![]() |
| Bagian dalam bangunan utama Masjid Gedhe. Sumber: keratonjogja.id |
Oleh: Jumardi Putra*
Pandangan saya tertuju pada jam tangan di pergelangan kiri. Jarumnya
menunjukkan pukul 14.40 WIB, artinya sekitar setengah jam lagi waktu Ashar akan
tiba.
Sesuai rute hari itu, selepas mengunjungi Museum Dewantara Kirti Griya—kediaman Ki Hadjar Dewantara yang diresmikan sejak 2 Mei 1970—saya langsung meluncur menuju Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta. Masjid ini terletak di kawasan Alun-Alun Utara, tepatnya di Jalan kampung Kauman, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta dan barat daya Pasar Beringharjo.
Perjalanan siang itu tergolong lancar tanpa hambatan berarti, kecuali
sengatan matahari yang terasa membakar kulit. Itulah Jogja yang saya kenal
sejak dua dekade silam saat menempuh studi di kota pendidikan ini. Bahkan,
suasana sepanjang jalan seolah menegaskan bahwa cuaca di Jogja kini terasa kian
menyengat.
Namun, yang paling membuat saya pangling adalah wajah kota yang semakin
sesak. Kanan-kiri jalan kini dipadati bangunan hotel, pusat perbelanjaan, dan
berbagai deru aktivitas perniagaan. Mulai dari Jalan Taman Siswa, menyusuri
Jalan Sultan Agung, hingga melewati Titik Nol Kilometer, saya menyaksikan
betapa kota ini telah menjelma sebagai magnet wisata bagi pelancong dari
berbagai penjuru tanah air. Terlebih lagi kawasan Malioboro dengan segala
dinamika sejarahnya telah melekatkan banyak label pada kota ini, sebut saja
sebagai kota pendidikan, budaya, religi, sekaligus pusat wisata.
| Penulis sebelum masuk ke bagian utama bangunan masjid Gedhe |
Salah satu jejak religi yang paling kental dengan nuansa Keraton Yogyakarta adalah Masjid Gedhe Kauman. Sebagai tempat ibadah yang lahir dari rahim sejarah kerajaan Islam, keberadaannya tak terpisahkan dari eksistensi keraton itu sendiri. Boleh dikata ini adalah jantung spiritual dari Keraton Yogyakarta. Berkat usia dan nilai historis pula membuat masjid ini ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Peraturan Menteri Budaya dan Pariwisata RI Nomor PM.89/PW.007/MKP/2011.
Saya melangkah menuju pintu pagar di sisi kiri gerbang utama. Berdasarkan catatan sejarah, masjid ini telah berdiri selama lebih dari 252 tahun, tepatnya sejak Ahad Wage, 29 Mei 1773 Masehi (6 Rabi'ul Akhir 1187 Hijriah).
Usai melepas sepatu, saya menuju tempat wudu laki-laki di sisi kanan bangunan masjid. Di serambi, tampak beberapa warga sedang beristirahat atau leyeh-leyeh. Begitu melangkah masuk ke ruang utama, saya langsung dibuat terkesima terhadap interior di dalamnya. Arsitektur dan material kayu tuanya masih tampak gagah dan kokoh, memancarkan wibawa yang melintasi zaman.
| Tempat imam Masjid Gedhe Kauman. Sumber: Penulis |
Karena azan belum berkumandang, jamaah di ruang utama juga masih sepi. Inilah kesempatan bagi saya untuk mengamati sebagian detail bangunan ini, terutama pada bagian dalam. Menurut hemat saya, Masjid Gedhe ini mewarisi gaya arsitektur yang serupa dengan Masjid Agung Demak di Jawa Tengah yang pernah saya kunjungi dua dekade silam.
Secara keseluruhan, terdapat 48 pilar di dalam masjid ini dengan atap 16 sisi. Ruangannya terbagi menjadi mihrab (tempat imam), liwan (ruang utama jamaah), dan serambi. Di barisan terdepan, terdapat maksura, ruangan khusus bagi Sultan saat hadir melaksanakan salat di masjid ini.
| Tempat untuk Khatib. Sumber: Penulis |
Saya mengabadikan beberapa bagian dari keistimewaan bangunan ini melalui kamera gawai pribadi. Setidaknya, ke depan menjadi semacam saksi bisu sekaligus kenang-kenangan bahwa saya pernah sembahyang sekaligus mengagumi kemegahan Masjid Gedhe Yogyakarta ini. Tentu tidak sepenuhnya bisa tuntas bagi saya mengamati detail seisi bangunan masjid ini, tetapi setidaknya sangat beralasan bagi saya berdoa semoga diberikan kesempatan lagi oleh Allah dapat berkunjung dan shalat lagi di sini, entah kapan pastinya.
Tak lama kemudian, seorang takmir yang telah sepuh mengumandangkan azan. Suaranya menandai masuknya waktu Ashar. Usai salat sunnah 2 rekaat, jamaah mulai memenuhi saf dengan rapi hingga tiga baris. Sang imam pun bersiap di posisi terdepan, memimpin kami menghadap Sang Khalik diawali dengan melafazkan Allahu Akbar.
*Yogyakarta 18-21 Desember 2025. Salah satu referensi tentang filosofi Masjid Gedhe bisa dibaca lebih lanjut melalui link berikut ini: https://www.kratonjogja.id/tata-rakiting/10-kagungan-dalem-masjid-gedhe/. Catatan perjalanan saya berikutnya tentang Sepanjang Jalan Kenangan di Timoho sampai Papringan.
*Tulisan-tulisan berikut ini merupakan catatan perjalanan saya di Jogja:
(2) Ada Sesuatu di (dalam) Jogja
(3) Setengah Abad Arena: Perjalanan yang Tidak Mudah
(4) Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan ke Mantijeron
(5) Asa di Jalan Kaliurang Km 12 Jogja
(6) Jogja yang Dirindukan, Jambi Tempat Berpulang
(7) Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan
(8) Cerita dari Desa Tirnonirmolo, Bantul


0 Komentar