Tradisi Lisan di Antara Keterputusan dan Kesinambungan

Pergeleran tradisi lisan Melayu Jambi

Oleh: Jumardi Putra*

Pergelaran tradisi lisan Melayu Jambi yang ditaja Kantor Bahasa Provinsi Jambi menunjukkan fenomena "keterputusan" ketimbang "kesinambungan" (dialektik). Ia, tak ubah barang antik. Semacam kosmetika modernitas yang diburu oleh pasar (baca: pariwisata) untuk dijadikan dagangan dengan disertai umbul-umbul keadiluhungan.

Riuh tepuk tangan, sorak-orai, dan keterpukauan terhadap masa lampau, membuat "adat lamo dan pusako usang" seolah terberikan, sebagaimana saat ini kita tak kuasa bertanya secara kritis tentang apa yang kita pikir, makan, minum dan tonton sehari-hari. Lewat begitu saja.

Sebuah keadaan yang berkebalikan tentang kita dewasa ini, yang amat sering menyebutnya sebagai warisan. Toh, bukankah pewarisan (untuk menyebut regulasi) baru datang belakangan? Sementara karya budaya (tradisi lisan) yang tercipta dan berkembang itu, sedari awal tidak pernah diniatkan bahwa kelak ditetapkan sebagai warisan.

Di situlah pertaruhan ekonomi, politik, budaya, agama terjadi, dan sepanjang itu pula tafsir tentangnya mengalami perubahan, tergantung konteks yang melingkupinya.

Barangkali dari situ masing-masing kita memulai, mengetengahkan pergelaran tradisi lisan sebagai penghubung kesadaran antara masa lampau dan sekarang. Dengan kata lain, pergelaran tradisi lisan (atau apapun bentuk dan jenis perhelatannya), tak lain sebagai cermin proses sejarah, sehingga membantu masyarakat saat ini menemukan kembali kesadarannya.

Setakat hal itu, dalam rentang waktu amat panjang, kita (generasi jauh setelahnya) akan melihat secara seksama elan vital alam pikiran, gejolak batin, medan magis dan spiritual, pasang-surut tafsir, re-kreasi, dan segala hal yang melingkupi tradisi lisan (sebagai perilaku dan materi) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sampai jumpa pada dialog besok malam, yang menghadirkan Dr. Pudentia, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan yang juga pengajar di FIB Universitas Indonesia, jurnalis Kompas, Kenedi Nurhan, dan pelaku tradisi lisan. Melalui dialog tersebut saya berharap kita dapat menemukan sesuatu yang hilang, kalau bukan terlewatkan, di balik bingkai (frame) yang nyatanya membuat banyak penonton terperangah selama pergelaran berjalan.

Upaya demikian dapat ditemukan, bila kita bercakap langsung dengan pewaris dan pelaku tradisi lisan itu sendiri, di samping mendengar dan membaca tafsir-tafsir dari mereka yang pernah bersinggungan dengan tradisi tersebut, ambil misal, dalam sebuah kerja penelitian maupun pengamatan aktif, serta penonton sebagai apresiator, yang barang tentu bisa bercerita tentang rasa keterlibatan, kenikmatan pengalaman, dan respon-respon lainnya.

*Catatan singkat ini dibuat usai menyaksikan pergelaran tradisi lisan pada 7-9 Mei 2014. Sumber foto: Kantor Bahasa Jambi.

0 Komentar