Inggit Ganarsih |
Oleh: Jumardi Putra*
“Di Bandung Bung Karno menemukan jalan hidupnya, dalam pendidikan, karir politik, juga cintanya”.
Kota Bandung buat saya selalu menarik. Selain gedung-gedung tua
peninggalan Belanda di sepanjang jalan Asia Afrika, pusat perbukuan di Palasari,
juga suasana kotanya di malam hari yang ramai dan berhawa sejuk. Tidak berlebihan
bila fenomenolog, psikolog, dan budayawan M.A.W. Brouwer pernah mengatakan, "Kota
Bandung lahir ketika Tuhan sedang tersenyum". Dan, tepat di seberang tulisan M.A.W. Brouwer itu, terpahat kalimat dari
seniman Bandung Pidi Baiq berbunyi, "Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah
geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi”.
Nyatanya, petikan dua kalimat indah yang menghiasi
kolong jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung,
itu menjadi salah satu tempat yang instagramable
bagi para wisatawan yang sengaja datang ke kota berjuluk Paris van Java itu.
Galibnya berkunjung ke Kota Kembang, di sela tugas kedinasan, saya mengisi
waktu mengunjungi kampus, pusat studi, penerbit buku dan situs atau bangunan
bersejarah. Gedung-gedung tua peninggalan Belanda di sepanjang Jalan Asia
Afrika, dengan segala cerita dan heroisme di balik sejarah bangunan fisik itu, pernah
saya kunjungi bertahun-tahun lampau, sebut saja seperti gedung yang menjadi
bagian dari sejarah berlangsungnya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18
April-24 April 1955 yaitu Gedung Merdeka.
Kemudian, berjarak beberapa meter, tampak bangunan yang pernah menjadi
salah satu lokasi rangkaian acara Konferensi Asia Afrika, yang gedung itu kini
menjadi Museum Konferensi Asia Afrika. Tidak jauh dari kedua bangunan tersebut,
terdapat salah satu hotel yang juga menjadi lokasi para pemimpin dunia menginap
selama penyelenggaraan KAA. Hotel tersebut bahkan masih menyimpan bukti asli berupa
buku kehadiran para pemimpin dunia yang diabadikan di salah satu kotak berlapis
kaca di dekat pintu masuk hotel. Ringkasnya, lokasi-lokasi tersebut dipakai
para pemimpin dunia untuk bertemu dan berbicara hingga terbentuk Dasasila
Bandung.
Rabu, 21 Agustus 2024, sekira pukul 19.30 WIB saya memilih napak tilas
ke rumah Inggit Garnasih, istri kedua Presiden Soekarno setelah berpisah dari
Siti Oetari, putri sulung Oemar Said Tjokroaminoto pada 1923. Sebelum singgah
di rumah bersejarah tersebut, saya terlebih dahulu mengunjungi toko buku Toga Mas
beralamat di Jalan Supratman No.45, Cihapit, Kec. Bandung Wetan, sedari sore
hingga lepas Magrib. Toko buku tersebut menjadi alternatif buat saya di Kota Bandung
selain Palasari yang melegenda itu.
Berkat bantuan sahabat saya, Hadi, warga Kota Bandung, saya diajak jalan-jalan menggunakan kendaraan roda dua miliknya menikmati suasana malam di Kota Bandung. Karena suhu malam itu dingin, jaket membuat tubuh saya selalu hangat. Perjalanan pun makin terasa asyik. Apatahlagi, usai rumah Inggit Ganarih, rute perjalanan kami berikutnya adalah Punclut (singkatan dari Puncak Ciumbuleuit), sebuah kawasan dataran tinggi terdekat dari Kota Bandung. Menurutnya, selain menjadi salah satu pusat kuliner khas Bandung, dari Punclut pengunjung bisa melihat suasana malam hari kota Bandung dari ketingggian. Benar-benar tawaran yang sulit ditolak.
Rumah Bersejarah Inggit Ganarsih |
Tersebab berkunjung di malam
hari, saya tidak bisa menelusuri seisi rumah Inggit Ganarsih tersebut, kecuali
di halaman depan. Sekalipun begitu rasa penasaran saya sedikit terjawab. Rumah
Bersejarah Inggit Garnasih terletak kurang lebih tiga kilometer dari Masjid
Agung Bandung dan Kabupaten Pendopo. Rumah ini ditempati Inggit Garnasih dan
Soekarno sejak 1926 sampai pertengahan tahun 1934 yang saat itu masih berbentuk
rumah panggung. Selanjutnya, rumah tersebut ditempati oleh Inggit untuk kedua
kalinya seorang diri pada tahun 1949 sampai tahun 1984.
Selama berada di bangunan cagar budaya itu, saya teringat kisah cinta Inggit Ganarsih dengan Bung Karno yang ditulis dengan apik oleh penulis biografi tokoh-tokoh Indonesia terkemuka yaitu Ramadhan K.H. Buku berjudul Kuhantar ke Gerbang itu pernah saya baca saat masih berstatus sebagai mahasiswa hampir dua puluh tahun lalu di Yogayakarta.
Dari roman itu, saya menjadi tahu kisah cinta Inggit Ganarsih dengan Bung Karno, yang tumbuh dalam suasana perjuangan dan penuh pengorbanan. Sebut saja, ketika Soekarno dimasukkan ke dalam penjara Banceuy dan Sukamiskin, Inggit Garnasih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan Soekarno selama mendekam di penjara. Salah satu kutipan yang saya ingat ihwal kesetiaan dan pengorbanan Inggit adalah saat Soekarno hendak dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Inggit meyakinkan Sukarno dengan berkata: “Ah, kasep. Jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut. Kus jangan was-was mengenai itu. Jangan ragu akan kesetiaanku".
Tak syak, perempuan kelahiran 17 Februari 1888 itu bagi Soekarno adalah alter ego-kewanitaan yang abadi (das ewig weilbliche), menukil pujangga Goethe. Walakin, apakah yang abadi di dunia ini? Toh, di muka gerbang kemerdekaan Inggit berpisah (cerai) dengan Soekarno. Meski demikian, hati Inggit tetap penuh kasih, maaf dan doa untuk Bung Karno sampai dirinya tutup usia. Dengan kata lain, cinta Inggit pada Engkus (panggilan kesayangan Inggit pada Soekarno) sangat dalam. Benar-benar kisah yang menggetarkan hati, terlebih saat menikah jarak usia Inggit (35) dengan Soekarno (22) saat itu terpaut hampir 13 tahun.
Sayangnya, selain tidak memiliki keturunan dari hubungan mereka berdua, cinta Inggit kandas saat Soekarno ingin berpoligami lantaran jatuh hati pada perempuan ayu bernama Fatimah yang kelak dikenal Fatmawati, saat Soekarno dan Inggit sama-sama menjalani pengasingan di Bengkulu pada 1938. Bagi Inggit ketika itu, pilihannya hanya ada "pilih aku atau dia!". Lalu, Sukarno pun akhirnya lebih memilih menikahi Fatmawati pada 1943. Berakhirlah rumah tangga Soekarno-Inggit yang telah diarungi selama 20 tahun dengan segala asa dan rasa itu (1920-1943). Dengan lapang dada Inggit menguntai kata yang saat ini populer sekaligus menjadi judul roman karya Ramadhan KH yaitu "Ku Hantar Kau ke Gerbang Kemerdekaan...." (walau bukan aku yang kelak menjadi Ibu Negara).
Penulis di Rumah Inggit Ganarsih |
Rumah Inggit Ganarsih yang berada di Jalan Ciateul No. 8, Bandung (saat ini diberi nama Jalan Inggit Garnasih) merupakan wujud penghormatan kepada Inggit Ganarsih yang ikut merintis kemerdekaan Indonesia. Penggantian nama jalan tersebut bertepatan dengan pemberian Tanda Kehormatan 'Bintang Mahaputera Utama' kepada Inggit Garnasih berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 073/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997 pada tanggal 10 November 1997.
Bukan tanpa sebab, kediaman Inggit ganarsih disebut sebagai rumah bersejarah. Pasalnya, rumah ini menjadi saksi perjuangan Soekarno untuk mencapai kemerdekaan Republik Indonesia sebelum Soekarno dan Inggit Garnasih dibuang ke Ende, Flores, maupun Bengkulu. Soekarno sering melakukan pertemuan dan diskusi dengan kawan-kawannya di rumah ini dan berhasil membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan sebagai ganti dari PNI terbentuklah PARTINDO pada 29 April 1931. Bahkan, rumah tersebut pernah menjadi tempat berkumpulnya tokoh pelopor kemerdekaan antara lain, Suyudi, Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro, HOS Tjokroaminoto, Kyai Haji Mas Mansur, Sartono, Hatta, Moh. Yamin, Ali Sastro, Asmara Hadi, Ibu Trimurti, Otto Iskandardinata, Dr. Soetomo, M.H. Thamrin, Abdoel Muis, Sosro Kartono (kakak dari Ibu Kartini) dan lain-lain.
Rumah Inggit juga menegaskan
bahwa di Bandung Bung Karno menemukan jalan hidupnya, dalam pendidikan, karir
politik, juga cintanya. Makanya, ketika mempelajari tentang kiprah Bung Karno
selama di Bandung, nama Inggit Ganarsih akan selalu disebut, karena tidak
terlepas dari perjuangan dan pengorbanan seorang Inggit, dimulai saat Soekarno
menimba ilmu di ITB di Bandung sambil merintis jalannya di bidang politik,
masa-masa sulit ketika Bung Karno dipenjara dan diasingkan, hingga
kepindahannya ke jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, beberapa bulan sebelum
Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Bung Karno.
Inggit Ganarsih dan Soekarno |
Ketakjuban Soekarno pada Inggit Ganarsih pun tak terbantahkan. Dalam tulisan Seno Gumira Ajidarma berjudul “Inggit Ganarsih Lebih dari Sebuah Buku”, Sukarno mengungkap ketakjubannya itu: “Dia sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi intelektualisme bagiku tidak penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah kemanusiaanya. Perempuan ini sangat mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat-pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku, dia mendorong dan memuja. Dia memberikan kepadaku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh buku. Dia memberiku kecintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri. Ia memberikan segala apa yang kuperlukan yang tidak dapat diperoleh semenjak aku meninggalkan rumah Ibu.”
Sekalipun menjadi suluh bagi Soekarno, dibanding istri-istri Soekarno, Inggit Ganarsih termasuk istri yang kurang dikenal. Masyarakat umumnya lebih mengenal Fatmawati, atau Dewi Soekarno dibanding Inggit Ganarsih. Tidak banyak memang yang menulis tentang Inggit Ganarsih, dalam buku teks sejarah-sejarah resmi namanya ditulis selewat saja. Karena itu, saya bahagia sekaligus bersyukur lantaran penggalan kehidupan Inggit Ganarsih baik saat masih bersama dan bahkan setelah tidak lagi bersama Bung Karno terawat dengan baik melalui rumah bersejarah ini sehingga bisa dikunjungi oleh generasi saat ini hingga kapanpun. Inggit Ganarsih wafat pada 13 April 1984 dalam usia 96 tahun dan disemayamkan di Dipasarean Agung yang berada di TPU Caringin Porib, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jawa Barat.
Gayung bersambut, dalam perjalanan menuju Kawasan Pluncut, saya beberapa kali menemukan papan reklame berukuran besar dan menjulang tinggi bertuliskan, “Hanya ke Bandung lah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya”. Agaknya Inggit adalah energi terbesar bagi Sukarno kala itu. Di luar soal itu, selain jago di podium, Sang Putra Fajar memang piawai merangkai kata-kata menjadi kalimat puitis sehingga menyihir hati para perempuan di dekatnya masa itu.
Surat cinta yang pernah dibuat Soekarno tidak hanya memuat puisi untuk Inggit Ganarsih, tapi juga kepada perempuan
yang pernah menjadi pendamping hidupnya seperti Oetari Tjokroaminoto (menikah
1920-1923), Inggit Ganarasih (menikah 1923/cerai 1943), Fatmawati (1943-1957),
Hartini (menikah 1952-1970), Kartini Manoppi (1959-1968), Ratna Sari Dewi
(1962-1970), Haryati (menikah 1963-1966), Yurika Sanger (1964-1968) dan
berakhir pada sosok Heldy Djafar yang dinikahi pada 1966-1968 saat Soekarno
menginjak usia ke 66 tahun.
*Kota Bandung, 21-23 Agustus
2024.
0 Komentar