Pangku: Kemiskinan dan Beban Ganda Perempuan di Jalur Pantura

Film Pangku Karya Reza Rahadian


Oleh: Jumardi Putra*

Lepas zuhur tadi saya dan istri jalan ke mall terdekat. Niat kami sedari awal menonton film Pangku yang lagi ramai dipercakapkan para sineas dan nitizen tanah air. Film bergenre drama keluarga ini merupakan debut perdana Reza Rahadian sebagai sutradara film panjang, setelah selama ini dikenal sebagai aktor sukses film layar lebar tanah air.

Sebagai pecinta film laga (action), thriller dan pertualangan, saya dipaksa bersabar menikmati film ini hingga akhir, karena terkesan berjalan lambat sekaligus datar. Konfliknya tidak seheboh-rumit film genre thriller, action, pertualangan, apatahlagi horor. Walakin, jangan terkecoh oleh klasifikasi genre film semata. Selalu ada cerita menarik dan tak terduga di balik setiap film, tidak terkecuali film berdurasi 104 menit ini.

Saya bukan sineas, walakin film ini menurut saya berhasil menangkap atmosfer, dialek, dan dilema para tokoh secara realis melalui sosok Claresta Taufan Kusumarina yaitu Sartika--tokoh utama, seorang ibu tunggal yang bekerja di sebuah kedai kopi pangku di Jalur Pantura. Belum lagi penampilan yang tidak biasa dari Hadi (diperankan Fedi Nuril) sebagai seorang sopir truk pengangkut ikan, yang akhirnya jatuh cinta kepada Sartika--disertai paradoks di balik sikap baik dan perhatianya kepada Sartika dan anak lelakinya, si Bayu.

Begitu juga aktris senior kelahiran Kuala Tungkal-Jambi yaitu Christine Hakim sebagai  Maya--seorang wanita yang menolong Sartika di tengah malam—setelah sebelumnya Sartika melewati perjalanan jauh meninggalkan kampung halamnya dengan cara menumpang sebuah mobil puso dan akhirnya dipaksa turun oleh sopir di tepi jalan, namun menyembunyikan maksud lain—karena warungnya ramai pengunjung karena kecantikan Sartika Sari, tapi dalam perjalannya justru menjadi perempuan yang menguatkan Sartika kala menerima kenyataan pahit setelah menikah dengan Hadi---nyatanya sudah beristri. Masih ada peran aktor lainnya, tidak terkecuali Jayu (diperankan José Rizal Manua) sebagai suami dari Cristina Hakim—yang memerankan sosok suami yang pendiam, tapi peduli. Kendati Jayu berusia senja, baik Sartika maupun Bayu (anak dari Sartika) menemukan sosok pelindung pada suami si Maya di tengah tekanan hidup yang tidak mudah.

Sang tokoh utama dalam film ini yaitu Claresta Taufan sebagai Sartika menurut saya berhasil memerankan kompleksitas seorang ibu tunggal. Melihat realitas kaum perempuan dalam film ini tidak bisa menggunakan kacamata hitam putih, karena pelbagai dimensi melatarbelakangi pilihan hidup mereka di tengah tekanan ekonomi dan sosial yang tidak mudah.

Pangku hemat saya berhasil menawarkan perspektif segar kaum pinggiran dalam konteks sosiologi perempuan, terutama dalam isu-isu kelas sosial, pekerjaan informal, dan gender. Struktur sosial dan ekonomi membatasi pilihan bagi seorang Sartika Sari dan perempuan seprofesi dengannya. Faktanya, profesinya sebagai pekerja "kopi pangku" (sebuah bentuk pekerjaan seks/hiburan di pinggir jalan) nyatanya bukan merupakan pilihan ideal, tetapi respon terhadap kondisi ekonomi yang mendesak bagi dirinya saat mengandung janin dari seorang lelaki yang tidak jelas identitas muasalnya (dalam cerita ini makin memuncak--ironi-- saat Sartika mau mendaftarkan si Bayu ke sekolah dasar tapi terkendala karena tidak tahu siapa bapaknya).

Kenyataan pahit ini sejalan dengan konsep kemiskinan dan gender, di mana perempuan dari kelas sosial bawah lebih rentan terjerumus ke dalam sektor pekerjaan informal yang berisiko tinggi demi menyambung hidup, terutama jika mereka adalah kepala rumah tangga tunggal (single mother) seperti diperankan oleh Sartika.

Pada diri Sartika pula, publik disuguhkan tentang peran ibu tunggal (Single Mother) yang mengalami beban ganda. Di satu sisi, ia harus menjalankan dua peran yang saling bertentangan dan menuntut yaitu sebagai pencari nafkah utama dan menjadi pengasuh, pendidik, dan pelindung bagi anaknya sekaligus. Bertolak dari dua peran ini, film Pangku berhasil menunjukkan konflik intens ketika upaya Sartika untuk memenuhi peran produktif (bekerja sebagai pemangku) justru menghancurkan peran reproduktifnya (hubungan dan citranya di mata sang anak).

Tidak berlebihan rasanya menyebutkan bahwa film ini berhasil menciptakan kedalaman emosional dan realisme dalam cerita. Sang sutradara bersama penulis skenario berhasil mengangkat isu sosial yang kelam dan autentik melalui tokoh perempuan sebagai pekerja "kopi pangku" di Jalur Pantura. Sebuah realitas sosial kaum perempuan yang kerap menjadi korban stigma negatif sehingga dicap sebagai "perusak moral" atau "pelacur," sementara faktor struktural yang mendorong mereka ke pekerjaan tersebut acapkali diabaikan. Parahnya lagi, stigma ini sebagai bentuk kontrol sosial yang lebih keras terhadap tubuh dan moralitas perempuan dibandingkan laki-laki, meskipun laki-laki adalah bagian integral dari sistem perdagangan seks/hiburan tersebut (sebagai pelanggan).

Pada akhirnya, bersamaan dengan sundtrack lagu Iwan Fals berjudul Ibu di bagian akhir film ini, makin menguatkan pesan bahwa Pangku menunjukkan secara jelas sisi kelam perempuan di jalur Pantura yaitu perjuangan dan pengorbanan tanpa batas seorang ibu tunggal bernama Sartika demi anaknya. Di tengah keterbatasan pilihan hidup, cinta seorang ibu kepada anak-anaknya tetap menjadi sumber kekuatan utama. Pada bagian ini, kedua mata saya basah. Nyatanya saya tidak sendirian, justru penonton lainnya di studio 3 juga berkali-kali menyeka air mata dari pipi mereka. Getir, memang.

Di tengah gejolak kehidupan yang tidak mudah itu, dari film ini saya melihat  solidaritas informal di antara para perempuan pekerja tersebut. Mereka menciptakan jaringan dukungan emosional dan praktis untuk bertahan dalam lingkungan kerja yang keras dan berbahaya. Hal ini mencerminkan bagaimana perempuan membangun modal sosial di komunitas marginal.


*Kota Jambi, 8 November 2025.

*Tulisan saya lainnya tentang film Indonesia:

0 Komentar