ilustrasi. |
Bukan Semata Malam Itu
1/
Bukan semata malam itu yang kuingat, tapi sepasang
matamu. Mata yang tak lekang oleh ranum rembulan. Mata yang peka menerima semua kebaikan. Semua ketabahan. Mungkin juga semua kepedihan.
2/
Bukan semata malam itu yang kuingat, tapi alis matamu. Alis mata yang tak lerai oleh hari-hari yang dilumuti daya dera yang menggilas. Alis mata yang kau rawat agar bisa membersamai pagi, siang, petang, dan malam hingga menjemput fajar. Alis mata yang kau pancarkan tidak untuk menolak kehadiran matahari, juga hujan, tapi dengan penuh sukacita menerima kehadiran keduanya penuh seluruh.
3/
Bukan semata malam itu yang kuingat, tapi
pipimu yang putih kemerah-merahan. Pipi yang tak mengenal lelah, apalagi
menyerah. Pada pipimu, segala keluh kesah rebah, dan dari pipimu pula air mata
mengabadikan kisah-kasih, yang meski berkali-kali jatuh dan tetap bangkit, lagi
dan lagi.
4/
Bukan semata malam itu yang kuingat, tapi rambut
panjangmu yang basah dan jatuh di ranjang malam. Kuambil perlahan-lahan helai-helai
rambut itu, dan kuselipkan di antara helai kertas pada sebuah buku yang belum
kuberi judul. Biarlah bersama aroma kertas, meski harus lapuk oleh kurun waktu
tak berbilang, hela-helai rambutmu mengabadi bersamanya.
Laut dan Pantai
Tak ubahnya laut dan pantai yang tak pernah
saling bertanya mengapa mereka dipertemukan. Begitu juga aku. Menemukenali
dirimu adalah perjumpaan yang digerakkan oleh waktu. Gonta ganti cuaca, angin
yang gaduh, ombak yang bergulung-gulung, adalah bahasa yang meronai pelayaran
kita.
Hujan dan Bening Matamu
Hujan sudah berhenti. Aku khawatir kau juga
akan begitu. Makin jauh dari penglihatanku. Pada setiap hujan kusediakan
payung. Tidak untuk menolak kehadirannya. Melainkan aku ingin melihat dari
jarak terdekat saat rerintik hujan jatuh perlahan di bucunya, lalu berlabuh di
pipimu. Sanggupkah aku menjumlahkan rintik hujan di sabana pipimu? Bukan itu
yang kutuju, karena jernih hujan tidak lain adalah bening matamu.
Sepasang Sepatu
Kau berujar, “Kita akan terus bertemu setelah punya sepasang sepatu. Gunung yang hendak kita daki terlalu tinggi ditaklukkan hanya dengan telanjang kaki. Kita nyaris jatuh berkali-kali”.
Waktu menggelinding. Gunung-gunung menjadi saksi. Sepasang sepatu menandai puncaknya. Kita berdua pasih mengisahkannya.
Pada Kesendirianmu
Kau anggun, unik dan juga baik. Kesendirianmu
membuat banyak pria merasa berhak memilikimu. Bagi mereka, mendekatimu adalah medan
perjuangan, yang meski melelahkan, tak lain sebuah kehormatan.
Kau lugas dan mengasyikkan. Kau tak menyukai
perkara sederhana yang dirumitkan. Kau mudah diajak bercakap-cakap karena
sejatinya kau ingin bersahabat dengan sesiapa saja.
Keterimaanmu terhadap sesiapa saja acapkali
membuka ngaga luka sesama mereka yang berupaya dekat dengamu. Bisa jadi itu
karena didorong perasaan paling berhak memilikimu.
Aku tidak ingin menjadi mereka yang gagal
memaknai kesendirianmu. Aku menyayangimu tanpa memerlukan alasan, apalagi pembenaran.
Mengenali Waktu
Sekalipun angin beterbangan saat aku ingin menggenggamnya, tidak lantas membuatku mengutuknya. Kesendirian sebagai anugerah tidak lain adalah momen paling berarti yang menautkanku padamu di segala musim dan suasana.
*Kota Jambi.
0 Komentar