![]() |
Rumah Tuan Kadhi |
Oleh: Jumardi Putra*
Belum lengkap rasanya menginjakkan kaki di Bumi Lancang Kuning (Riau) bila tidak bertandang ke
Kampung Bandar Senapelan. Dalam perkembangannya wilayah Senapelan (Pekanbaru)
pernah menjadi Ibukota Kerajaan Siak Sri Indrapura pada masa Sultan Abdul Jalil
Alamuddin Syah sekitar tahun 1775.
Salah satu penanda dari sejarah Pekanbaru masa lalu itu, di
kampung ini terdapat situs cagar budaya berkaitan dengan Kerajaan Siak Sri
Indrapura. Warga menyebut bangunan bersejarah itu Rumah Panggung Tuan Kadhi,
tempat singgah bila Sultan Siak Sri Indrapura berkunjung ke Senapelan
(Pekanbaru). Rumah tersebut berlokasi di jalan Perdagangan Kelurahan Kampung
Bandar, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru.
Februari tahun lalu, saya mengunjungi Istana Siak Sri
Indrapura yang berjarak kurang lebih 113 Kilomter dari arah Kota Pekabaru (baca
di sini:
Istana Matahari Siak Sri Indrapura),
maka untuk melengkapi napak tilas saya mengenai Siak Sri Indrapura, Jumat, 28 Juli 2023, saya mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Kota Pekanbaru.
Lawatan saya kali ini tidak sendirian, melainkan bersama
Sandi, teman sekantor. Sebelum bertandang ke rumah Tuan Kadhi, kami terlebih
dahulu sejenak menikmati suasana sore hari di Jembatan Siak IV, setelah
sebelumnya menyantap ayam geprek di Restauran Mustika, tidak jauh dari tempat
kami menginap selama di kota Pekanbaru.
Sesampai di rumah Tuan Kadhi, kami berjumpa Bang Andre,
jururawat rumah tradisional tersebut. Menurut Bang Andre, rumah panggung ini
dibangun oleh Haji Nurdin Putih yaitu mertua Tuan Kadhi, Haji Zakaria pada
tahun 1895.
![]() |
Suasana dalam rumah Tuan Kadhi |
“Di sinilah Sultan Siak beserta pengiringnya beristirahat sebelum melanjutkan perjalanannya. Sekarang tempat ini sering dijadikan untuk acara atau festival yang diadakan oleh pemerintah Kota Pekanbaru,” imbuhnya.
Secara umum bangunan Rumah Tuan Kadhi berbahan jenis kayu,
kecuali bagian tangga (pada sisi timur bangunan) yang terbuat dari bata
berspesi. Bangunan ini didominasi bahan kayu dengan warna kuning dan perpaduan
biru di beberapa titik.
Masih menurut Bang Andre, komponen bangunan rumah Tuan Kadhi
ini masih terdapat bagian yang masih asli, yang telah diganti atau diubah
maupun bagian yang hilang. Namun demikian, lanjut Bang Andre, bagian-bagian
yang diganti maupun yang hilang dari rumah ini telah diperbaiki dengan
memperhatikan keaslian bentuk arsitekturya.
Sebelum memasuki rumah Tuan Kadhi, saya terlebih dulu mencermati tangga bangunan rumah Tuan Kadhi. Tangga itu terbuat dari susunan bata berplester. Pada bagian pipi tangga tertera tanggal bulan serta angka tahun yaitu 23 Juli 1928.
![]() |
Penulis bersama jururawat Bang Andre |
“Tangga rumah ini dibangun belakangan, tidak bersamaan dengan pembangunan rumah, karena rumah ini dibangun pada tahun 1895. Kemungkinan tangga lama terbuat dari bahan kayu,” kilah Bang Andre.
Bagian kaki, tubuh, dan atap rumah ini masih tampak kokoh. Bagian kaki penyanggah rumah terdiri dari 22 buah yang terbuat dari beton. Sedangkan bagian dinding, pintu, jendela, serta lubang udara atau ventilasi juga terlihat masih terawat baik. Tiga ruangan di rumah Tuan Kadhi masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda. Sebagian ruang memerlukan privasi dan proteksi sehingga terdapat pula perbedaan yang terlihat pada bagian jendela khususnya pada bagian teralis yang menjadi penutup dari rongga jendela.
Tidak lama setelah kehadiran kami, datang beberapa warga
yang ingin melihat-lihat seisi rumah Tuan Kadhi. Usut punya usut, mereka
berasal dari Tembilahan. Untuk sampai di Kota Pekanbaru mereka harus menempuh
perjalanan darat sekira 6 jam lebih menggunakan kendaraan roda empat. Sesama Sumatra kami pun bercakap-cakap
sembari menikmati foto-foto jadul seputar sejarah Kota Pekanbaru yang terpasang
di dinding rumah Tuan Kadhi.
Usai dari Rumah Tuan Kadhi, berkat saran Bang Andre, saya
dan Sandi melanjutkan perjalanan menuju Rumah Batin Sanepalan berjarak satu
kilometer dari Rumah Tuan Kadhi. Sembari menikmati suasana sore hari di Kampung
Bandar, kami memilih berjalan kaki menuju cagar budaya Provinsi Riau yang
ditetapkan tahun 2018 itu.
![]() |
Penulis di Rumah Bandar Senapelan |
Cagar Budaya Senapelan merupakan saksi sejarah berdirinya Kampung Bandar Senapelan yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Pekanbaru sekarang. Sultan Siak ke-4 Yang Dipertuan Besar oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan pusat kekuasaan Siak dari Mempura ke Senapelan pada tahun 1762.
“Pada abad ke-15 sebaran kawasan Bandar Senapelan ini dari
Senapelan sampai ke Mempura sangat luas. Perkampungan Batin Senapelan ini lebih
tua dari kota Pekanbaru, buktinya adalah tapak bukti itu ada di rumah itu,”
lanjut Bang Andre.
Suasana rumah tersebut tampak sepi. Hanya ada ruang tengah berukuran besar, tempat bagi pelbaga acara masyarakat sekitar atau komunitas dan institusi lainnya. Posisinya juga berada di pinggir sungai Siak. Di sekitarnya tampak anak-anak sebaya asyik bermain badminton. Kami sejenak melihat-lihat kondisi isi rumah tersebut. Sebelum meninggalkan lokasi, tidak lupa kami bergiliran mengabadikan momen kunjungan ke rumah Bandar Senapelan tersebut.
Usai melihat dari dekat cagar budaya Bandar Senapelan, kami
melanjutkan jalan kaki ke perkampungan Melayu Rumah Tenun yang berada tidak
jauh dari Rumah Tuan Kadhi. Tidak banyak informasi yang kami dapatkan dari
rumah milik Haji Yahya, seorang toke getah karet, yang dibangun 1887 itu. Apatahlagi rumah Tenun tersebut dalam kondisi terkunci. Meski demikian, di samping pintu masuk rumah itu terdapat keterangan berisikan sejarah ringkas rumah tersebut sebelum dan saat kemerdekaan hingga sekarang menjadi tempat bagi ibu-ibu rumah tangga menenun kain batik tradisional Melayu Riau. Saat bersamaan tampak sekelompok orang sedang membuat liputan video di rumah-rumah tua di kawasan itu, tidak jauh dari pelabuhan tempat bongkar muat barang di kampung Bandar, Senapelan.
![]() |
Sandi saat ziarah makam Marhum Bukit |
Magrib makin terasa dekat, kami pun memutuskan segera menuju Mesjid Raya dan Makam Marhum Bukit serta Makam Marhum Pekan yang terletak di Kecamatan Senapelan dan merupakan mesjid tertua di Kota Pekanbaru. Berdasarkan tayangan informasi dari website Direktorat Pariwisata Indonesia, Mesjid tersebut dibangun pada abad ke 18 dan sebagai bukti Kerajaan Siak pernah berdiri di kota ini pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah dan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah sebagai sultan keempat dan kelima dari Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Dalam areal kompleks mesjid tersebut terdapat makam Sultan
Marhum Bukit dan Marhum Pekan sebagai pendiri kota Pekanbaru. Marhum Bukit
adalah Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (Sultan Siak ke-4) memerintah tahun
1766 – 1780. Di masa kekuasaan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah inilah
Senapelan dijadikan pusat Kerajaan Siak, di bawah pemerintahannya aktivitas
niaga berkembang pesat sehingga muncul pemikiran untuk mendirikan sebuah pekan.
Namun ide mendirikan sebuah pekan ini baru terlaksana pada masa pemerintahan
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (anak Sultan Abdul Jalil Alamuddin
Syah). Semenjak saat itu, tepatnya pada 23 Juni 1784 nama Senapelan mulai tidak
dipakai lagi, dan berganti menjadi Pekanbaru.
Usai ziarah sekaligus shalat Magrib di Mesjid Raya Pekanbaru, kami pun kembali ke penginapan. Esoknya, Sabtu, 29 Juli 2023, kami kembali ke kampung halaman via udara rute Pekanbaru-Jakarta-Jambi. Puji Tuhan. Semoga bisa ke Senapelan (Pekanbaru) lagi. Amin.
*Kota Jambi, 5 Agustus 2023.
0 Komentar