Suatu Siang di Sasmitaloka Panglima Besar Soedirman

Sasmitalokas Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sumber: JP



Oleh: Jumardi Putra*

Jarum jam baru saja menyentuh pukul 12.59 WIB pada Kamis (18/12). Namun, seisi ruangan seolah membeku dalam keheningan. Tak ada suara pemandu, tak ada derap langkah pengunjung lain; hanya ada saya dan sunyi. Terik matahari siang itu merayap masuk, menyentuh sudut-sudut museum yang dulunya merupakan kediaman resmi Jenderal Soedirman antara tahun 1945 hingga 1948. 

Sebelum menjadi rumah dinas sang Jenderal, bangunan yang sempat menjadi markas tentara ini awalnya dibangun pada tahun 1890 sebagai kediaman pribadi Tuan Weinschenk, seorang pejabat keuangan Puro Pakualaman. Hal-ihwal pemanfaatan bangunan bersejarah ini kompleks dan berliku sejak sebelum dan setelah proklamasi kemerdekaan.

Ini adalah kunjungan pertama kali saya ke sebuah bangunan yang memadukan gaya Klasik (Yunani/Belanda) dan tradisional Jawa, menampilkan tiang-tiang gaya Corinthian dengan hiasan motif keraton, dinding keramik, atap limasan sirap, lantai tegel bermotif, serta pintu dan jendela krepyak besar untuk sirkulasi, menciptakan harmoni antara corak Barat dan lokal yang kaya detail.

Perjalanan menuju Sasmitaloka Jenderal Soedirman tidaklah sulit. Saya berkendara motor dari arah Tegalrejo—sebuah kawasan bersejarah yang menjadi saksi masa kecil Pangeran Diponegoro. Lokasi museum ini pun terbilang strategis, tidak jauh dari kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta, tepatnya di jalan Bintaran Wetan Nomor 3.

Sebelum menyusuri bangunan seluas 1.255 meter persegi ini, saya terlebih dahulu mendaftarkan diri di pos jaga. Di halaman depan, sebuah patung replika Sang Panglima Besar yang sedang menunggang kuda menyambut dengan gagah. Di bawah kakinya, terpahat untaian kata-kata mutiara yang pernah ia ucapkan, sementara di sisi kiri dan kanan, moncong senjata mesin sisa perang seolah masih menjaga kewibawaan sang jenderal.

Saya pun melangkah menuju bangunan utama, tempat yang selama tiga tahun menjadi saksi bisu kehidupan Soedirman bersama keluarganya. Ada tiga pintu masuk utama. Di pintu tengah, berdiri patung setengah badan Soedirman, didampingi oleh patung Jenderal Oerip Soemohardjo di sisi kanan—sang Kepala Staf Tentara Republik Indonesia yang setia.

sudut kanan di ruangan bangunan utama. sumber: JP

Langkah saya terhenti sejenak di ambang pintu masuk bagian tengah. Perhatian saya tertambat pada sebuah kutipan mendalam dari Panglima Soedirman:

"Hendaknya perjuangan kita harus didasarkan atas kesucian. Dengan demikian perjuangan kita selalu merupakan perjuangan antara jahat melawan suci, dan kami percaya, bahwa perjuangan suci itu senantiasa mendapatkan pertolongan dari Tuhan."

Memasuki ruang tamu, pandangan saya langsung tertuju pada replika tandu yang pernah mengusung tubuh ringkih namun berjiwa baja sang jenderal saat bergerilya. Patung Soedirman tampak duduk di sana, menggenggam tongkat dengan keris terselip di balik busananya. Di sekeliling tandu, kursi dan meja tertata rapi. Kursi-kursi di sisi kiri dan kanan dulunya menjadi tempat beliau menjamu kerabat dan pejabat negara, sementara dindingnya sarat dengan tanda kehormatan, bintang, dan piagam.

Uniknya, ruang tamu ini juga memiliki sisi hangat. Di balik replika tandu tersebut, terdapat meja dan kursi yang dulu sering digunakan sang Panglima untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Menjelajahi bagian tengah bangunan, saya menemukan jejak-jejak keseharian yang nyata: perabotan rumah, senjata, hingga sebuah radio merek Philips tua. Sebuah lukisan besar menggambarkan kepulangan Soedirman ke Yogyakarta di atas tandu prajuritnya selepas perang gerilya, menambah kesan dramatis di ruangan itu.

Kamar pribadi Jenderal Soedirman. Sumber: JP

Suasana terasa lebih intim saat saya memasuki kamar tidur pribadi sang Jenderal. Sebuah tempat tidur dengan kelambu putih bersih mendominasi ruangan. Di sudut lain, sebuah lemari menyimpan mesin jahit dan patung lilin sang Jenderal yang lagi duduk dengan tenang di kursi goyang. Di dekat jendela, tempat cahaya masuk dengan malu-malu, terhampar sajadah dan rehal—saksi bisu betapa Sang Panglima tak pernah melepaskan ibadah dan ngajinya di tengah kemelut perang.

Sebelum mencapai kamar utama, terdapat deretan kamar anak-anaknya di sisi kanan, serta kamar tamu bagi para pejabat di sisi kiri. Setiap sudut ruangan ini seolah menyimpan fragmen ingatan dari masa gerilya, lengkap dengan barang-barang peninggalan asli yang masih terawat.

Bergerak ke ruang kerja, aroma sejarah semakin kuat. Di sini tersimpan alat komunikasi berupa telepon yang digunakan Soedirman saat menjabat Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat. Selain itu, tersimpan pula duplikat keris dan cundrik (keris kecil) yang selalu setia menemani sang Jenderal menembus hutan dan naik-turun gunung demi mempertahankan kemerdekaan.

Bangsal RS Panti Rapih, tempat sang Jenderal dirawat

Menutup perjalanan di bangunan utama, saya melangkah ke bagian belakang. Di sana berdiri replika Bangsal Rumah Sakit Panti Rapih, tempat Soedirman dirawat pada tahun 1949. Di dalam bangsal itu, saya melihat patung sang jenderal di atas kursi roda. Beliau tampak sedang menulis di meja kecil di samping tempat tidurnya. Di tempat itulah, dalam sunyi dan sakitnya, ia melahirkan sebuah puisi indah berjudul "Rumah Nan Bahagia" berikut ini:

 

Seperempat abad lamanja,

Tegak berdiri hingga kini,

Panti Rapih rumah nan bahagia,

Naungan Putra Pertiwi.

 

Orang sakit nan menderita,

Gering tiba, sehatlah pergi,

Berkal kegiatan usaha,

Beserta kesuljian hati.

 

S'lama tegak dengan teguhnja,

Besar djasanja hingga kini,

S'luruh pengurus - pegawainja,

Ichlas setia djujur pekerti.

 

Sambil baring aku berdoa:

Tuhan Allah jang Maha Sulji,

Limpahkan berkat - karunia,

Atas rumah bahagia ini. 


***

Bergerak ke ruangan yang ada di sebelah bangsal, terdapat mobil berwarna biru dan dokar yang pernah digunakan Soedirman. Dokar ini pernah digunakannya untuk bepergian dari daerah Playen menuju Semanu yang ada di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, ketika memimpin gerilya. Dokar ini tidak ditarik oleh kuda, tetapi oleh para pengawalnya, antara lain Kapten Tjokropranolo. Masih banyak barang-barang bersejarah lainnya di beberapa ruangan bagian belakang dari bangunan utama museum seperti meja, kursi, tempat tidur, dan alat-alat makan dan minum sang jenderal semasa hidup.

Tandu Jenderal Soedirman

Selanjutnya, juga terdapat tandu asli yang digunakan untuk membopong Soedirman saat bergerilya. Tandu pertama yang digunakan Jenderal Sudirman itu konon merupakan kursi pribadi milik anggota militernya, Hadi Harsono. Sang Jenderal ditandu saat Perang Gerilya dari Semanu menuju Bedoyo, Gunungkidul, pada tanggal 22 Desember 1948 oleh empat orang agar bisa menempuh rute Perang Gerilyanya. Keempat orang yang pernah membawa tandu Jenderal Sudirman yakni Rawun, Panggung, Cecek, dan Kalijan yang merupakan warga sekitar. 

Tandu itu kini masih terawat dan dipajang di sebuah lemari kaca sehingga tidak dapat disentuh oleh pengunjung. Tidak hanya tandu, di ruangan ini juga terdapat pedang, lembar-lembar kertas berisi goresan tangan sang jenderal dilengkapi foto-foto. Sayangnya, saya tidak bisa melihat secara detail setiap keterangan dari barang-barang  yang dipanjang, lantaran lampu listrik di dalamnya mati. 

Melangkah ke depan lagi, sebelum ruangan yang kini menjadi cafe, terdapat sebuah ruangan yang memuat sebuah lemari kaca berukuran besar--di dalamnya berisi pakaian, mantel, sepatu dan radio, dan alat minum miliki Jenderal Soedirman.

Kurang lebih satu jam menjelajahi kawasan sasmitaloka sang Panglima Besar, pengunjung lainnya belum terlihat. Saya pun pamit kepada pak Dani, pria berpakaian loreng yang hari-hari bertugas menjaga museum ini. Perlahan-lahan bangunan bersejarah ini kian menjauh dari penglihatan saya. 

Penulis sebelum meninggalkan Sasmitalokas Jenderal Soedirman

Dalam perjalanan menuju tempat tinggal Ki Hadjar Dewantara, di bawah terik matahari yang menyengat di kulit, terlintas di pikiran saya kesan Buya Hamka tentang Jenderal Soedirman, yang terpasang di dinding ruang kerja sang Jenderal di sasmitaloknya, berikut ini:

........Setelah ada pertanyaan, mengapakah Sudirman yang diangkat menjadi Panglima Perang Besar ? Apa sekolahnya, pernahkah dia ke Breda (Akademi Militer di Belanda)? Dan kabarnya konon dia hanya guru Muhammadiyah. Seakan akan nama Muhammadiyah itu saja sudah cukup buat memandangnya orang enteng.

Sayapun kadang-kadang berperasaan demikian. Apakah kebesaran Sudirman itu? Ditahun 1941, ketika kami kongres di Yogyakarta, saya sudah Konsul Muhammadiyah, sedangkan Sudirman baru WMPM,Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah, jauh dibawah saya.

Tetapi tuan, ini adalah jiwa besar, dan cahaya dari jiwa yang besar kerap benar timbulnya dari tempat yang kecil.

Pilihan kepada Sudirman bukan kepada diplomanya, tetapi pilihan kepada Sudirman adalah kepada jiwanya, walaupun ketika badanya sehat sekalipun tubuhnya hanya sederhana landai, tetapi matanya berapi, mata yang tidak mengenal patah hati di dalam menuju cita-cita besar. Banyak Jenderal Mayor, Kolonel, Letnan Kolonel di bawahnya yang lebih tinggi diplomanya, daripada Sudirman, tetapi semua insyaf bahwa jiwa Sudirman belum tertinggal oleh mereka. Bertambah besar dan tinggi kedudukannya, bertambah terbayang kebesarannya itu. Keluar ia merupakan serigala yang galak, ke dalam ia merupakan BAPAK yang pengasih.


*Yogyakarta-Jambi, 18-20 Desember 2025. Menyusul catatan perjalanan saya berikutnya ke Mesjid Gedhe Keraton Yogyakarta, Shoping Center (pusat perbukuan), Berdikaribook, Timoho-Papringan, dan tempat tinggal Ki Hadjar Dewantara.

*Tulisan-tulisan berikut ini merupakan catatan perjalanan saya di Jogja:

(1) Kembali Ke Jogja, Lagi

(2) Ada Sesuatu di (dalam) Jogja

(3) Setengah Abad Arena: Perjalanan yang Tidak Mudah

(4) Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan ke Mantijeron

(5) Asa di Jalan Kaliurang Km 12 Jogja

(6) Jogja yang Dirindukan, Jambi Tempat Berpulang

(7) Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan

(8) Cerita dari Desa Tirnonirmolo, Bantul

9) Jejak Bung Karno di Hotel Phoenix Jogja 1946

0 Komentar