![]() |
| ilustrasi. |
Oleh: Jumardi Putra*
Setelah cukup lama tidak menerbitkan novel, sastrawan Meiliana K. Tansri akhirnya kembali merilis karya terbarunya berjudul Bengawan Kekasih belum lama ini. Bengawan Kekasih merupakan novel kedelapannya, menyusul karya-karya sebelumnya seperti Kupu-Kupu, Belajar Terbang (2002), Layang-layang Biru (2006), Konser (2009), dan Trilogi Darah Emas (2009). Semua novel itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU). Dari ketujuh novelnya, saya membaca dan mengoleksi Konser dan Trilogi Darah Emas. Rentang waktu penerbitan Bengawan Kekasih dengan novel-novel sebelumnya cukup jauh, yaitu 16 tahun (2009–2025). Tentu hanya Meliana sendiri yang mengetahui alasan di balik jeda waktu yang cukup lama tersebut.
Sebagai pengajar di salah satu SMA swasta di Kota Jambi, sosok Meiliana K. Tansri patut disebut menarik. Pertama, ia terlahir dari keluarga etnis Tionghoa, tetapi pada saat yang sama ia memiliki hubungan erat dengan budaya Melayu Jambi. Watak kosmopolitnya tampak dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam karya novelnya. Dalam Bengawan Kekasih ini, terdapat salah satu tokoh bernama Ani, seorang perempuan Tionghoa dari keluarga buruh sederhana, yang menjadi istri dari Wak Sofiyan—sosok lelaki yang digambarkan berpikiran maju, berbeda dari sanak saudaranya, dan ia juga "kutubuku".
Kedua, selain latar tempat (place), konteks isu utama dalam novel-novel Meiliana berakar kuat pada budaya dan kearifan lokal Melayu Jambi. Hal itu dapat dilacak melalui novel Trilogi Darah Emas-nya—yang terdiri dari Mempelai Naga, Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus, dan Sembrani. Trilogi ini mengangkat isu konservasi alam dan budaya Melayu Jambi melalui masalah situs cagar budaya Muarojambi yang tertimbun tumpukan batubara (stockpile). Sebenarnya, selain dihimpit oleh bisnis padat modal itu, KCBN Muarajambi kini juga dikelilingi oleh perkebunan sawit.
Selain konsisten dengan latar di Jambi, melalui novel Bengawan Kekasih ini, Meiliana bergeser mengangkat masalah kekerasan seksual yang dialami perempuan disabilitas dengan segala gejolak dan kompleksitasnya. Peristiwa kekerasan yang dikisahkan dalam novel ini terjadi di Seberang Kota Jambi, sebuah kawasan Melayu Islam yang juga memiliki sejarah panjang dengan etnis Tionghoa.
Novel ini memiliki ketebalan 206 halaman, yang artinya tidak terlalu tebal dan tidak pula terlalu tipis. Saya sendiri membutuhkan waktu dua hari untuk menyelesaikannya di sela-sela aktivitas rutin di kantor. Untuk memantapkan pemahaman saya terhadap keseluruhan isi novel terbitan Salim Media Indonesia (SMI) ini, saya kembali membacanya untuk kedua kalinya, dan itu cukup separuh hari di akhir pekan ini.
Sebagai penekun isu-isu kebudayaan Jambi, menurut saya Meiliana K. Tansri berhasil membangun alur cerita yang menarik dan tidak mudah ditebak sedari awal cerita dimulai. Alur cerita dalam novel Bengawan Kekasih ini dibuat maju-mundur, yang berpijak pada dua periodisasi utama yaitu periode kehidupan Yanti (Tiga puluh tiga tahun yang lalu), putri bungsu dari Nyai Sarimah dan Datuk Sayuti. Yanti adalah tokoh utama, seorang penyandang tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual dari lingkungan terdekatnya. Selanjutnya, periode kehidupan Yulia, biasa dipangil Yuyun, bersama sanak saudaranya pada tiga dekade kemudian. Yulia tidak lain adalah anak Yanti. Periode ini menceritakan perjuangan Yulia dan saudaranya saat mengetahui Aisyah, perempuan Down syndrome yang juga mengalami kekerasan seksual, persis seperti yang dialami ibu Yulia 33 tahun yang lalu. Dalam pengisahan membuka luka lama Yulia ini, kehadiran tokoh seperti Faisal, Fahmi dan Kartika, menjadikannya kian menarik.
![]() |
| Novel karya Meiliana K. Tansri |
Kesatuan kisah dalam dua periodisasi tersebut disusun sedemikian rupa oleh Meiliana K. Tansri melalui beberapa tokoh dengan watak dan karakter beragam, yang secara sosial memiliki hubungan dengan Seberang Kota Jambi. Tujuan penggabungan dua fase kehidupan dalam satu jalinan kisah dalam novel ini agar pembaca dapat melihat hubungan sebab-akibat. Perjuangan Yulia di masa kini (melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami Aisyah kepada pihak berwajib—itu artinya berani speak-up) adalah konsekuensi langsung dari penderitaan Yanti di masa lalu (kekerasan tanpa keadilan).
Saya suka cara Meiliana K. Tansri memulai kisahnya. Dua paragraf di halaman pertama novel ditulis dengan indah karena berhasil menggambarkan keintiman sungai Batanghari dan suasana di tepiannya. Tempat ini sering dijadikan Yanti berkeluh-kesah di tengah deraan kehidupan yang membuatnya merasa tersingkir. Yanti kerap dicibir warga sekitar rumahnya karena kebiasaannya menghabiskan waktu di tepi Sungai Batanghari dan di bawah pohon bungur.
Sebagaimana awal kisah yang menarik, begitu juga cara Meiliana menutup halaman terakhir novel Bengawan Kekasih ini. Unsur magisnya begitu menonjol, kendati cerita dalam novel ditulis realis. Agaknya Meiliana dalam menulis novel ini dipengaruhi aliran Realisme Magis, gaya sastra yang menggabungkan elemen-elemen realistis yang mendetail dengan unsur-unsur fantastis atau ajaib yang diperlakukan seolah-olah hal tersebut adalah bagian normal dari kehidupan sehari-hari.
Hal itu ditandai kemampuan sungai Batanghari berbicara kepada Yanti, kehadiran Ikan Belida dengan begitu mudah-jenis ikan lezat yang diidamkan banyak penangkul, biawak yang menyelamatkan Yanti, dan kera-kera di tepian Batanghari yang juga bisa tertawa dan bercakap-cakap dengan Yanti. Bahkan, kematian si Ikhsan, pria yang memperkosa Yanti, juga dikehendaki oleh Sungai Batanghari dan kera-kera di tepiannya akibat telah merenggut kesucian Yanti. Itu semua berkelindan menjadi kisah penuh emosional, tapi tidak lantas jatuh sebagai karya fantasi.
Hal menarik lainnya lagi, momen dan adegan seksis dalam novel ini berhasil ditulis dengan piawai oleh Meiliana K. Tansri, tanpa harus mengeksploitasi "hubungan badan terlarang" sebagai bumbu penyedap kisah dalam sebuah novel. Sang novelis dengan ciamik berhasil menghadirkan momen menegangkan sekaligus adegan penuh birahi seorang Ikhsan dan Hamdan kala memperkosa Yanti. Saya sengaja tidak menampilkan di sini penggalan atau bagian-bagian (disertai keterangan nomor halaman) yang mengisahkan momen-momen mengguncang batin si Yanti atau sisi-sisi menarik lainnya dalam novel ini dengan tujuan agar pembaca menemukan langsung saat membaca novel ini.
![]() |
| Novelis Meiliana K. Tansri. Sumber: Puan.my.id. |
Secara intrinsik dan ekstrinsik (isi dan konteksnya), novel ini berhasil mengaduk emosi saya sebagai pembaca. Kemarahan, kesedihan, rasa kesal dan sesekali dibuat senyum, menyertai pembacaan saya terhadap tokoh-tokoh yang diperankan dalam novel ini. Bahkan, Meiliana berhasil menghadirkan klimaks pada dua periodisasi dalam kesatuan balutan kisah Bengawan Kekasih ini.
Beberapa isu pokok dalam novel ini menurut hemat saya yaitu antara lain:
- Pergeseran Demografi dan Sosial
Novel ini menyentuh aspek demografi sosial masyarakat Seberang Kota Jambi. Pada periodesasi awal 1980-an, sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani sawah, pekebun, dan penangkul di Sungai Batanghari. Tiga dekade kemudian, umumnya warga Seberang mulai bergeser ke sektor formal yaitu pegawai kantor, guru, dokter, dan pengacara. Begitu juga, rumah-rumah panggung berbahan kayu dahulunya, kini berganti menjadi rumah bata. Selain itu, pelembagaan "Tiga Tungku Sejarangan" (adat Melayu Jambi) yang dulu menjadi rujukan kala menyelesaikan berbagai sengketa di tengah masyarakat, kini tidak lagi sepenuhnya berlaku. Bahkan kini, narkoba adalah persoalan baru yang tidak kalah mengkhawatirkan bagi generasi Seberang Kota Jambi.
Berbekal kisah para tokoh dalam novel ini, saya mencoba mencocokkannya dengan perubahan signifikan kondisi Seberang Kota Jambi saat ini, mulai dari kondisi reruntuhan rumah batu peninggalan Pangeran Wirokusumo di Olak Kemang yang melegenda, pembangunan Jembatan Batanghari 1 yang dibangun tahun 1984, hingga munculnya bangunan baru seperti Gentala Arasy.
- Kekerasan Seksual dan Empati Sosial
Hal ini merupakan isu utama dalam novel Bengawan Kekasih. Kekerasan seksual yang dialami Yanti (tunagrahita) dan Aisyah (Down sindrom) justru dilakukan oleh orang-orang terdekat atau pihak yang kerap berinteraksi dengan mereka sehari-hari. Meiliana K. Tansri berhasil menyusun bangunan cerita dengan penuh empati, kendati narasi kritisnya atas kontruksi sosial terhadap kaum perempuan yang timpang terus menyala.
Pada kasus Yanti, selain sebagai korban, ia juga menanggung beban sosial dan bahkan sampai dilakukan ritual "cuci kampung" dengan maksud membersihkan penyakit masyarakat. Dalam konteks Yanti, selain mengalami perlakuan yang tidak adil, ia juga tidak mendapatkan perlindungan hukum sama sekali.
Sedangkan pada kasus Aisyah (korban pemerkosaan yang terjadi tiga dekade kemudian), terjadi pergeseran sikap dari korban dan keluarganya. Berkat kesabaran dan kesungguhan Yulia dan teman-temannya, orang tua Aisyah berhasil diyakinkan untuk melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwajib. Ini menunjukkan adanya kemajuan sosial saat berhadapan dengan tindakan kekerasan seksual.
Kendati peristiwa yang dialami Aisyah justru membuka luka lama tentang Ibunya yang juga menjadi korban pemerkosaan dari keluarga terdekatnya yaitu oleh Ikhsan dan Hamdan, Yulia tetap berusaha tegar menerima kenyataan pahit tersebut dan berkomitmen terus memperjuangkan hak perempuan.
- Krisis Ekologi
Gayung bersambut, novel ini juga mengangkat permasalahan krisis ekologi sehingga berujung banjir besar yang menimpa Seberang Kota Jambi era 1987-an. Meliana K. Tansri berhasil menyisipkan perkara urgen ini menjadi bagian intrinsik dalam alur cerita utama melalui sosok Yanti, yang memiliki hubungan dekat dengan sungai Batanghari. Yanti berulang kali mengingatkan warga Seberang akan ada banjir besar, akibat penebangan liar pepohonan dan aktivitas PETI di hulu Sungai Batanghari.
Ironisnya, lantaran masih bercokol kesadaran magis pada masyarakat Seberang, sekalipun banjir telah memakan korban (termasuk Ikhsan dan putri dari Atiqah), peristiwa banjir justru dipahami sebagai kutukan ketimbang gejala normal dari lingkungan yang murka. Bahkan, Yanti yang jauh-jauh hari mengingatkan warga setempat akan ada banjir besar di kampungnya justru disebut pembawa sial.
- Akses Pendidikan bagi Perempuan
Pada periodisasi kehidupan anak-anak Nyai Sarimah dan Datuk Sayuti di Seberang Kota Jambi, pendidikan bagi perempuan kala itu bukanlah prioritas. Namun, seiring berjalannya waktu, kehidupan generasi angkatan Yulia telah jauh berubah. Faktanya, Yulia berhasil menjadi pengacara, sebagaimana Faisal di Jambi berprofesi demikian. Begitu juga saudara keponakannya telah merambah sektor formal dan pendidikan tinggi. Artinya, hak perempuan mengakses pendidikan telah terbuka luas dibanding generasi Nyai Sarimah dan anak-anaknya, termasuk Yanti—ibu dari Yulia.
- Pendidikan Seks
Meiliana piawai membangun dialog antar tokoh saat mengisahkan pentingnya pendidikan seks diajarkan kepada anak-anak, terutama pada perempuan, terlebih lagi penyandang disabilitas. Pendidikan seks di sini tidak dalam pengertian mengkampanyekan free sex, tetapi upaya preventif agar perempuan terhindar dari ulah jahat lelaki "hidung belang", tidak terkecuali kemungkinan orang-orang itu datang dari internal keluarga sendiri.
Demikian keberanian Meiliana K. Tansri mengangkat isu krusial dan sensitif dalam novel ini, dan itu sejatinya disiapkan melalui observasi dan riset yang memadai. Kehadiran novel ini tepat membersamai gerakan aktivis perlindungan dan pemberdayaan perempuan di tanah air, tidak terkecuali di Provinsi Jambi. Begitu juga bagi perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsi pada perlindungan dan pemberdayaan kaum perempuan.
*Minggu, 16 November 2025. Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik Pustaka, portal www.kajanglako.com




0 Komentar