang baik.
Baiklah, seperti di bagian tengah tulisan ini saya menyebut kisah menarik yang disampaikan oleh sang khatib tentang mimpi Abdullah bin Mubarak dan karena itu ia berupaya mencari seorang hamba yang mendapat gelar haji mabrur, meski sejatinya oang tersebut belum sempat menunaikan ibadah haji. Apa sebab?
Berikut ini saya tuliskan kisah lengkapnya di sini:
Seorang ulama zuhud yaitu Abdullah bin Mubarak (w. 797 M) dalam mimpi berjumpa dengan dua malaikat ketika ia tertidur di Masjidil Haram selepas menunaikan ibadah haji. Kedua malaikat itu bercakap-cakap satu sama lain tentang orang-orang yang berhaji waktu itu.
“Berapa orang yang melaksanakan ibadah haji tahun ini?” Tanya malaikat satu kepada malaikat lainnya.
“Enam ratus ribu.”
“Berapa dari mereka yang diterima hajinya oleh Allah?”
“Tidak ada sama sekali.” “Tapi…” lanjutnya, “ibadah haji Muwaffaq, seorang tukang sepatu di Damaskus, diterima meskipun ia tak berangkat ke Tanah Suci untuk berhaji. Dan lantaran berkah haji orang ini, seluruh haji orang-orang menjadi diterima.
Kitab Irsyâdul ‘Ibâd ilâ Sabîlir Rasyâd karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari mengisahkan, ketika bangun dari tidurnya Abdullah bin Mubarak segera menuju Damaskus mencari Muwaffaq. Kala bertemu, Abdullah pun menanyakan rahasia di balik derajat yang Muwaffaq peroleh sebagaimana kabar mimpi di Tanah Suci. Muwaffaq pun bercerita tentang keinginannya yang kuat pergi menunaikan haji. Cita-cita ini sangat berat bagi dirinya yang fakir dan hanya bekerja sebagai tukang tambal sandal atau sepatu. Namun, berat bukan berarti mustahil. Ternyata, Muwaffaq mampu mengumpulkan tiga ratus dirham dari profesinya ini, yang artinya ia sudah cukup bekal untuk pergi ke Tanah Suci.
Tinggal selangkah Muwaffaq mewujudkan cita-citanya itu, ia menemukan sebuah peristiwa memilukan dialami tetangganya saat dirinya berusaha memenuhi keinginan istrinya yang hamil.
Mulanya, sang istri mencium bau makanan dari rumah tentangganya, lalu melontarkan hasratnya mengonsumsi makanan tersebut. Sebagai suami yang baik, Muwaffaq pun mendatangi rumah tetangganya, dan menyampaikan keinginan istrinya. Seorang perempuan tiba-tiba menyambutnya dengan kata-kata yang mengejutkan.
“Berani-beraninya Anda ‘pamer’ keadaan semacam itu. Sementara anak-anak yatimku belum makan apa pun selama tiga hari.”
Muwaffaq bergegas keluar. Saat menjumpai keledai yang sudah mati, ia pun memotong dan memasak dagingnya. Baginya, daging bangkai itu halal karena situasi darurat. Selanjutnya, Muwaffaq pulang ke rumah dan kembali menemui keluarga miskin yang kelaparan itu dengan membawa tiga ratus dirham.
“Belanjakan uang ini untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatimmu,” kata Muwaffaq kepada perempuan tetangganya.
Demikianlah pria miskin tukang sepatu itu menunda cita-citanya pergi ke Tanah Suci tahun itu karena alasan kemanusiaan. Muwaffaq bahagia bisa membantu sesama. Baginya, ini adalah ‘berhaji’ dalam bentuk yang lain.
Gumamnya: أَنَّ اْلحَجَّ فِيْ بَابِ دَارِيْ فَأَيْنَ أَذْهَبُ؟
“Sungguh haji sudah berada di pintu rumahku.
Lalu, ke mana aku akan berhaji?”
*Kota Jambi, 6 Juni 2025. Kisah yang disampaikan oleh sang khatib bisa kita jumpai di portal-portal keislaman, salah satunya saya kutip dari link berikut ini: https://nu.or.id/hikmah/tukang-sepatu-dan-haji-dalam-obrolan-dua-malaikat-uEjaQ. Tulisan saya tentang kedalaman makna di balik ritus haji berikut ini: https://www.jumardiputra.com/2020/02/menyelami-kedalaman-ritual-haji.html
0 Komentar