Sepotong Kisah Mencintai Kekasih Allah, Pamungkas Para Nabi

 

Mengenal Muhammad SAW

Oleh: Jumardi Putra*

Sabtu, 8 Oktober 2022, merujuk penanggalan 12 Rabiul Awal 1444 Hijriah, umat Islam seantero dunia memperingati hari lahir kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW, Nabiyyu ar Rahmah aw al Marhamah. Sosok maksum sekaligus pamungkas para Nabi dan Rasul.  

Muncul pertanyaan, setelah empat belas abad Nabi Muhammad tutup usia, apa makna peringatan kelahiran kanjeng Nabi Muhammad bagi umat Islam sekarang ini? Saya tidak bisa menjawabnya dengan segera.

Melalui catatan ini, izinkan saya bercerita tentang sosok Nabi Muhammad SAW yang saya ketahui kali pertama melalui tunjuk-ajar orang tua, guru, ustad dan kiai baik di sekolah maupun pesantren, serta lewat sumber literatur yang saya baca.

Era 1980-an nama Nabi Muhammad akrab di telinga saya dan keluarga di kampung halaman di Desa Empelu, Kec. Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo. Bukan tanpa sebab, sedari mengeja alif-ba-ta sampai mampu membaca al-Quran, nama Muhammad seraya menggema. Begitu juga saat warga gotong royong kerapkali disertai shalawat, selain kasidah dan dangdut tentunya. Belum lagi tradisi berzanji membuat saya dan teman se-esde hafal di luar kepala sifat Nabi Muhammad yang amat dicintai umatnya.

Selain itu, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW saban tahun adalah tradisi yang ikut mengakrabkan saya dan anak-anak seumuran pada Nabi Muhammad, anak dari sepasang suami-istri, Abdullah bin Abdul Muththalib dan Aminah binti Wahab. Masih segar dalam ingatan, anak-anak maupun kaum remaja di kampung riang gembira menyambut Maulid Nabi Muhammad. Selepas Isya warga berbondong-bondong mendatangi masjid dan surau, melantunkan shalawat dan kalimat tayyibah, mendengar ceramah dari ustad atau Kiai tentang Nabi Muhammad, dan ditutup dengan makan nasi dalam nampan secara bersama.

Masing-masing warga yang mampu secara ekonomi, secara sukarela menyiapkan makanan lengkap sayuran dan lauk-pauk untuk disantap bersama usai pengajian peringatan kelahiran Nabi. Maulidan ini tidak saja berpusat di rumah ibadah, tetapi juga di sekolah maupun forum-forum pengajian.

Saya membayangkan, bila tanpa tradisi peringatan Maulidan, dengan cara apa anak-anak sebaya saya dan kaum remaja di kampung halaman, yang jauh dari pusat informasi maupun literatur keagamaan yang memadai dapat mengetahui sosok Nabi Muhammad, kekasih Allah yang wajib kita imani, yang hidup empat belas abad sebelum ini.

Pelbagai kegiatan kultural memperingati kelahiran Nabi Muhammad di tanah air selama ini jelas membekas di sanubari umat Islam. Apa sebab? Anak-anak, remaja dan kaum muda berkesempatan mengenali Nabi Muhammad sebagai utusan Allah sekaligus manusia pada umumnya, yaitu lahir dalam keadaan yatim, melewati masa kecil hingga remaja tanpa orang tua lengkap, menggembala domba dan menjalankan barang dagangan milik Khadijah, lalu berumah tangga-menikah dan memiliki anak, berjuang dan merasakan pahit-manis mengenalkan Islam kepada umatnya.

Sosok Nabi Muhammad makin familiar bagi generasi akhir 1990-an melalui kehadiran album Cinta Rasul duet Hadad Alwi dan Sulis pada tahun 1999. Gayung bersambut, album religi gubahannya menjadi yang terlaris sepanjang sejarah musik Indonesia, bahkan telah diproduksi ulang dalam berbagai versi dan volume. Lirik lagunya mengalir syahdu. Penggambaran sosok Nabi Muhammad masyuk ke relung terdalam hati. Air mata acapkali jatuh dari kelopak sesiapa saja yang menyenandungkannya. Hati dibuat bergetar saat mendengar nama Nabi Muhammad SAW. Belum lagi buku fiksi maupun cerita tentang Sosok Nabi Muhammad SAW dan kehidupan para sahabat Nabi terus hadir menjadi bacaan alternatif bagi orangtua di kala mengantar tidur anak-anaknya.

***

Pengetahuan saya tentang Nabi Muhammad makin bertambah seiring meneruskan sekolah menengah pertama di Pesantren Darussalam di Sungai Mancur, Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas (sekarang), Kabupaten Bungo pada tahun 1997 dan melanjutkan ke Madrasah Aliyah (SMA) di pondok Pesantren Tebuireng, berlokasi di sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada tahun 2000-an. Masih segar dalam ingatan, jelang shalat lima waktu, saya kerap mengumandangkan azan di Masjid yang dibangun semasa Khadratussyaikh Hasyim Asy’ari masih hidup. Nah, sebelum shalat berjamaah dilaksanakan, jeda antara azan dan shalat, galibnya para santri melantunkan puji-pujian kepada Allah SWT dan kekasihnya, Muhammad SAW.

Di pesantren Tebuireng, selain melalui ceramah ustaz dan kiai dalam bentuk pengajian rutin, saya membaca buku Sirah Nabi yang ditulis Safi-ur-Rahman Mubarakpuri, berjudul Ar-Rahiq-ul-Makhtum. Buku ini menceritakan berbagai fase kehidupan Muhammad. Buku ini juga menyediakan rujukan otentik yang menjadikannya terpercaya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Sealed Nectar. Begitu juga kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam dan The Great Story of Muhammad karya Syaikh Buthi.

Demikian ketika saya melanjutkan studi ke Yogyakarta tahun 2003, jelajah literatur keislaman makin terbuka. Saya berkesempatan membaca buku berjudul Makkah at the Time of Prophet Muhammad karya Binimad Al-Ateeqi; Sejarah Nabi Muhammad karya Muhammad Hesein Haekal; Muhammad, a Biography of the Prophet (Muhammad, Biografi Sang Nabi) karya Karen Amstrong; Nasionalisme Muhammad dan Surat kepada Kanjeng Nabi karya Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun; dan Pribadi Muhammad karya Dr. Nizar Abazhah.

Kesemua buku-buku itu menempatkan sosok sentral Nabi Muhammad, lengkap aspek-aspek kehidupannya, kelahirannya, tonggak-tonggak penting dakwah Nabi Muhammad baik di Makkah maupun di Madinah, nama-nama julukannya, perjalanan Isra’ Mi’raj, mukjizatnya, teladan akhlaknya, serta kisah-kisah tentangnya yang kemudian diolah menjadi cerita oleh para ulama, sufi, maupun pujangga berlimpahkan karya prosa dan puisi yang menyentuh hati para pembacanya.

Dalam pada itu, ketika terlibat aktif di JQH Al-mizan, sebuah organisasi seni tilawah, kaligrafi, tahfiz dan tafsir, yang bernaung di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, periode 2004-2008, saya berkesempatan belajar dan mendengarkan langsung lantunan shalawat yang didukung aransemen musik hasil karya teman-teman seorganisasi nan mumpuni. Sungguh demikian itu momen-momen terindah memuji sekaligus merindukan kanjeng Nabi Muhammad SAW.

***

Tak hanya ahlul bait (keluarga Rasulullah SAW) dan para sahabat yang mengungkapkan kemuliaan sosok Muhammad, Allah SWT sendiri memuji beliau dalam Surah Al-Qalam ayat 4, "Wa innaka la 'alaa khuluqin 'azhiim (Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur). Di ayat lain, Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab: 21).

K.H. Husein Muhammad, di dinding facebooknya, 29 Oktober 2020, merujuk kitab Sirah Nabawiyah, menulis detail paras muka Nabi Muhammad manis dan tampan. Perawakannya sedang, tidak terlalu tinggi, tetapi tidak pula pendek (Laisa bi althawil al-dzahib wa la bi al-qashir al-bain). Bentuk kepalanya besar, berambut hitam kelam antara keriting dan lurus. Rambutnya yang tebal dibiarkan memanjang sampai ke pundak (Kana Yadhrib Sya’rahu ila al-Mankibain). Dahinya lebar dan rata (wasi’ al jabin), di atas alis mata yang lengkung, tebal dan bertaut. Sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi putih matanya ada garis-garis tipis kemerah-merahan. Di pelupuk matanya tampak bayang-bayang hitam (eye shadow/Ak-hal al-‘ainain wa Laisa bi Ak-hal). Tatapan matanya tajam (Ad’aj al-‘Ainain), dengan bulu mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata, (Thawil Qashbah al-Unf) dengan barisan gigi yang bercelah-celah (Mufallaj al-Asnan). Cambangannya lebar (Ahdab al-Asyfar), lehernya jenjang, bersih dan indah (Kana ‘Unuquh Ibriq Fidhdhah). Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang (‘Azhim al-Mankibain). Warna kulitnya terang dan jernih, dengan dua telapak tangan dan kakinya yang tebal. Tubuhnya selalu menebarkan wangi (Thayyib al-Raa-ihah wa al-‘Araq). Siapa yang memandangnya akan terpikat, siapa yang sering bersamanya akan makin cinta (Man ra-ahu badihatan Ha-bbahu, wa Man Khaalathahu ma’rifatan ahabbahu).

Setakat hal itu, Nabi Muhammad SAW semasa hidup memiliki kepedulian yang tinggi terhadap ketimpangan yang melanda kondisi masyarakat pada waktu itu. Terbukti, begitu dekatnya Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang miskin, sampai-sampai beliau mendapat julukan Abul Masakin (Bapak orang-orang miskin). Dan ketika ada seorang sahabat bertanya terhadap keberadaan dirinya, beliau menjawab, “Carilah aku di tengah orang-orang yang lemah di antara kalian.”

Gambaran Muhammad demikian itu mengingatkan saya pada karya monumental Michael H. Hart, ahli sejarah, guru besar astronomi dan fisika Universitas Maryland AS. Penulis buku berjudul “The 100 tokoh-tokoh berpengaruh sepanjang sejarah” ini menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia berpengaruh sepanjang sejarah melebihi tokoh agama, ilmuan dan politisi lainnya di seantero dunia. Nabi Muhammad Lahir dari keluarga sederhana yang jauh dari pusat peradaban. Meskipun demikian, Nabi Muhammad menjadi seorang yang terjaga dan tidak terlibat dalam tindakan penyimpangan sosial yang menjadi tradisi masyarakat Arab pada masa jahiliyah. Junjungan Muhammad melakoni hidup sebagaimana tuntunan Tuhan. Tidak pernah sekalipun Nabi Muhammad berbohong, menipu, berzina atau mabuk-mabukkan sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa itu. Singkatnya, bagi Michael H. Harta, Muhammad SAW tak hanya dikenal sebagai pemimpin umat Islam, tapi beliau juga dikenal sebagai seorang negarawan teragung, hakim teradil, pedagang terjujur, pemimpin militer terhebat, dan pejuang kemanusiaan tergigih.  

Masih dalam satu tarikan nafas, Abbas Mahmud Aqqad, dalam Abqariyyatu Muhammad (Kejeniusan Rasulullah SAW), menilai keagungan Nabi SAW itu  bena-benar sempurna, karena terjadi dalam segala ukuran, baik menurut ukuran agama, ilmu pengetahuan, dan ukuran kehalusan rasa dan keluhuran budi pekerti. Ringkasnya, Aqqad menyebutnya al-thba’i` al-Arba` (empat karakter) yang amat menonjol pada diri Nabi SAW, yaitu karakter ibadah (thabi`at al-ibadah), karakter berpikir (thabi`at al-tafkir), karakter berkomunikasi (thabi`at al-ta`bir), dan karakter kerja dan berjuang (thabi`at al-`amal wa al-harakah).

Selain Michael H. Hart dan Abbas Mahmud Aqqad, Annemarie Schimmel, cendekiawan masyhur yang berpengaruh  dalam studi Islam dan tasawuf menulis buku berjudul “Cahaya Purnama Kekasih Tuhan”, terjemahan dari And Muhammad is his messenger : the veneration of the prophet in Islamic piety. Menurut Annemarie, selama ini belum pernah dijumpai sosok yang berperilaku sempurna seperti Muhammad—yang kadang-kadang keteladanannya dilukiskan warna-warni. Schimmel melihat Nabi Muhammad berkembang dalam tiga lingkaran yang setiap fase tumbuh menjadikan namanya semakin besar. Sebagai bulan sabit, bulan purnama, sampai benar-benar menjadi sempurna, yaitu tercapainya kedudukan sebagai penutup para Nabi. Ia juga menilai bahwa, Muhammad merupakan manusia yang unik. Baik dari keselarasan batinnya yang sempurna, juga karena dukungan alam kesucian. Bahkan yang lebih penting adalah peran aktifnya dalam menciptakan suatu masyarakat yang madani (beradab).

***

Kini empat belas abad setelah wafatnya, pengaruh Nabi Muhammad masih mengakar kuat. Namanya masih harum mengisi sanubari umat Islam di seantero dunia. Meskipun beberapa pihak yang tak menyukainya cenderung mendiskreditkannya dengan berbagai macam propaganda, untuk menyebut salah satu contoh, baru-baru ini muncul pernyataan kontroversial presiden Perancis, Emmanuel Jean-Michel Frédéric Macron, terhadap Islam yang berdasar pada pembunuhan guru di Perancis, akibat memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad dari koran Charlie Hebdo.  

Segala bentuk penghinaan, penistaan dan pelecehan kepada baginda Nabi Muhammad sejatinya bukan hal baru, melainkan menyertai tapak-tapak perjalanan Muhammad sebagai Nabi yang diutus oleh Allah SWT ke dunia untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Terhadap perlakuan diskriminatif padanya, marahkah sang Nabi atau keluar sumpah serapahkah dari mulut Nabi Muhammad? Tidak. Nabi Muhammad, sekalipun dihina, tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Saya teringat kata Cak Nun, dalam esai kritik-reflektifnya tahun 1996, Surat kepada Kanjeng Nabi, “Era terus berganti era dan zaman terus berubah, tetapi Muhammad tidak pernah dikategorikan sebagai manusia masa lalu dengan muatan nilai-nilai dekaden, meski kita telah memiliki apapun yang melambangkan pencapaian-pencapaian kontemporer”.

Sebagai umat Nabi Muhammad, tentu kita berhak melakukan protes keras terhadap segala bentuk penghinaan yang ditujukan kepada siapapun, lebih-lebih kepada sosok sentral kanjeng Nabi Muhammmad SAW, tetapi tidak pula dibenarkan membalasnya dengan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan sifat Nabi Muhammad itu sendiri. Apatahlagi harus dengan melukai atau bahkan menghilangkan nyawa. Mari kembali pada dialog kritis-konstruktif sembari bersikap terbuka dan menenun toleransi antar sesama warga di belahan negara manapun.

Sebagaimana pertanyaan di awal tulisan tadi, membersamai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, merujuk penanggalan Masehi, Sabtu, 8 Oktober 2022, benarkah cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW adalah cinta yang paripurna? Bukan cinta semu, yang hanya mengharapkan syafaatnya, tetapi belum sepenuhnya mengamalkan keteladanannya? Atau cinta pada kanjeng Nabi hanya diperlukan pada momen-momen tertentu, yang condong pada kepentingan politik praktis semata (duniawi), seperti Pilkada serentak di beberapa daerah di tanah air sekarang ini? Mereka, para Cakada, yang piawai “membajak” agama, Tuhan dan Nabi Muhammad SAW demi syahwat politik jangka pendek semata. Jawabannya terpulang kepada masing-masing kita.

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Laulaka, wa laulaka (Ya Muhammad), ma Kholaqtul Alam-kullaha.


*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com

0 Komentar