![]() |
Buku karya Hairus Salim |
Oleh: Jumardi Putra*
Ora umum (tidak biasa), begitu karya esais Hairus Salim kerap disebut sejawatnya sesama penulis. Kekuatan Hairus Salim pada buku ini, seperti karyanya yang lain, terletak pada kepiawaiannya menulis serasa bertutur dan perspektifnya (dalam hal ini tentang Khutbah) menyegarkan—mengungkit sesuatu yang luput dari perhatian banyak orang. Hal itu menjadikan karyanya bernuansa dialogis, kritikal (tanpa berpretensi menggurui) dan mengajak pembaca untuk merenungi kembali sesuatu yang sangat dekat dengan kewajiban setiap lelaki muslim yaitu shalat berjamaah di hari Jumat-berjuluk i'dul muslimin -- sebelumnya didahului mendengarkan khutbah— sang penyampainya disebut khatib.
Pemilihan judul buku ini menurut
hemat saya berhasil memantik keingintahuan pembaca, setidaknya saya ingin
segera membacanya sedari awal sesampai di tangan. Tak syak, buku setebal 154
halaman ini tuntas saya baca di sela merayakan hari kemerdekaan Republik
Indonesia ke 80 tahun ini, baru-baru ini.
Jangan lantas membayangkan
isi buku terbitan Gading ini laiaknya buku fiqih
tentang syarat dan rukun khutbah Jumat, kendati penulis menyisipkan hal-ihwal
krusial itu dalam beberapa bagian dari total 20 Khutbah Kang Chairil dalam buku
ini. Khutbah, Sayur Bening dan Kang Chairil boleh dibilang kata kunci untuk
memahami bongkahan pengetahuan kritikal-reflektif dari buku yang belum lama
terbit ini.
Sebagai metafor, kata “sayur
bening” merujuk pada isi khutbah yang kontekstual, substantif, singkat-padat-segar,
dan pesan-pesan agama (ketuhanan) bertaut erat dengan kemanusiaan--diracik oleh
khatib secara ciamik, dan karenanya bergizi sehingga siapapun tak ada pantangan
untuk menyantapnya.
Muatan khutbah yang dibawakan
Kang Chairil --tokoh utama dalam buku ini--tidak melulu merujuk teks-teks
keagamaan ansikh (mengutip ayat-ayat
al Quran maupun Hadits), walakin juga memanfaatkan instrumen karya sastra
seperti syair, puisi-puisi seperti karya penyair Hamzah Fansuri dan Chairil
Anwar, dan cerita-cerita ringan tapi sarat hikmah yang termaktub di dalam karya
ulama dan para sufi seperti karya Imam Al Ghazali, Musyarawah Burung-Burung
karya Fariduddin Attar, dan kitab “Qiraat ar-Rasyidah”—bacaan santri-santri di
pesantren. Bahkan, Kang Chairil sesekali memakai cerita dalam wayang Nusantara
untuk menyampaikan pesan khutbahnya. Racikan materi khutbah demikian
itu—kendati jarang dijumpai di masjid-masjid di tanah air, tapi justru
menguatkan substansi pesan agama sehingga mudah diterima oleh Jamaah sidang shalat
Jumat. Sejurus hal itu, isi dan kepiawaian Kang Chairil menyampaikan khutbah (tanpa
harus melucu, karena itu tabu) berhasil membuat para jamaah melewati siklus
biologis umumnya orang memang sedang butuh istirahat dan kantuk di siang hari.
Berbekal kemampuan itu pula, Kang
Chairil menjadi sosok ikonik di masjid-masjid yang pernah memintanya menjadi
Khatib. Apa sebab? Prinsip kang Chairil sederhana yakni ia berusaha sependek
dan sepadat mungkin. Karena itu, ia kadang hanya memaparkan sebuah cerita
hikmah yang ringan, dengan menambahkan dan melengkapinya dengan satu dua ayat
Quran dan atau hadits. Substansi dan metode khutbahnya berangkat dari sebuah
kesadaran yaitu tidak ingin menambah beban kepada jamaah shalat Jumat yang
mungkin saja memiliki beban hidup yang tidak mudah dalam keseharian mereka.
Siapa sejatinya Kang Chairil?
Tentu saja penulis buku ini yang mengetahui persis siapa gerangan. Sebagai
tokoh rekaaan, Kang Chairil disebut bukan seorang Kiai, bukan ustadz. Selain
pernah nyantri di sebuah pesantren dan bahkan menjadi aktivis di sebuah kampus,
ia adalah seorang pedagang buku bekas dan barang antik, sebuah gambaran profesi
yang amat jauh dari anggapan banyak orang tentang pengkhutbah yang ditandai gelar
pendidikan berjubel di belakang nama, berpakaian jubah, sal melilit kepala,
tasbih di tangan dan seabrek label lainnhya untuk terlihat saleh.
Tema-tema khutbah yang
dibawakan oleh Kang Chairil bervariasi, mulai dari kasus radikalisasi agama, jihad
yang salah kaprah seraya merujuk pelbagai pandangan ulama, kerusakan alam oleh
karena sikap serakah manusia (lupa diri, lupa sekitar-sehingga lupa
tanggungjawab sebagai makhluk sosial), sikap boros (mubazir) yang dikaitkan
dengan surplus limbah makanan yang dihasilkan oleh warga dunia (tidak
terkecuali warga Indonesia di tengah masih banyak warga di akar rumput hidup
susah), tirakat jalanan: disiplin
lalu lintas, dendam kesumat melahirkan dendam yang tak berkesudahan (merujuk
cerita kelam Drupada dan Drona, Putera raja Prista, dua teman sepermainan
semasa kecil tapi berujung mati dengan naas karena sikap mendemdam kala mereka dewasa
dengan dua profesi yang berbeda), anugerah pahala yang bermula dari setiap niat
baik, kedudukan perempuan dalam Islam sebagai rahmat, pesan agama kala
menghadapi wabah penyakit sehingga perlu formula isolasi, kesombongan seorang
raja (hari ini maknanya bisa diperluas pejabat pengambil kebijakan) dan
kematian sebagai sebaik-baiknya nasihat, dan pelbagai tema menarik lainnya sesuai jumlah khutbah Kang Chairil dalam buku ini.
Yang menggelitik dari pandangan
Kang Chairil adalah memberikan khutbah memang bukan semata soal keterampilan
teknis. Lebih dari itu ia juga sebuah komitmen moral. Seorang pengkhutbah
adalah cerminan berjalan yang senantiasa dipakai oleh umat untuk berkaca. Nah, ia
benar-benar tidak siap untuk menjadi pribadi demikian. Atau kalau pun tidak
sanggup menjalankan komitmen moral itu, seorang pengkhutbah harus pandai
mengkreasi citra. Citra seorang yang saleh dan teladan. Lagi, kang Chairil ogah
memoles citra dan hidup bertopeng seperti itu.
Kang Chairil, seperti ditulis
penulis buku ini pada bagian khutbah ke 20, lebih senang menjadi orang biasa.
Duduk tenang dekat tiang masjid ketika shalat jumat. Biarlah posisi itu (untuk
menyebut kedudukan sang khatib) dipegang oleh mereka yang memang pantas dan
kelas “pandita” saja. Setakat hal itu, sebagaimana awal tulisan dalam buku ini,
Kang Chairil memang tidak pernah berkeinginan menjadi Khatib, walakin keadaan
yang kerap membuat dirinya sukar menolak permintaan dari orang-orang di sekitar agarnya
dirinya berkenan menjadi khatib (seperti saat seorang khatib yang sudah
diundang secara resmi oleh Ta’mir sebuah Masjid, tapi tiba-tiba tidak bisa
datang karena suatu hal dan sekian alasan lainnya di beberapa daerah dan masjid
yang berbeda pada waktu yang berbeda pula). Nyatanya, sikap demikian itu
membuat Kang Charil dirindukan oleh jamaah Jumat karena isi khutbahnya ringan
dan segar seraya menyembulkan keadalaman.
Demikian itu adalah sikap
kerendah-hatian yang perlu digugu dan ditiru di tengah jamaknya para khatib
yang abai merenungi tugas dan tanggungjawab moral yang amat tidak mudah, tetapi
terjerembah dalam jebakan sebuah prestise bebarengan dengan kepentingan-kepentingan
murni ekonomi (mengharap amplop rutin dari Jumat ke Jumat, yang tentu saja
banyak jumlahnya bila ditumpuk). Soal amplop yang diterima sebagai khatib, Kang
Chairil selaku kepala keluarga dengan kondisi ekonomi yang biasa-biasa saja, memliki
pengalaman menarik dan sarat pelajaran sekeliguk menggelitik sebagai sebuah
renungan bersama.
Kenapa hal demikian itu
penting menjadi renungan? Mimbar khutbah Jumat adalah panggung kekuasaan
(memegang otoritas keagamaan: memiliki pengetahuan, kualitas moral yang bagus
dan juga kearifan). Semua itu membentuk otoritas. Dan otoritas itu kemudian
melahirkan sakralitas. Bisa juga sebaliknya. Dalam konteks itu, mimbar khutbah
adalah juga panggung kekuasaan. Bukankah orang kerap lupa kalau duduk di kursi
kekuasaan. Kang Chairil menyadari bahwa ia mungkin bisa saja juga terpeleset.
Tak pelak dalam sebuah khutbahnya ia mengingat kembali pelajaran dari kitab Ayyuhal Walad dari Imam Al Ghazali untuk berhati-hati menjadi pendakwah atau pengingat karena di
dalamnya terdapat fitnah yang besar kecuali kamu telah terlebih dahulu
mengerjakan apa yang kamu katakan, baru kemudian menasihati orang lain.
“Astagfirullah min qaulin bila amalin”, begitu kang Chairil memulai khutbah di
sebuah masjid di suatu daerah.
Latar belakang pendidikan,
sosial dan ekonomi para jamaah shalat Jumat di daerah-daerah di tanah air tentu
beragam. Begitu juga para khatib, beragam pula kemampuannya dalam menyampaikan
isi khutbah. Dengan demikian, melalui “Khutbah Sayur Bening Kang Chairil”, para khatib
zaman now di manapun berada maupun bagi para jamaah ibadah shalat Jumat, sejatinya
diajak merenungi kembali makna shalat Jumat plus pesan khutbah yang kita dengar
di setiap Sayyidul Ayyam—dengan
segala pernak-perniknya.
*Kota Jambi, 23 Agustus 2025.
*Berikut link tulisan saya tentang sosok dan pemikiran penulis buku di atas: Jalan Pengetahuan Hairus Salim
0 Komentar