Saksi Bisu Perumusan Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI

Rumah Dinas Laksamana Muda Admiral Tadashi Maeda (1931)

Oleh: Jumardi Putra*

Betapa tidak, kunjungan pertama kali saya ke Museum Penyusunan Naskah Poklamasi (disingkat Munasprok) meruapkan rasa bahagia, sama halnya ketika saya berkesempatan mengunjungi Gedung Joang 45, Museum Sumpah Pemuda, dan Museum Sasmitaloka Jendral Ahmad Yani, yang kesemuanya berada di pusat Ibu Kota, Jakarta.

Munasprok yang berada di Jalan Imam Bonjol No. 1, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat selama ini saya ketahui melalui tayangan televisi dan buku-buku sejarah sejak di bangku sekolah dasar hingga sekarang ramai diabadikan oleh pengunjung museum melalui kanal youtube.

Setiba di gedung bergaya arsitektur Eropa (Art Deco) ini saya tak segera masuk. Sejenak saya bercakap-cakap dengan dua orang Satpam. Dari arah pos keamanan, tampak beberapa pekerja sedang memperbaiki plafon bagian depan lantai dua bangunan. Gedung ini memiliki pintu-pintu dan jendela-jendela berukuran besar, tidak seperti bangunan pada umumnya.

Penulis saat berkunjung ke Munasprok. Dok. JP

Bangunan yang didirikan sekitar tahun 1920-an ini berdiri di atas tanah seluas 3.914 m2 dengan luas bangunan 1.138,10 m2 dan merupakan rancangan arsitek Belanda J.F.L Blankenberg.

Selama bekerja di Batavia dari tahun 1926 sampai 1949, J.F.L Blankenberg telah merancang berbagai bangunan penting, antara lain gedung apartemen, kompleks bisnis General Motors, stasiun penyiaran, dan studio untuk Perusahaan Penyiaran Hindia Belanda, dan beberapa tempat tinggal mewah (termasuk kemudian kediaman duta besar Amerika Serikat, tempat pembuatan bir dan pertokoan.

Gedung ini mengalami beberapa kali renovasi sekaligus berpindah kepemilikan. Pada tahun 1931 gedung ini pernah digunakan oleh PT Asuransi Jiwasraya, lalu didiami oleh Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat Jepang (Kaigun), Laksamana Muda Admiral Tadashi Maeda, selama masa pendudukan Jepang.  Saat terjadi Perang Pasifik, gedung ini dipakai British Consul General sampai Jepang menduduki Indonesia.

 Laksamana Muda Admiral Tadashi Maeda.

Paska Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, gedung ini masih dihuni oleh mantan Atase Jepang di Den Haag dan Berlin pada 1930 itu sampai Sekutu mendarat di Indonesia, September 1945.

Usai kekalahan Jepang pada sekutu, bangunan ini sempat menjadi markas besar tentara kerajaan Inggris. Selanjutnya, hasil dari nasionalisasi terhadap aset miliki bangsa asing di Indonesia, kepemilikan gedung ini diserahkan kepada Departemen Keuangan, dan pengelolanya merupakan Perusahaan Asuransi Jiwasraya pada September 1945.

Berselang enam belas tahun setelahnya (1961), gedung ini dikontrak oleh Kedutaan Inggris, dan pada 28 Desember 1981 dipakai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hingga  setahun setelahnya (1982) digunakan oleh Perpustakaan Nasional sebagai perkantoran untuk karyawan.

Menyadari nilai sejarah gedung ini, pada tahun 1984 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode Prof. Nugroho Notosusanto menginstruksikan kepada Direktorat Permuseuman agar merealisasikan bangunan ini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Delapan tahun pasca instruksi Prof. Nugroho Notosusanto itu, berdasarkan surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0476/1992, tanggal 24 November 1992, bangunan ini ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis di bidang Kebudayaan di bawah Dirktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Apa saja isi Museum Penyusunan Naskah Proklamasi ini?

Berikut hasil penulusuran saya di gedung yang menjadi saki bisu atas peristiwa bersejarah 76 tahun lalu, yakni mulai dari persiapan, perumusan, pengetikan, hingga pengesahan dan penandatangan naskah proklamasi kemerdekaan RI yang dibacakan oleh pemimipin Besar Soekarno dan Hatta pada Jumat, 17 Agustus 1945.

Memasuki museum di lantai I, pengunjung akan menemukan ruangan utama. Ruangan utama ini dahulu digunakan sebagai ruang diplomasi antara Indonesia dengan Belanda  paska kemerdekaan RI.

Selain menjadi tempat persetujuan dan pengesahan naskah proklmasi oleh seluruh hadirin yang hadir sekitar 4—50 orang jelang jelang subuh, Jumat, 17 Agustus 1945, ruangan ini pernah digunakan sebagai tempat perundingan antara pihak Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pihak Belanda yang dipimpin oleh Dr. H.J. Van Mook, sedangkan dari pihak sekutu diwakili oleh Let. Jen. Christisson.

Ruang Utama lantai satu Munasprok. Dok. JP

Begitu juga perundingan kedua kalinya, yaitu tanggal 7 Oktober 1946, antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Prof. Schermerhorn, sedangkan sebagai penengah dari pihak Inggris, yaitu Lord Killearn.

Di ruang pengesahan ini, tersedia tiga komputer yang menyajikan informasi digital. Substansi materinya berkisar pada peristiwa dan tokoh-tokoh seputar Proklamasi. Karena digital, pengunjung cukup mengklik gambar atau foto tokoh sesuai keinginan.

Pada sisi kiri pintu masuk terdapat sebuah ruangan berisikan meja dan kursi tamu. Di sinilah tempat Laksamana Maeda menerima Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo, setibanya mereka dari Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 pukul 22.00 WIB. Di sana, ketiganya, tidak termasuk Maeda, mempersiapkan perumusan naskah Proklamasi.

Di sebelah ruang pertemuan ada meja makan tempat dirumuskannya naskah Proklamasi. Di sinilah pada 17 Agustus 1945, dini hari pukul 03.00 WIB, Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo merumuskan konsep naskah Proklamasi. Setelah draf itu disetujui para wakil pemuda dan anggota PPKI yang hadir, Sukarno meminta Sayuti Melik mengetiknya. B.M. Diah ikut menemani Sayuti mengetik. Pada momen ini, Laksamana Maeda juga tidak terlibat.

Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo. Dok. JP.

Untuk menambah kesan nyata terhadap peristiwa 76 tahun lalu, di ruangan ini terdapat tiga patung lilin sosok Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo. Ketiga tokoh bangsa ini tampak berembuk merumuskan naskah Proklamasi. Tak jauh dari ketiga patung tiruan tiga tokoh itu, terpajang naskah Proklamasi tulisan Soekarno dalam ukuran besar, yang dibingkai kaca tebal. 

Selanjutnya, di bawah tangga lantai 2, tepat dihadapan pintu utama Museum, terdapat sebuah ruangan kecil yang dahulu digunakan sebagai tempat Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi ditemani oleh B.M. Diah.

B.M. Diah (berdiri) dan Sayuti Melik (ngetik). Dok. JP

Ketika memasuki ruangan ini, pengunjung secara otomatis mendengar suara (audio) yang menjelaskan aktivitas Sayuti Melik dan BM. Diah jelang dinihari 17 Agustus 1945.

Tidak jauh dari situ, terdapat susuran tangga (handrail) dihiasi ornament dari besi bergaya Art Deco dan lobang angin di atas pintu diisi dengan jeruji yang  bercorak serupa. Menuju lantai dua bangunan ini, tak jauh dari tangga, terdapat kamar mandi yang sudah tidak difungsikan. Keramiknya jelas berusia tua, namun sudah ada bathtubwastafel, dan juga kloset duduk.

Tangga bergaya Art Deco. Dok. JP.

Di lantai dua ini, terdapat berbagai benda seputar masa pergerakan yang tersimpan rapi dalam etalase, antara lain buku Naskah Persiapan Undang-undang Dasar RI Jilid I dan Buku Pembahasan Undang-Undang Dasar RI karangan M. Yamin, Documenta Historica tentang Sejarah Pertumbuhan dan Perjuangan Negara Republik Indonesia, 1951, dan Buku dari Proklamasi sampai Gesuri/ Genta Suara Revolusi Indonesia: berisi pidato proklamasi yang diucapkan oleh P.J. M. Presiden RI pada tiap tanggal 17 Agustus sejak Agustus 1945 sampai 1963 (terbitan Yayasan Prapantja, 1963), majalah (Madjalah Djawa Baroe), piringan hitam yang pertama kali merekam proklamasi kemerdekaan Indonesia, kaset proklamasi, serta hasil scan terhadap tulisan tangan dan ketikan naskah proklamasi.

Selain itu, terdapat mata uang kertas seri “Dai Nippon Teikoku Seihu” (Imperial Japanse Goverment) seri uang yang pertama yang menggunakan satua “roepiah” menggantikan seri sebelumnya yang masih menggunakan gulden. Seri ini tidak memiliki seri pengaman seperti seri-seri lainnya, dan terdiri dari 5 pecahan, yaitu 1 / 2 roepiah, 1 roepiah, 5 roepiah, 10 roepiah, dan 100 rioepiah. Kemudian terdapat mata uang kertas senilai 10 Rupiah Pemerintah RI sebagai tanda pembayaran yang sah, 17 Oktober 1945, yang ditanda tangani Menteri Keuangan.

Di ruangan lainnya terdapat cetakan poster bergambar Soekarno, jam tangan dan kacamata Soekarno, pakaian Laksamana Maeda, piagam tanda kehormatan dan lencana Bintang Mahaputera milik Dr. Soetardjo Kartohadikoesoemo, plakat pahlawan nasional Iwa Koesoema Soemantri tahun 2002 dan koleksi dua jilid buku Sejarah Revolusi Indonesia miliknya.

Lantai 2 Munasprok. Dok. JP

Begitu juga topi dan dasi milik Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, destar, ikat kepala dan dasi milik I Gusti Ketut Poedja, tas kulit milik Suwiryo, serta jas, peci, dan tongkat milik Teuku Moehammad Hasan, dan bahkan tak kalah menariknya, yaitu pengunjung juga dapat melihat setelan baju mantel merek Tuxedo dan tongkat milik Anang Abdul Hamidhan.

Keseluruhan dinding ruangan di lantai dua ini penuh poster berisikan penggalan-penggalan sejarah dan tokoh masa pergerakan hingga detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan.

Bagi anda penyuka sejarah, mengunjungi gedung museum ini merupakan pengalaman yang berarti.

*Kunjungan penulis ke Museum Penyusunan Naskah Proklamasi pada 19 Juli 2019. Sumber bacaan:  Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang, Hendri F. Isnaeni (editor), Kompas: 2015 dan Booklet Museum Penyusunan Naskah Proklamasi (Munasprok): 2019. 

0 Komentar