Kembali Ke Jogja, Lagi

Titik Nol Km Yogyakarta


Bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogja, setiap sudut kota Jogja itu, romantis.


Oleh: Jumardi Putra*

Debur ombak laut mulai terlihat jelas dari jendela pesawat. Jarum jam menunjukkan angka 17. 41 WIB. Maskapai Garuda GA202 yang saya tumpangi dari Jakarta mendarat dengan baik di pangkalan udara Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo (15/7), berjarak sekira satu jam perjalanan menuju kota Yogyakarta.

Ini kali kedua saya ke kota Jogja tahun ini setelah empat bulan sebelumnya. Kembali menginjakkan kaki di kota ini selalu memberi arti bagi saya pribadi. Bukan saja karena pernah kuliah di sini dua puluh dua tahun lalu, tetapi juga yang tidak kalah penting adalah kesan dan kenangan tentang kota ini dengan segala pernak-perniknya. Sebut saja seperti kehadiran pelbagai forum diskusi lintas kampus, buku-buku, pergerakan mahasiswa, sajak-sajak dan cinta, kuliner dan alternatif pelbagai destinasi wisata adalah sehimpun kisah-kisah yang tak mudah dilupakan, persis seperti bunyi penggalaman kalimat di awal tulisan.

Setiba di pintu kedatangan Bandara, mobil yang bakal saya tumpangi menuju hotel tempat saya menginap selama di Jogja sudah siap. Tanpa berpanjang kalam, setelah sebelumnya beramah temah sejenak dengan petugas yang menjemput saya, kami pun berangkat menuju hotel Cavinton beralamat di jalan Letnan Jenderal Soeprapto, Ngampilan, Yogyakarta. Hotel ini kerap menjadi pilihan menginap buat saya, lantaran tidak begitu jauh dari “nol kilometer” Yogyakarta atau lokus berdirinya dekat dengan Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 di kompleks Benteng Vredeburg, Gedung Istana Kepresidenan, Gedung BNI dan Kantor Pos yang melegenda. Bahkan, di sekitaran sini juga tempat saya dan kawan-kawan dulu berdemonstrasi menyoal pelbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.

Pukul 19.35 WIB, saya tiba di hotel Cavinton. Segera setelah check-in, saya bergegas ke kamar, lalu mandi dan selanjutnya menunaikan shalat Isya. Tersebab hotel menyediakan santap malam, saya pun menikmati sajian menu makan seperti bebuahan segar, es campur dan sate daging sapi plus ayam di Shambhala Resto, lantai satu hotel. Lazimnya menginap di sini, saat makan malam bertajuk romantic dinner, para pengunjung ditemani lagu-lagu dari pelbagai jenis atau genre oleh seorang penyanyi perempuan yang memiliki suara khas. Saya tidak tahu nama lengkap mbakyu, sang penyanyi itu, walakin suaranya memang bagus dan berhasil membawakan pelbagai jenis lagu, mulai dari campursari, pop, dangdut dan jaz. Memang, selain makanannya enak, para pelayannya juga selalu sigap. Wajarlah bila banyak pengunjung dari pelbagai daerah di tanah air menjadikan hotel ini sebagai salah satu pilihan tempat menginap selama beraktivitas di Jogja.

Meski ingin segera menikmati suasana malam di Jalan Malioro-Jogja, saya urungkan. Saya pun kembali ke kamar untuk istirahat, karena esok hari saya mesti melaksanakan tugas di Biro Hukum SETDA Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

***  

Jarum jam menunjukkan angka 5.15 WIB (16/7). Saya segera menunaikan shalat subuh. Berselang 15 menit setelahnya, saya bergegas keluar hotel menikmati mentari pagi. Saya memilih jalan kaki dari hotel Cavinton ke titik nol kilometer Jogja. Tidak ada yang berubah dibanding empat bulan lalu. Sepanjang jalan KH. Ahmad Dahlan masih seperti sebelumnya. Warga jogja sudah mulai beraktivitas. Jalanan mulai dipenuhi kendaraan roda dua maupun roda empat. Begitu juga warga yang berolahraga di pagi hari menumpuk di kawasan monumen 1 Maret 1949. Saya sejenak duduk menikmati lalu lalang warga Jogja di perempatan nol kilometer sembari mengingat-ingat momen lebih dua puluh tahun yang lalu saat melewati rute penuh kenangan di sini.

Gedung Jogja Library Center di Jalan Malioboro

Kota Jogja seolah tak kehilangan magnetnya, sehingga banyak pengunjung mengabadikan momen mereka di kota ini. Selang belasan menit kemudian, saya melanjutkan jalan kaki ke jalan Malioboro hingga pasar Beringharjo, lalu Teras Maliboro II dan berakhir di halaman depan Jogja Library Center, sebuah bangunan bersejarah yang menyimpan berbagai koleksi bacaan cetak seperti halnya majalah atau koran lama. Bangunannya masih mempertahankan gaya lama. Sebab, memang menggunakan bangunan cagar budaya yang merupakan gedung bekas toko buku dan penerbit Kolf Bunning.

Lokasi Jogja Library Center ini terbilang mudah dijangkau karena berada di Jl. Malioboro No.175, Sosromenduran, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagi Tuan dan Puan yang ingin ke sana, sebaiknya jangan memacu kecepatan kendaraan terlalu tinggi, karena lokasinya cukup tersembunyi. Lokasi tepatnya, yakni di antara Borobudur dan Suryadinata Batik yang memiliki plank besar.

Tidak terasa, hampir dua jam saya berjalan kaki menikmati Jalan Maliboro di pagi hari yang cerah. Saya pun kembali ke hotel tetap dengan jalan kaki. Lumayan untuk menyegarkan badan. Setiba di hotel, sekira menempuh perjalanan 25 menit dari Malioboro, saya langsung sarapan pagi. Lazimnya sarapan di hotel, menu pilihan saya tidak jauh dari bebuahan segar seperti semangka, papaya dan melon sebagai menu pembuka pagi hari itu. Disusul kemudian nasi goreng, ayam goreng kecap disertai soto madura dan tiga buah bakwan sebagai pelengkap. Satu lagi, semangkuk bubur kacang ijo plus ketan hitam. Kenyang, alhamdulillah.

Pintu Masuk kawasan perkantoran Pemprov DIY

Saya kembali ke kamar hotel, mandi dan siap-siap melaksanakan tugas selama di Jogja. Sekira pukul 10.30an saya dan tiga sejawat kantor lainnya menuju kantor Biro Hukum SETDA Provinsi DIY menggunakan Gocar. Setiba di kantor tersebut kami disambut oleh Ibu Siwi Sari Prasastiwi selaku Kepala Bagian Perundang-Undangan dan Dokumentasi Hukum, Ibu Cahyaningsih selaku Kepala Bagian Pembinaan Dan Pengawasan Produk Hukum Kabupaten/Kota (keduanya dari Biro Hukum Setda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Bapak Saluki dari bagian kelembagaan Biro Organisasi SETDA Provinsi Yogyakarta serta Ibu Sih Utami selaku Kepala Bidang Ketahanan Sosial, Budaya, dan Ekonomi KESBANGPOL Provinsi DIY. Di sini kami mendalami tentang kelembagaan pemerintah Provinsi DIY sesuai Peraturan Daerah Istimewa Nomor 1 Tahun 2024, terutama untuk urusan pemerintah bidang pekerjaan umum, tata ruang, pertanahan, perumahan dam pemukiman serta urusan penunjang bidang keuangan daerah, serta praktik penyelenggaraan toleransi kehidupan bermasyarakat di Jogja sebagai daerah bercirikan majemuk.

Dua jam lebih diskusi berlangsung di antara kami, sebuah perjumpaan berkualitas sehingga bayak informasi, data dan kebijakan Pemerintah Provinsi DIY yang bisa menjadi sumber masukan bagi kami untuk kelak disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Jambi melalui Pansus I DPRD Provinsi Jambi. Terlebih Yogyakarta tahun ini kembali meraih penghargaan sebagai daerah dengan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) terbaik, khususnya untuk wilayah Jawa. Penghargaan ini diberikan dalam acara SPM Awards 2025 yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). 

Keberhasilan itu, salah satunya, berkat tata kelola kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien dan bekerja berdasarkan tugas dan fungsi yang dilatarbelakangi rentang kendali dengan variabel terukur berdasarkan potensi dan kualifikasi SDM, dukungan regulasi serta kemampuan keuangan daerah, sesuai pembagian urusan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta kerja fokus dan kolaboratif antar perangkat daerah sebagai pelaksana program dan kegiatan, turunan dari visi-misi serta program prioritas kepala daerah yang termaktub di dalam dokumen RPJMD. Sebelum pamit, kami pun mengabadikan perjumpaan tersebut. 

***

Terik matahari mulai menyengat di kulit. Jarum jam menunjukkan pukul 14.15 WIB. Saya kembali ke hotel menggunakan gocar. Setiba di hotel langsung shalat zuhur dan istirahat sejenak melepas penat. Berselang 30 menit kemudian, saya menyewa motor New Beat. Satu hari sewa dibandrol harga 75 ribu, plus 30 ribu biaya antar dan jemput motor ke tempat saya menginap. Satu lagi syarat sebagai jaminan selama motor di tangan saya yaitu memberikan KTP dan Kartu BPJS pribadi. Deal.

Sekira pukul 15.15, motor yang saya sewa diantar ke hotel. Saya pun bergegas menuju rumah pribadi Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional sekaligus tokoh pendidikan Indonesia dan pendiri perguruan Taman Siswa. Bangunan gaya Jawa yang berdiri pada 1925 itu, tercatat dalam Buku Register Kraton Yogyakarta atas nama Ki Hadjar Dewantara, Ki Sudaminto, Ki Supratolo dari Mas Adjeng Ramsinah. Pada 1951 bangunan tersebut dihibahkan kepada Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa, yang enam tahun kemudian mengubahnya menjadi museum hingga sekarang.

Penulis di depan rumah pribadi/museum Ki Hadjar Dewantara

Museum Dewantara Kirti Griya yang terletak di Jalan Kusumanegara 131 ini menyimpan sekitar 3.000 barang kenangan Ki Hadjar bersama istri. Di antara barang tersebut, yang paling berharga adalah naskah, foto, koran, buku, majalah, serat dan syair milik atau tentang Ki Hadjar, yang disimpan di dalam perpustakaan di samping bangunan utama museum. Ini bukan kali pertama bagi saya ke sini, melainkan saat kuliah di Jogja sudah pernah ke sini.

Hampir 40 menit saya di museum sini, lalu setelahnya saya menziarahi makam Ki Hadjar Dewantara berserta istirinya di Taman Wijaya Brata, sekira berjarak 2,3 kilometer. Area pemakaman tersebut diperuntukkan bagi keluarga Taman Siswa yang berlokasi di Celeban, kelurahan Tahunan, Umbulharjo, Yogyakarta. Taman Wijaya Brata ini telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada 2007, selain juga menjadi pusara bagi sejumlah tokoh nasional lainnya.

Makam Ki Hadjar Dewantara (kiri) dan sang istri (kanan). Dok. Penulis.

“Setidaknya ada 41 tokoh yang dimakamkan di sini,” ujar Eko Widiyantoro, juru kunci Taman Wijaya Brata. Ia mengatakan sejak 1993 bertugas sebagai Juru Kunci di Taman Wijaya Brata. Jabatan ini didapat secara turun-temurun, yang diwariskan oleh bapak dan kakeknya.

Sepengamatan saya, memang Pusara Ki dan Nyi Hadjar menempati lahan terluas, dengan dasar berupa bangunan tinggi semacam panggung. Di latar tinggi ini ada pula makam putra dan putri Ki Hadjar, dengan sekeliling latar berupa 21 ukiran panel yang mengisahkan perjalanan Ki dan Nyi Hadjar dalam pergerakan nasional. Begitu juga Tut Wuri Handayani, slogan populer yang digagas Ki Hadjar ditulis di depan pusara. Di sini saya mengirimkam doa buat almarhum Ki Hadjar Dewantara sekeluarga sembari mengingat jasanya semasa hidup serta buku-buku yang pernah ia tulis semasa hidup, yang pernah saya baca sekaligus koleksi sampai saat ini.

Rute berikutnya saya melanjutkan ziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegara, tempat Panglima Besar Jenderal Soedirman dikebumikan. Selain beliau, di sini juga ada pusara Letnan Jendral Oerip Soemohardjo, Brigadir Jendral Katamso, Kolonel Sugiyono serta Menteri Supeno. Di antara ribuan pejuang yang dimakam di sini, ada satu tokoh pendidikan yaitu Prof. Sardjito, rektor pertama UGM yang semasa mudanya ikut membantu para pejuang kemerdekaan lewat kemampuannya di bidang kesehatan karena terbatasnya tenaga medis pada masa itu.

Jarak antara Taman Wijaya Brata Ki Hadjar Dewantara dengan TMP Kusumanegara relatif dekat sekitar 3 kilometer. Ciri paling kentara dari TMP Kusumanegara Yogyakarta adalah keberadaan patung Jenderal Soedirman berdiri tegak di depannya. TMP Kusumanegara ini dilengkapi dengan beberapa bangunan, di antaranya monumen, perpustakaan, ruang piket penjagaan, perkantoran, maupun dua gedung utama yang berada di belakang dan depan. Lebih kurang setengah jam saya ngangsu kawruh di sini, sebelum melanjutkan perjalanan nostalgik ke Papringan dan Nologaten.

 

Bersambung……


*Catatan saya berikutnya tentang ziarah saya ke makam Panglima Besar Jenderal Soedirman, lalu ke nostagik ke dusun Papringan: tempat saya ngekos (tidak jauh dari kampus II Institut Pertanian (INSTIPER) Yogyakarta) dan Museum Afandi, lanjut kongkow di café Basa-Basi Nologaten, dan berakhir di cafe dan toko buku alternatif Warung Sastra di Bluyahrejo, Karangw‎aru, Kota Yogyakarta.

Sehari berikutnya mengunjungi toko buku raja murah di Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul dan selanjutnya ngangsu kawruh di taman makam Khusnul Khatimah di Kulonprogo, tempat Buya Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif dikebumikan, lanjut menutup senja di Museum Sonobudoyo, dan malam harinya singgah sejenak  di Shoping Center Jogja, surga buku di Jogja dan setelahnya melabuhkan segala kenangan di jalan Malioboro sebelum pergantian malam. 


*Tulisan-tulisan berikut ini merupakan catatan perjalanan saya di Jogja empat bulan sebelum lawatan kembali ke Jogja kali ini:

(1) Kembali Ke Jogja, Lagi

(2) Ada Sesuatu di (dalam) Jogja

(3) Setengah Abad Arena: Perjalanan yang Tidak Mudah

(4) Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan ke Mantijeron

(5) Asa di Jalan Kaliurang Km 12 Jogja

(6) Jogja yang Dirindukan, Jambi Tempat Berpulang

(7) Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan

(8) Cerita dari Desa Tirnonirmolo, Bantul

0 Komentar