Satu Jam di Ruang Ketiga Jalma

 

Toko Buku Jalma. Sumber: kontan.id. 


Oleh: Jumardi Putra*

Kerjaan beres sebelum tenggat waktu, jadi masih tersisa waktu luang sehari sebelum pulang ke Jambi. Nah, di antara banyak opsi, mengunjungi Pusat Belanja Blok M Square, Jakarta Selatan, paling masuk akal buat saya ketika itu, karena tidak jauh dari tempat saya menginap (18/6). Saya pun memantabkan niat menuju basement Blok M Square, surga bagi para pemburu buku-buku lawas. Begitu para bibliofil melabeli arena pengetahuan tersebut.  

Setiba di Blok M Square, jarum jam menunjukkan angka 10.15 WIB, wajar bila toko maupun lapak buku belum semuanya buka, namun saya tetap menikmati lawatan kali ini, sembari nostalgik. Sepengamatan saya, pengunjung pusat perbukuan di sini tidak lagi seramai dahulu. Hal itu salah satunya disebabkan perniagaan buku banyak beralih ke lapak online.

Saya sempat bincang-bincang lepas dengan beberapa penjual buku di situ, setelah sebelumnya menyusuri dari satu toko ke lapak buku lainnya. Kali ini saya membeli beberapa buku tentang kisah cinta Bung Karno dengan Anak SMA yaitu Yurike Sanger (terbit 2010), Pemuda Islam dalam Dinamika Politik-Bangsa 1925-1984, 41 Warisan Kebesaran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur/2010), kumpulan kisah jenaka, cerdas dan penuh hikmah karya Syaikh Juha yang juga dikenal sebagai Abu Nawas (2010), serta Harun dan Samudera Dongeng (2011) karya sastrawan ternama Salman Rushdie, yang juga populer dengan karya kontroversial berjudul The Satanic Verses (1988)   

Penulis di Toko Buku Jalma

Hampir dua jam saya menghabiskan waktu di lantai dasar Blok M Square. Saya pun perlahan-lahan meninggalkan pusat belanja tersebut, melanjutkan perjalanan rute berikutnya, sebelum akhirnya ke terminal 3 Bandara Sukarno-Hatta. Nah, sebelum mesan gojek, pandangan saya tertuju pada toko buku Jalma di jalan Melalawai 3, yang di dalamnya ramai pengunjung.

Tertarik melihat keramaian di dalam toko buku milik jaringan usaha Gramedia itu, saya pun mengurungkan niat memesan gojek. Benar saja, tidak lama setelah melewati pintu masuk toko buku Jalma, saya dibuat kagum melihat desain ruangan sekaligus suasana di dalamnya. Di antara banyak toko buku Gramedia yang pernah saya kunjungi di beberapa kota di Indonesia, boleh dikata Jalma versi toko paling menarik-instagramble, selain Makarya di Matraman. Bukan tanpa sebab, di tengah kota Jakarta yang sibuk dan sumpek, toko buku beginian bisa menjadi alternatif untuk bersantai (melambat di tengah dunia serba berlari kencang), berkoneksi, dan berekspresi dengan disaksikan ribuan buku yang tertata rapi dengan desain rak buku yang apik pula. Bahkan, setiap sudutnya dirancang dengan konsep cozy dan aesthetic, plus area baca yang nyaman dengan sofa empuk dan pencahayaan hangat.

Kehadiran Jalma disebut membawa konsep ruang ketiga (third space). Di tempat ini, pengunjung dapat berbagi ide, bertukar pendapat, dan membangun komunitas. Memang, saya perhatikan tersedia beberapa meja saling terhubung, representatif untuk membaca, berdikusi dan menulis, terutama di bagian belakang.

Suasana di Toko Buku Jalma. Dok. Penulis

Terinspirasi dari bahasa Sunda dan Jawa, jalma berarti manusia. Nama ini lahir dari keinginan Gramedia untuk memberikan ruang bagi tiap individu yang terhubung lewat buku. Menariknya lagi, buku-buku yang dipajang tampaknya dikurasi terlebih dahulu, untuk menyebut buku-buku pilihan. Pilihan di sini tentu bergantung dari pertimbangan pasar pihak Gramedia, selain menyediakan rak-rak untuk buku-buku berkualitas dari penerbit di luar kelompok Gramedia.

Yang Pasti, begitu masuk, tuan dan puan bakal disambut oleh deretan rak yang penuh dengan buku terbaru dan terpopuler, dari novel yang lagi hits sampai buku nonfiksi (politik, ekonomi, sosial, sejarah dan budaya) bermutu.

Demikian pengalaman singkat saya, sekitar satu jam lebih berada di toko buku Jalma. Toko buku dengan desain beginian kerap saya impikan hadir di Kota Jambi. Toh, kalaupun menjamur sakarang keberadaan cafe-café di Tanah Pilih Pusako Betuah, belum ada yang serius menghubungkan kegiatan usaha itu dengan buku-buku. Begitulah, kenyataannya masih jauh panggang dari api.

 

*Kota Jambi, 21 Juni 2025.


*Tulisan-tulisan saya lainnya:

1) Festival Literasi: Dari Militansi ke Retrospeksi

2)  Menyoal Duta Baca Provinsi Jambi, Kerja Apa?

3) Pengelana Buku Itu Tidak Pernah Pergi, Obituari Nirwan Arsuka

4) Generasi Nol Buku

5) Meresensi Novel dan Menulis Ulang Cerita

6) Di Balik Panggung Pemilihan Bujang Gadis Jambi

7) Komunitas Epistemik dan Kosongnya Kampus Kita

8) Ngadem di Goethe Institut

9) Suatu Siang di Erasmus Huis

10) Merajut Asa di Ruang Belajar Prof H.A.R. Tilaar

11) Ngadem di Freedom Institute Library

(12) Arsip Daerah Jambi di ANRI

(13) Kerja Arsip Berdekatan dengan Kesepian

(14) Pers Jambi (Tanpa) Pusat Dokumentasi

(15) Ada Sesuatu di (dalam) Jogja

(16) Setengah Abad Arena: Perjalanan yang Tidak Mudah

(17) Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan ke Mantijeron

(18) Asa di Jalan Kaliurang Km 12 Jogja

(19) Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan

(20) Jogja yang Dirindukan, Jambi Tempat Berpulang

(21) Prabowo, sang Bibliofil

(22) Sore Bersama Delegasi KITLV Jakarta-Leiden

0 Komentar