Generasi Nol Buku

ilustrasi

Oleh: Jumardi Putra* 

Bersama istri dan buah hati, saya mengunjungi toko buku Gramedia di Jalan Sumantri Brojonegoro 52, Kebon Jeruk, Solok Sipin Telanaipura, Kota Jambi. Pasalnya, sedang berlangsung “tawuran” diskon buku-buku dari berbagai penerbitan (27/06).  Sesampai di lokasi, hati saya senang tak kepalang melihat para remaja dan keluarga memenuhi area lantai dasar gedung tersebut. Tak terkecuali, melihat anak-anak menjinjing bukubuku pilihannya.

Keadaan menggembirakan itu, mengingatkan saya pada diktum Arab, “Khairu jaliisin fi al-zamaani kitaabun” (Sebaik-baik teman di setiap saat adalah buku). Pun AlJahizh melalui dua buah puisinya menegaskan, “Al-kitab yuqra-u bi kulli makan wa yudrasu fi kulli zaman” (Buku dibaca di segala tempat dikaji pada segala zaman) dan “Law la al-kitab lakhtallat akhbar al-madhin wa inqatha’at atsar al-ghaibin” (Andai kata tak ada buku, tak ada cerita masa lalu).

Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama, setelah terlintas di pikiran saya ungkapan keras penyair Taufiq Ismail bahwa generasi Indonesia adalah generasi “nol buku”. Apa pasal? Survei Taufiq Ismail terhadap pengajaran sastra dan mengarang di SMU beberapa negara menunjukkan situasi yang memperihatinkan. Ambil misal, untuk menyebut beberapa, Malaysia menugasi siswanya membaca novel sastra 6 judul, Singapura 6 judul, Brunei 7 judul, Swiss dan Jepang 15 judul, Kanada 16 judul, dan Amerika 32 judul, sedangkan di Indonesia nol judul.

Bahkan, negara Filipina dan Thailand begitu akrab dengan novel-novel karya sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan besar dunia lainnya, sedangkan siswa-siswi di Indonesia justru sedikit yang mengenal sosok sastrawan kelahiran Blora-Jawa Tengah itu.

Merujuk laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7 di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand (skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong (skor 75,5).

Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. UNESCO pada 2012 mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat umunya sudah mencapai 99,0 persen (Ben Senang Galus http://www.pendidikandiy.go.id). Dalam pada itu, tak kalah gentingnya, serbuan multimedia dewasa ini, khususnya televisi kian mengkhawatirkan. Laporan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 menyebutkan, orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca Koran (23,5%).

Sejatinya, gambaran di atas menunjukkan masyarakat kita terlanjur candu dengan budaya audio-visual, khususnya televisi. Akibat lebih jauh, bisa menjadikan otak pasif, lumpuhnya kemampuan berpikir kritis dan terutama sekali merusak kecerdasan spasial dan otak sebelah kanan.

Sejurus hal itu, relevan yang dikatakan Aldous Huxley, sebagaimana dikutip Fred Wibowo dalam bukunya, Menggugat Kebudayaan (Pinus, 2007), “Dosa televisi yang paling besar bukan karena mengalihkan kemauan berpikir menjadi gelak-tawa, melainkan karena televisi menyebabkan ketidaktahuan orang akan apa yang ditertawakan dan mengapa telah berhenti berpikir.” Di tengah keadaan demikian, bagaimana keberadaan perpustakaan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi? Kalah rating dibandingkan kantin! Di kampus, gejala semacam itu kian menguat. Bangunan perpustakaan yang besar dan dilengkapi fasilitas serba canggih tidak pula dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menyalurkan hasrat menjadi kutu buku. Lalu, bagaimana pula mobil-mobil pintar yang didesain khusus oleh pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di pelosok daerah? Entahlah, yang jelas mobil-mobil tersebut sering mangkal di gedung perpustakaan.

Kemudian, bila fakta buruknya minat baca masyarakat disebabkan daya beli masyarakat yang rendah, setidaknya bazar buku murah, baik oleh penerbit maupun toko buku adalah kabar yang melegakan dan tentu kita berharap kegiatan semacam itu terus dilakukan. Di samping itu, pemberdayaan Taman Baca Masyarakat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat juga tak kalah penting untuk digalakkan. Karena, dalam pandangan saya, keberadaan Taman Baca Masyarakat (TBM) justru lebih efektif ketimbang perpustakaan di sekolah maupun perguruan tinggi.

Saya menyambut baik Taman Baca Masyarakat yang ada di Provinsi Jambi saat ini, untuk menyebut beberapa, seperti Rumah Baca Evergreen dan Sahabat Ilmu di Kota Jambi, Komunitas Pintu di Kabupaten Tebo dan Taman Baca Giat di Tungkal, Tanjung Jabung Barat. Begitu juga dengan Rumah Baca yang telah lebih dulu berkembang di beberapa daerah di seantero Indonesia, antara lain, Rumahitam di Batam, Rumah Dunia di Banten, Perpustakaan Mabulir (Majalah Buku Keliling Bergilir) milik mendiang Dauzan Farook (1990), I-boekoe di Yogyakarta, dan komunitas Pawon di Solo.

Menyangkut upaya membangun budaya literasi, menurut hemat saya, ketika siswa, guru, dan masyarakat tengah dikepung oleh teks, informasi dan gambar, aktivitas membaca sejatinya dapat membentuk kemampuan menalar, menyulut daya imajinatif-kreatif dan berpikir kritis-rasional. Karena itu, konsep literasi yang dimaksud bukan sebatas membaca dan menulis, atau pun mengenalkan budaya baca secara sekilas, tetapi diperlukan paradigma literasi yang menunjang kemampuan memaknai teks dan gambar secara kritis. Dengan demikian, kegiatan membaca, sebagaimana dimaksudkan paradigma literasi yang mencakup hal di atas, dalam banyak pandangan para pakar adalah meliputi berpikir (to think), merasakan (to feel) dan bertindak melaksanakan sesuatu yang baik serta bermanfaat (to act).

*Jambi, Juni 2012.

0 Komentar