NAA saat menyampaikan pidato kebudayaan (DKJ, 2015) |
Oleh: Jumardi Putra*
Mendapat kabar siapapun yang mendermakan
segenap pikiran dan waktunya untuk kerja-kerja pengetahuan dan kebudayaan jatuh
sakit dan akhirnya tutup usia menjadi sesuatu yang semakin sering kita
alami. Dan, mendung duka itu kini menyelimuti jagad literasi tanah air
Indonesia.
Nirwan Ahmad Arsuka (NAA) namanya. Pendiri Pustaka
Bergerak kelahiran Sulawesi Selatan ini tutup usia pada Senin 7 Agustus 2023 di
RSCM, Jakarta. Berita kepulangan Mas Nirwan saya ketahui pertama kali melalui
cuitan twitter budayawan Goenawan
Mohamad berikut ini, "Meninggal dan meninggalkan kenangan baik dan kerja
yang mulia; Nirwan Arsuka wafat dalam usia 57 tahun. Penulis Esei tentang ilmu
dan kebudayaan, pelopor Pustaka Bergerak-usaha membawa buku-buku bacaaan untuk
anak-anak di pedalaman."
Ucapan belasungkawa Goenawan Mohamad sejatinya menegaskan Nirwan Ahmad Arsuka tidak pernah pergi, sekalipun fisiknya akan dikebumikan dan
segera luput dalam kesibukan hari-hari kita sebagai makhluk ekonomi, apatah
lagi di tengah tekanan hidup yang tidak mudah sekarang ini. Namun berkat gerakan
literasi ke pelosok-polosok tanah air yang ia lakoni sampai tutup usia, dan bahkan
jauh sebelum itu ia telah lama bertungkus lumus dalam kerja-kerja kebudayaan,
membuatnya senantiasa berada di antara mereka yang menaruh keyakinan penuh di
dada bahwa peradaban akan terus tumbuh justru karena dedikasi pada ilmu dan pengetahuan. Di ranah itulah, hemat saya Nirwan Ahmad Arsuka mengada. Semoga.
Saya kerap membaca tulisan-tulisan Nirwan semasa kuliah di Yogyakarta. Sependek
yang saya tahu, esai-esai bernasnya terbit secara berkala di Kompas dan Jurnal Cipta. Tidak hanya
esai berbasis budaya, tetapi Nirwan juga berkarya berdasarkan ketertarikannya
dengan sejarah. Beberapa karya Nirwan Arsuka juga diterbitkan dalam bentuk esai
internasional, seperti International
Journal of Asian Studies dan Inter-Asia
Cultural Studies Journal. Tahun 2018 Ombak Yogyakarta menerbitkan buku
tebal berjudul Semesta Manusia yang merekam (hampir) seluruh isi kepala Nirwan
Ahmad Arsuka terdiri dari ratusan tulisan dengan beragam tema, mulai sains,
manusia, seni, sastra, agama, Indonesia, kuda, dan pustaka bergerak.
Buku Kumpula Esai Nirwan Ahmad Arsuka (Ombak, 2018) |
Agak unik menengok latar belakang pendidikan pria kelahiran 6 September 1957 ini. Ia adalah alumnus Jurusan Teknik Nuklir, Fakultas Teknik UGM, angkatan 1986, tetapi ia justru familiar melalui tulisan seputar kebudayaan yang terbit di koran-koran maupun pidato dalam pelbagai mimbar kebudayaan.
Sekalipun tidak bekerja di industri pernukliran, jejak
ilmu Nirwan masih terlihat dari karya tulisnya yang menunjukkan hubungan perkembangan
teknologi dengan kebudayaan. Ambil misal pidato kebudayaan Nirwan Ahmad Arsuka di Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2015 berjudul “Percakapan
dengan Semesta”.
Pidato
kebudayaan Nirwan diawali oleh kisah Karaeng Pattingalloang, seorang perdana
menteri Kerajaan Makassar yang memesan bola dunia terbesar saat itu–abad ke 16.
Cerita kemudian bergulir dari pandangan penulis terhadap gairah dan
perkembangan ilmu pengetahuan yang saat itu masih terbatas, di antaranya adalah
perbandingan antara otak Barat (pencapain sains dan budaya yang dicapai oleh
kebudayaan Eropa), dan otak manusia Nusantara.
Pendeknya,
pidato Nirwan itu membentangkan hubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Tidah
heran bila istilah “percakapan dengan semesta” yang dianggit oleh Nirwan tiada
lain adalah upaya tiada henti manusia untuk mencari dan mencari tahu tentang
semesta. Manusia mencari maka semesta pun memberikan jawaban. Dalam
perjalannnya, bagaimana manusia menyortir dan menyunting sebuah informasi untuk
menjadi informasi yang dicerna manusia dengan mudah serta bagaimana pula keterbukaan
informasi memengaruhi kemajuan teknologi dan sains.
Isi pidato Nirwan akan tetap menemukan relevansinya sampai
saat ini, lebih-lebih di tengah airbah informasi sekaligus era post-truth sekarang ini, dimana muncul
pelbagai pendapat atau pandangan berupa penolakan terhadap hasil kerja
pengetahuan hanya berbekal keyakinan sekaligus asumsi-asumsi keropos yang
didasari bukan pada data dan hasil penelitian, seperti istilah belakangan ini yang
familiar kita dengar “matinya kepakaran”.
Nirwan saat menjajakan buku kepada anak-anak. sumber foto: Kagama.id |
***
Tahun 2014 saya membaca berita seputar Pustaka Bergerak
yang diinisiasi Nirwan. Desain gerakan literasi itu bukan menyediakan layanan perpustakaan
pada umumnya, yang menunggu pembaca datang, tetapi sebaliknya justru memilih
menghampiri pembaca secara langsung. Tujuan Pustaka Bergerak yaitu menumbuhkan
minat baca anak-anak di pelosok-pelosok Tanah Air yang terkendala akses
terhadap sumber bacaan bermutu. Gerakan itu didasari dengan kesadaran bahwa sebagai
pemilik masa depan, anak-anak di pelosok tanah air adalah juga pemilik masa
depan Indonesia sehingga perlu dibekali ilmu pengetahuan dan kecerdasan agar
berhasil mengarungi kehidupan.
Saya sedikit banyak mendapatkan cerita di balik gerakan
literasi Mas Nirwan ini melalui almarhum sejarahwan sekaligus pemilik penerbit
buku-buku sejarah Ombak di Yogyakarta yaitu Muhammad Nursam, yang juga sejawat
mas Nirwan. Ia menyampaikan kepada saya usaha mas Nirwan membawa buku-buku dari
gudang penerbit dan buku-buku bekas dari kawannya ke pelosok daerah dengan
menggunakan kuda. Berjalannnya waktu, muncul dukungan banyak orang yang mau
melakukan apa yang dilakoninya, sehingga mas Nirwan menghimpun para relawan
untuk mengumpulkan dan mendekatkan buku-buku kepada anak-anak yang membutuhkan.
Pustaka Bergerak yang semula ia lakoni menggunakan kuda, beranjak menggunakan pelbagai moda seperti kuda, sepeda, sepeda motor, bendi, perahu, gerobak, becak, hingga berjalan kaki membawa noken berisi buku. Kabarnya saat ini Pustaka Bergerak tumbuh menyebar di seluruh penjuru Indonesia dengan 3.000 lebih simpul dan melibatkan 27.000 relawan.
***
Terakhir kali saya membaca esai Nirwan Ahmad Arsuka
pada 16 April 2023 di rubrik Marginalia Majalah Tempo. Tulisan itu dimulai tentang
satu buku tertua dalam sejarah Cina diberi judul Shujing, yang artinya "Kitab Dokumen". Bagi penyusun Shujing, kitab memang berguna sebagai
wahana penyimpan informasi. Anggapan itu agaknya dipegang oleh bendaharawan
Sumeria pertama yang menata aksara baji di tablet-tanah liat atau penguasa
Mesir kuno pertama yang memerintahkan penyusunan hieroglif di gulungan papirus.
Johannes Gutenberg di abad ke 15 atau Michael R. Hart, penemu e-book dan pendiri Project Gutenberg di
abad ke-20, juga masih menganggap tugas utama buku adalah menyimpan informasi
dan pengetahuan. Berawal dengan kesadaran itu, jaringan pustaka bergerak
terinspirasi.
Memang, internet telah menyediakan berlimpah sumber literatur
yang dapat diakses 24 jam, tetapi Nirwan dalam pandangan saya masih menempatkan
buku fisik sebagai sesuatu yang penting dikenalkan pada anak-anak, terutama mereka
yang berada di pelosok-pelosok tanah air, karena melalui buku itulah dunia imajinasi
dan ilmu pengetahuan akan terbentuk, dan itu merupakan bekal bagi mereka menjalin
hubungan atas dasar kesetaraan dengan individu-individu, kelompok atau
komunitas dan institusi manapun baik di tanah air maupun dunia yang lebih luas.
Puncaknya, gagasan sekaligus kesadaran praksis yang
melatar belakangi seorang Nirwan Ahmad Arsuka bersama relawan Pustaka Bergerak yang
dihimpunnya termuat dalam tulisannya itu, seperti saya sertakan penggalannya berikut
ini, “Buku
yang bergerak dari satu tangan ke tangan yang lain mendapat martabat baru
sebagai cendera mata, tanda persahabatan dan kepedulian, serta solidaritas bagi
sesama. Buku yang terkirim dari satu tempat di Indonesia ke tempat lain di pelosok
dapat menjadi peniup nyala api persaudaraan”.
Dan, nyala api persaudaraan itu harus terus terhubung ke seluruh penjuru
tanah air tercinta.
Selama Jalan, Mas Nirwan. Terima kasih untuk kerja muliamu. Berbahagialah engkau berada di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih dan Lagi Maha Penyayang.
Amin.
*Kota Jambi, 7 Agustus 2023.
0 Komentar