![]() |
Mengenal Muhammad SAW |
Oleh: Jumardi Putra*
Merujuk
penanggalan 1442 Hijriah, 12 Rabiul Awal, umat Islam seantero dunia
memperingati hari lahir kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW, Nabiyyu ar Rahmah aw al Marhamah.
Sosok maksum sekaligus
pamungkas para Nabi dan Rasul.
Terbesit
pertanyaan, setelah empat belas abad Nabi Muhammad tutup usia, apa makna
peringatan kelahiran kanjeng Nabi Muhammad bagi umat Islam sekarang ini? Saya
tidak bisa menjawabnya dengan segera.
Melalui
catatan ini, izinkan saya bercerita tentang sosok Nabi Muhammad SAW yang saya
ketahui kali pertama melalui tunjuk-ajar orang
tua, guru, ustad dan kiai baik di sekolah maupun pesantren, serta lewat sumber
literatur yang saya baca.
Sedari
kecil, medio 1980-an nama Nabi Muhammad akrab di telinga saya dan keluarga di
kampung halaman di Desa Empelu, Kec. Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo. Bukan
tanpa sebab, sedari mengeja alif-ba-ta sampai
mampu membaca al-Quran, nama Muhammad seraya menggema. Begitu juga saat warga
gotong royong kerapkali disertai shalawat, selain dangdut dan kasidah tentunya.
Belum lagi tradisi berzanji membuat
saya dan teman se-esde hafal di
luar kepala sifat Nabi Muhammad yang amat dicintai umatnya.
Selain
itu, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW saban tahun adalah tradisi yang ikut
mengakrabkan saya dan anak-anak seumuran pada Nabi Muhammad, anak dari sepasang
suami-istri, Abdullah bin Abdul Muththalib dan Aminah binti Wahab. Masih segar
dalam ingatan, anak-anak maupun kaum remaja di kampung riang gembira menyambut
Maulid Nabi Muhammad. Selepas Isya warga berbondong-bondong mendatangi masjid
dan surau, melantunkan shalawat dan kalimat tayyibah,
mendengar ceramah dari ustad atau Kiai tentang Nabi Muhammad, dan ditutup
dengan makan nasi dalam nampan kaleng secara bersama.
Masing-masing
warga, yang mampu secara ekonomi, secara sukarela menyiapkan makanan lengkap
sayuran dan lauk-pauk untuk disantap bersama usai pengajian peringatan
kelahiran Nabi. Maulidan ini tidak saja berpusat di rumah ibadah, tetapi juga
di sekolah maupun forum-forum pengajian.
Saya
membayangkan, bila tanpa tradisi peringatan Maulidan, dengan cara apa anak-anak
sebaya saya dan kaum remaja di kampung halaman, yang jauh dari pusat informasi
maupun literatur keagamaan yang memadai dapat mengetahui sosok Nabi Muhammad,
kekasih Allah yang wajib kita imani, yang hidup empat belas abad sebelum ini.
Pelbagai
kegiatan kultural memperingati kelahiran Nabi Muhammad di tanah air selama ini
jelas membekas di sanubari umat Islam. Apa sebab? Anak-anak, remaja dan kaum
muda berkesempatan mengenali Nabi Muhammad sebagai utusan Allah sekaligus
manusia pada umumnya, yaitu lahir dalam keadaan yatim, melewati masa kecil
hingga remaja tanpa orang tua lengkap, menggembala domba dan menjalankan barang
dagangan milik Khadijah, lalu berumah tangga-menikah dan memiliki anak,
berjuang dan merasakan pahit-manis mengenalkan Islam kepada umatnya.
Sosok
Nabi Muhammad makin familiar bagi generasi akhir 1990-an melalui kehadiran
album Cinta Rasul duet Hadad Alwi dan Sulis pada tahun 1999. Gayung pun
bersambut, album religi gubahannya menjadi yang terlaris sepanjang sejarah
musik Indonesia, bahkan telah diproduksi ulang dalam berbagai versi dan volume.
Lirik lagunya mengalir syahdu. Penggambaran sosok Nabi Muhammad masyuk ke
relung terdalam hati. Air mata acapkali jatuh dari kelopak sesiapa saja yang
menyenandungkannya. Hati dibuat bergetar saat mendengar nama Nabi Muhammad SAW.
Belum lagi buku fiksi maupun cerita tentang Sosok Nabi Muhammad SAW dan
kehidupan para sahabat Nabi terus hadir menjadi bacaan alternatif bagi orangtua
di kala mengantar tidur anak-anaknya.
***
Pengetahuan
saya tentang Nabi Muhammad makin bertambah seiring meneruskan sekolah menengah
pertama di Pesantren Darussalam di Sungai Mancur, Kecamatan Tanah Sepenggal
Lintas (sekarang), Kabupaten Bungo pada tahun 1997 dan melanjutkan ke Madrasah
Aliyah (SMA) di pondok Pesantren Tebuireng, berlokasi di sebuah dusun kecil
yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada
tahun 2000-an. Masih segar dalam ingatan, jelang shalat lima waktu, saya kerap
mengumandangkan azan di Masjid yang dibangun semasa Khadratussyaikh Hasyim
Asy’ari masih hidup. Nah, sebelum shalat berjamaah dilaksanakan, jeda antara
azan dan shalat, galibnya para santri melantunkan puji-pujian kepada Allah SWT
dan kekasihnya, Muhammad SAW.
Di
pesantren Tebuireng, selain melalui ceramah ustaz dan kiai dalam bentuk
pengajian rutin, saya membaca buku Sirah Nabi
yang ditulis Safi-ur-Rahman Mubarakpuri, berjudul Ar-Rahiq-ul-Makhtum. Buku
ini menceritakan berbagai fase kehidupan Muhammad. Buku ini juga menyediakan
rujukan otentik yang menjadikannya terpercaya. Buku ini telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan judul The Sealed
Nectar. Begitu juga kitab Sirah
Nabawiyah karya Ibnu Hisyam dan The Great Story of Muhammad karya
Syaikh Buthi.
Demikian
ketika saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, tahun 2004, jelajah literatur keislaman makin terbuka. Saya
berkesempatan membaca buku berjudul Makkah at
the Time of Prophet Muhammad karya Binimad Al-Ateeqi; Sejarah
Nabi Muhammad karya Muhammad Hesein Haekal; Muhammad, a Biography of the Prophet (Muhammad,
Biografi Sang Nabi) karya Karen Amstrong; Nasionalisme Muhammad dan Surat
kepada Kanjeng Nabi karya Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun; dan Pribadi Muhammad
karya Dr. Nizar Abazhah.
Kesemua
buku-buku itu menempatkan sosok sentral Nabi Muhammad, lengkap aspek-aspek
kehidupannya, kelahirannya, tonggak-tonggak penting dakwah Nabi Muhammad baik
di Makkah maupun di Madinah, nama-nama julukannya, perjalanan Isra’ Mi’raj,
mukjizatnya, teladan akhlaknya, serta kisah-kisah tentangnya yang kemudian
diolah menjadi cerita oleh para ulama, sufi, maupun pujangga berlimpahkan karya
prosa dan puisi yang menyentuh hati para pembacanya.
Dalam
pada itu, ketika terlibat aktif di JQH Al-mizan, sebuah organisasi seni
tilawah, kaligrafi, tahfiz dan tafsir, yang bernaung di kampus UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, periode 2004-2008, saya berkesempatan belajar dan
mendengarkan langsung lantunan shalawat yang didukung aransemen musik hasil
karya teman-teman seorganisasi nan mumpuni. Sungguh demikian itu momen-momen
terindah memuji sekaligus merindukan kanjeng Nabi Muhammad SAW.
***
Tak
hanya ahlul bait (keluarga
Rasulullah SAW) dan para sahabat yang mengungkapkan kemuliaan sosok Muhammad,
Allah SWT sendiri memuji beliau dalam Surah Al-Qalam ayat
4, "Wa innaka la 'alaa khuluqin
'azhiim (Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar
berbudi pekerti yang luhur). Di ayat lain, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan
yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab: 21).
K.H.
Husein Muhammad, di dinding facebooknya,
29 Oktober 2020, merujuk kitab Sirah
Nabawiyah, menulis detail paras muka Nabi Muhammad manis dan
tampan. Perawakannya sedang, tidak terlalu tinggi, tetapi tidak pula pendek
(Laisa bi althawil al-dzahib wa la bi al-qashir al-bain). Bentuk kepalanya
besar, berambut hitam kelam antara keriting dan lurus. Rambutnya yang tebal
dibiarkan memanjang sampai ke pundak (Kana Yadhrib Sya’rahu ila al-Mankibain).
Dahinya lebar dan rata (wasi’ al jabin), di atas alis mata yang lengkung, tebal
dan bertaut. Sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi putih matanya ada
garis-garis tipis kemerah-merahan. Di pelupuk matanya tampak bayang-bayang
hitam (eye shadow/Ak-hal al-‘ainain wa Laisa bi Ak-hal). Tatapan matanya tajam
(Ad’aj al-‘Ainain), dengan bulu mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan
merata, (Thawil Qashbah al-Unf) dengan barisan gigi yang bercelah-celah
(Mufallaj al-Asnan). Cambangannya lebar (Ahdab al-Asyfar), lehernya jenjang,
bersih dan indah (Kana ‘Unuquh Ibriq Fidhdhah). Dadanya lebar dengan kedua bahu
yang bidang (‘Azhim al-Mankibain). Warna kulitnya terang dan jernih, dengan dua
telapak tangan dan kakinya yang tebal. Tubuhnya selalu menebarkan wangi
(Thayyib al-Raa-ihah wa al-‘Araq). Siapa yang memandangnya akan terpikat, siapa
yang sering bersamanya akan makin cinta (Man ra-ahu badihatan Ha-bbahu, wa Man
Khaalathahu ma’rifatan ahabbahu).
Setakat
hal itu, Nabi Muhammad SAW semasa hidup memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap ketimpangan yang melanda kondisi masyarakat pada waktu itu. Terbukti,
begitu dekatnya Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang miskin, sampai-sampai beliau
mendapat julukan Abul Masakin (Bapak
orang-orang miskin). Dan ketika ada seorang sahabat bertanya terhadap
keberadaan dirinya, beliau menjawab, “Carilah aku di tengah orang-orang yang
lemah di antara kalian.”
Gambaran
Muhammad demikian itu mengingatkan saya pada karya monumental Michael H. Hart,
ahli sejarah, guru besar astronomi dan fisika Universitas Maryland AS. Penulis
buku berjudul “The 100 tokoh-tokoh berpengaruh sepanjang sejarah” ini
menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia berpengaruh sepanjang sejarah
melebihi tokoh agama, ilmuan dan politisi lainnya di seantero dunia. Nabi
Muhammad Lahir dari keluarga sederhana yang jauh dari pusat peradaban. Meskipun
demikian, Nabi Muhammad menjadi seorang yang terjaga dan tidak terlibat dalam
tindakan penyimpangan sosial yang menjadi tradisi masyarakat Arab pada masa
jahiliyah. Junjungan Muhammad melakoni hidup sebagaimana tuntunan Tuhan. Tidak
pernah sekalipun Nabi Muhammad berbohong, menipu, berzina atau mabuk-mabukkan
sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa itu. Singkatnya, bagi
Michael H. Harta, Muhammad SAW tak hanya dikenal sebagai pemimpin umat Islam,
tapi beliau juga dikenal sebagai seorang negarawan teragung, hakim teradil,
pedagang terjujur, pemimpin militer terhebat, dan pejuang kemanusiaan
tergigih.
Masih
dalam satu tarikan nafas, Abbas Mahmud Aqqad, dalam Abqariyyatu Muhammad (Kejeniusan
Rasulullah SAW), menilai keagungan Nabi SAW itu bena-benar sempurna,
karena terjadi dalam segala ukuran, baik menurut ukuran agama, ilmu pengetahuan,
dan ukuran kehalusan rasa dan keluhuran budi pekerti. Ringkasnya, Aqqad
menyebutnya al-thba’i` al-Arba` (empat
karakter) yang amat menonjol pada diri Nabi SAW, yaitu karakter ibadah
(thabi`at al-ibadah), karakter berpikir (thabi`at al-tafkir), karakter
berkomunikasi (thabi`at al-ta`bir), dan karakter kerja dan berjuang (thabi`at
al-`amal wa al-harakah).
Selain
Michael H. Hart dan Abbas Mahmud Aqqad, Annemarie Schimmel, cendekiawan masyhur
yang berpengaruh dalam studi Islam dan tasawuf menulis buku berjudul “Cahaya Purnama Kekasih Tuhan”,
terjemahan dari And Muhammad is his messenger :
the veneration of the prophet in Islamic piety. Menurut
Annemarie, selama ini belum pernah dijumpai sosok yang berperilaku sempurna
seperti Muhammad—yang kadang-kadang keteladanannya dilukiskan warna-warni.
Schimmel melihat Nabi Muhammad berkembang dalam tiga lingkaran yang setiap fase
tumbuh menjadikan namanya semakin besar. Sebagai bulan sabit, bulan purnama,
sampai benar-benar menjadi sempurna, yaitu tercapainya kedudukan sebagai
penutup para Nabi. Ia juga menilai bahwa, Muhammad merupakan manusia yang unik.
Baik dari keselarasan batinnya yang sempurna, juga karena dukungan alam
kesucian. Bahkan yang lebih penting adalah peran aktifnya dalam menciptakan
suatu masyarakat yang madani (beradab).
***
Kini
empat belas abad setelah wafatnya, pengaruh Nabi Muhammad masih mengakar kuat.
Namanya masih harum mengisi sanubari umat Islam di seantero dunia. Meskipun
beberapa pihak yang tak menyukainya cenderung mendiskreditkannya dengan
berbagai macam propaganda, untuk menyebut salah satu contoh, baru-baru ini
muncul pernyataan kontroversial presiden Perancis, Emmanuel Jean-Michel
Frédéric Macron, terhadap Islam yang berdasar pada pembunuhan guru di Perancis,
akibat memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad dari koran Charlie Hebdo.
Segala
bentuk penghinaan, penistaan dan pelecehan kepada baginda Nabi Muhammad
sejatinya bukan hal baru, melainkan menyertai tapak-tapak perjalanan Muhammad
sebagai Nabi yang diutus oleh Allah SWT ke dunia untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia.
Terhadap
perlakuan diskriminatif padanya, marahkah sang Nabi atau keluar sumpah
serapahkah dari mulut Nabi Muhammad? Tidak. Nabi Muhammad, sekalipun dihina,
tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Saya teringat kata Cak Nun,
dalam esai kritik-reflektifnya tahun 1996, Surat kepada Kanjeng Nabi, “Era
terus berganti era dan zaman terus berubah, tetapi Muhammad tidak pernah
dikategorikan sebagai manusia masa lalu dengan muatan nilai-nilai dekaden,
meski kita telah memiliki apapun yang melambangkan pencapaian-pencapaian
kontemporer”.
Sebagai
umat Nabi Muhammad, tentu kita berhak melakukan protes keras terhadap segala
bentuk penghinaan yang ditujukan kepada siapapun, lebih-lebih kepada sosok
sentral kanjeng Nabi Muhammmad SAW, tetapi tidak pula dibenarkan membalasnya
dengan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan sifat Nabi Muhammad
itu sendiri. Apatahlagi harus dengan melukai atau bahkan menghilangkan nyawa.
Mari kembali pada dialog kritis-konstruktif sembari bersikap terbuka dan
menenun toleransi antar sesama warga di belahan negara manapun.
Sebagaimana
pertanyaan di awal tulisan tadi, membersamai peringatan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW, merujuk penanggalan Masehi, Kamis, 20 Oktober 2020, benarkah
cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW adalah cinta yang paripurna? Bukan cinta
semu, yang hanya mengharapkan syafaatnya, tetapi belum sepenuhnya mengamalkan
keteladanannya? Atau cinta pada kanjeng Nabi hanya diperlukan pada momen-momen
tertentu, yang condong pada kepentingan politik praktis semata (duniawi),
seperti Pilkada serentak di beberapa daerah di tanah air sekarang ini? Mereka,
para Cakada, yang piawai “membajak” agama, Tuhan dan Nabi Muhammad SAW demi
syahwat politik jangka pendek semata. Jawabannya terpulang kepada masing-masing
kita.
Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.
Laulaka, wa laulaka (Ya Muhammad), ma Kholaqtul Alam-kullaha.
*Tulisan ini terbit pertama kali pada 30 Oktober 2020 di portal kajanglako.com
0 Komentar