![]() |
Gedung Pusdiapres Soekarno |
Oleh: Jumardi Putra*
Pupus, niat saya semula ingin melihat koleksi belasan
ribu buku milik mendiang aktivis demokrasi dan politisi Rahman Tolleng (1937-2019) di
lantai 3 gedung Tempo, Palmerah, Jakarta, namun gagal lantaran belum dibuka
untuk umum. Setidaknya begitu informasi yang saya terima dari pegawai media
Tempo. Tanpa berlama-lama di markas Majalah dan Podcast “Bocor Alus Politik” Tempo itu, saya
segera memesan gojek menuju Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan (Pusdiapres) Ir.
Sukarno di Jalan Gajah Mada Nomor 111 1, RT.1/RW.1, Krukut, Kecamatan Taman Sari,
Kota Jakarta Barat (19/6).
Tidak ada hambatan yang berarti sepanjang jalan, sehingga untuk sampai ke gedung Pusdiapres
memerlukan waktu sekira 1 jam-an, setelah sebelumnya singgah sejenak di Galeri
Nasional. Setiba di laman depan bangunan bergaya
khas Eropa bekas kediaman Gubernur Hindia Belanda Jenderal Reynier de Klerk yang
menjabat dari tahun 1777 hingga 1780 itu,
saya memberitahu maksud dan tujuan ke Satpam untuk masuk ke gedung Pusdiapres yang terletak persis di belakangnya. Ini kali pertama bagi saya ke tempat tersebut, meski setiap ke Jakarta kerap melewati gedung yang dikenal
dengan sebutan "Amazing Huis De Klerk" itu. Arsitektur
bangunannya bergaya Indische Empire dengan struktur khas kolonial yang
megah dan kokoh. Di sinilah berbagai dokumen penting mengenai administrasi
kolonial disimpan dan dikelola dahulu. Pada abad ke-19, setelah VOC dibubarkan
dan pemerintahan Hindia Belanda mengambil alih, gedung ini dialihfungsikan
menjadi kantor pusat Landsarchief
atau Arsip Negara Hindia Belanda.
Meski gaya bangunan Pusdiapres (empat lantai)
kontras bila dibandingkan dengan bekas rumah Reynier, karena bangunan
Pusdiapres ini dibangun dengan desain modern, tetapi keduanya memiliki
nilai yang tidak hanya terletak pada arsitekturnya, tetapi juga pada peranannya
dalam menyimpan berbagai dokumen penting yang mencatat perjalanan bangsa ini.
![]() |
Penulis di Pusdiapres Ir. Soekarno |
Di dalam gedung Pusdiapres terdapat sejumlah arsip yang bisa masyarakat lihat seperti surat pidato Ir. Sukarno saat kongres di Amerika Serikat tahun 1956. Selain informasi berbentuk teks, di Pusdiapres Sukarno ini saya juga menyaksikan video-video informasi yang bisa dipilih sesuai peristiwa sejarahnya, yang secara keseluruhan bertitimangsa pada perjalanan Sukarno.
Usai dari gedung arsip bekas rumah Reynier di bagian depan, saya langsung menuju Gedung Pusdiapres persis berada di belakangnya. Saya dan tamu lainnya dipandu ke lantai empat untuk merunut perjalanan Bung Karno, sang proklamator semasa hidup. Tenang saja untuk menuju ke lantai empat, pengunjung tak perlu menaiki tangga karena sudah tersedia lift.
Di gedung Pusdiapres ini, perjalanan karir Bung Karno ini dibagi menjadi empat lantai. Yang pertama (lantai empat) adalah Hall 1 (Aku, Indonesia) menyajikan dari awal kelahiran Sukarno hingga beliau menghembuskan nafas terakhir. Terpajang foto-foto Bung Karno mulai dari masa muda sampai masa tua. Ada juga dokumen tulisan tangan untuk istrinya Ratna Sari Dewi. Pada bagian ini, nyatanya tidak hanya saya, melainkan tamu lainnya juga antusias sehingga sabar mengantri melihat dengan cermat isi surat Sukarno kepada perempuan asal Jepang itu.
Selanjutnya, di Hall 2 yakni jalan Politik Sukarno, memuat rekam jejak Sukarno menjadi seorang tokoh yang disegani oleh banyak negara lainnya. Di lantai ini, saya melihat replika tulisan teks proklamasi yang dibuat oleh Presiden Sukarno. Bagi yang ingin mengetahui lebih jauh soal proses penyusunan teks proklamasi, bisa langsung mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi atau disingkat dengan Munasprok di jalan Imam Bonjol No.1, RT.9/RW.4, Menteng, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat. Bukan kebetulan, saya pribadi sudah pernah ke museum itu pada tahun 2019 (Tulisan saya lebih lanjut bisa baca di link berikut ini: https://www.jumardiputra.com/2021/08/saksi-bisu-perumusan-naskah-proklamasi.html). Bahkan, di gedung Pusdiapres Hall 2 ini saya dan tamu lainnya melihat kisah ketika Sukarno harus merasakan tidur di balik penjara (salah satunya di Sukamiskin, Bandung, setelah sebelumnya ditahan di Penjara Banceuy. Ia dipenjara karena aktivitasnya bersama Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dianggap membahayakan oleh pemerintah Hindia Belanda) dan beberapa kali merasakan pengasingan di beberapa daerah di Indonesia, informasi tersebut dapat dilihat oleh masyarakat dalam ruangan ini.
Kemudian, pada Hall 3 (Patron Budaya) saya melihat bukti sisi lain seorang Sukarno. Selain Presiden, Soekarno juga dikenal luas sebagai pecinta seni. Tak pelak, di setiap acara kenegaraan Sukarno selalu menyelipkan kesenian entah itu tarian atau pun lagu-lagu daerah. Begitu juga di istana kepresidenan di masanya banyak keberadaan karya lukis dan patung dengan kualitas tinggi. Hal ihwal beginian termaktub di dalam buku-buku seputar Sukarno dengan karya seni seperti Lukisan Koleksi Ir. Dr. Soekarno, kompilasi Dullah, Penerbit: Pustaka Rakjat Peking, Tiongkok, edisi 1-2, 1956 (Koleksi Museum Dullah); Lukisan dan Patung Koleksi Ir. Dr. Soekarno, Presiden Republik Indonesia, kompilasi Lee Man Fong, Penerbit: PT. Topan Tiongkok, Jepang, edisi 1-5, 1964 (Koleksi Museum Dullah); dan Lukisan Koleksi Ir. Dr. Soekarno, kompilasi Dullah, Penerbit: Pustaka Rakjat Peking, Tiongkok, edisi 1-4, 1956. Bertanda tangan asli Presiden Soekarno (Koleksi Museum Dullah).
Menariknya lagi, di Hall 3 ini juga terdapat kegemaran lainnya yang dimiliki oleh Sukarno yakni kuliner, terlihat dari peninggalan buku yang ia tulis terkait sajian masakan Nusantara berjudul Mustikarasa dan bidang olahraga pun tak terlupakan. Bidang ini disebut Sukarno sebagai media pembangunan karakter bangsa. Di sini saya melihat buku-buku karya Sukarno lainnya seperti dua jilid buku Di Bawah Bendera Revolusi, Res Publica, Sekali Lagi Res Publica! (judul pidato Bung Karno di hadapan Konstituante pada 22 April 1959), Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya jurnalis Cindy Adams, Mencapai Inndonesia Merdeka (ditulis Sukarno pada tahun 1933 di Pangalengan, setelah ia kembali dari tur Jawa Tengah untuk membangkitkan semangat rakyat), Sarinah (terbit pada November 1947. Kumpulan bahan pengajaran Bung Karno dalam kursus wanita).
Masih ada buku lainnya lagi yaitu berjudul Bung Karno Sebagai Ahli Sejarah" karya Sumardjo terbitan Balai Pustaka tahun 1965 (Buku ini menyoroti bagaimana Sukarno tidak hanya seorang tokoh politik dan proklamator, tetapi juga seorang pemikir yang mendalami sejarah dan memanfaatkannya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa), Bung Karno dan Kehidupan Berpikir dalam Islam karya Solichin Salam (Djakarta-Widjaya, 1964), Bung Karno dan Islam (Panji Masyarakat, 1990, memuat pidato-pidato Bung Karno tentang Islam dari tahun 1953 sampai dengan1966, yang sekaligus mencerminkan sikap dan pandangan Bung Karno terhadap Islam berkaitan dengan perjuangan semesta yang tengah diembannya sebgai pemimpin bangsa dan negara), dan buku berjudul Bung Karno Mentjari dan Menemukan Tuhan karya Akhmad Notosutarjo (Jakarta: Lembaga Penggali dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia, 1964).
![]() |
Pengunjung melihat tulisan tangan Soekarno |
Hampir satu jam lebih saya berada di Hall 1 sampai 3 di gedung Pusdiapres ini. Saya pun bergegas menuju Hall 4, bagian terakhir dengan tajuk kesejahteraan dan kerakyatan, yang mana melalui pemikiran-pemikirannya sebagai pemimpin bangsa Sukarno harus mampu mencukupi ekonomi negara dan membuat rakyatnya tidak menderita. Salah satu hal menarik pada bagian ini adalah upaya Soekarno menasionalisasikan aset-aset milik kolonial Belanda untuk dikelola dalam rangka pemajuan ekonomi nasional masa itu yaitu meliputi De Javasche Bank (Bank sentral Hindia Belanda yang kemudian menjadi Bank Indonesia), perusahaan pelayaran KPM ((Koninklijke Paketvaart Maatschappij): Perusahaan pelayaran yang menguasai sebagian besar jalur pelayaran di Indonesia, perusahaan dagang "The Big Five" (NV Borsumij, NV Jacobson van den Berg, NV Internatio, NV Lindeteves, dan NV Geo Wehry, serta berbagai perusahaan industri dan perkebunan.
Terpampang pada dinding ruangan berupa kalimat Sukarno yang mencerminkan perjuangannya untuk kesejahteraan rakyat, berikut ini “Dalam cita-cita politikku, aku ini seorang nasionalis. Dalam cita-cita sosialku, aku ini seorang sosialis. Di dalam cita-cita sukmaku, aku ini seorang theis. Sama sekali percaya kepada tuhan, sama sekali ingin mengabdi kepada tuhan'”.
Tidak terasa, hampir dua jam lebih saya berada di gedung Pusdiapres Sukarno. Sebelum meninggal genah ini, saya pun melihat seisi bangunan kediaman Gubernur Hindia Belanda Jenderal Reynier de Klerk yang berada persis di depan gedung Pusdiapres. Kini, dengan fungsinya yang lebih modern sebagai museum, gedung ini sejatinya mengingatkan generasi sekarang akan pentingnya menjaga sejarah dan arsip sebagai warisan bangsa.
![]() |
Geedung Pusdiapres Ir. Soekarno |
Catatan saya kali ini tentu belum sepenuhnya berhasil mencatat segala pernak-pernik di dalam gedung Pusdiapres Sukarno, tetapi setidaknya bisa memantik siapa saja untuk ke sini, sebagai langkah kecil merawat nasionalisme dengan tetap berpijak pada sejarah bangsa sendiri.
Sebagaimana di awal kedatangan saya memberitahukan maksud dan tujuan kepada Satpam dan beberapa pegawai dari Pusdiapres ini, begitu juga ketika pamit meninggalkan gedung bersejarah
ini. Terima kasih atas sambutan baiknya. Perlahan-lahan gedung bergaya Indische Empire itu hilang dari
penglihatan saya. Di sepanjang jalan dari arah Jalan Gajah Mada, Krukut, Kec. Taman Sari, Kota Jakarta Barat, menuju
Terminal 3 Bandara Sukarno-Hatta, terlintas di pikiran saya kalimat apik dari Putra
Sang Fajar berikut ini, “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan
sendiri akan dapat berdiri dengan kuat”.
*Jakarta-Kota Jambi, 20 Juni 2025.
Tulisan saya lainnya di link berikut ini:
1) Sejarah Jambi di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
2) Monumen Kisah Cinta Bung Karno dan Inggit Garnasih
3) Sepulang dari Pusara Inggit Garnasih
4) Bung Karno di Mata Mahbub Djunaidi
5) Bung Karno dan Sumbangan Rakyat Jambi Untuk Kemerdekaan RI
0 Komentar