![]() |
ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra
Dari sepasang matamu aku belajar bahasa bunga. Sebagaimana
aku bersukacita menghirup aroma wewangiannya, diriku juga mesti siap terkena
tusukan duri darinya.
**
Tersebab tidak semata laksana jendela, pada sepasang matamu adalah juga pintu-pintu, yang darinya aku bisa mengunjungimu dengan leluasa. Mata yang di dalamnya menyimpan kisah-kisah indah, duka dan perkara terduga lainnya.
**
Sepasang matamu adalah lautan. Dari jarak terdekat aku melihat
deburan ombak makin membuatnya menakjubkan. Saat pasir tempatku melukiskan kenangan
antara kita di bibir pantai digulung ombak, kamulah lautan yang mendekap begiru
erat.
**
Sepasang matamu serupa lautan. Darinya aku belajar tidak
mengutuk badai yang datang. Aku tahu ini tidak mudah, seperti pantai yang berulangkali
diterjang ombak oleh karena angin mengaduh dan
bergelombang. Aku masih di sini, memilih mengarungi samudera lepas
sembari mengenggam sebuah nama: prajna dengan sepasang matanya yang menawan.
**
Bila malam ini didera sepi, kau boleh meminjam riuh ingatanku. Kuceritakan jika pada kedua telapak tanganmu pernah kutulis sajak-sajak cinta paling masyhur yang belum pernah kau dapati dari pujangga lain di jagad ini.
**
Malam yang makin larut benar-benar tidak mudah dilalui bagi mereka yang dipisahkan. Mengingatmu membawaku pada sebuah kurun waktu dimana aku pernah berjuang ingin memilikimu. Berkali-kali jatuh dan tidak lantas membuatku menolak kehadiranmu.
**
Hujan sudah berhenti. Aku khawatir kau juga akan begitu.
Makin jauh dari penglihatanku. Pada setiap hujan kusediakan payung. Tidak untuk
menolak kehadirannya. Melainkan aku ingin melihat dari jarak terdekat saat
rerintik hujan jatuh perlahan di bucu matamu, lalu menggenangi sabana pipimu. Sanggupkah
aku menjumlahkan rintik hujan yang berlabuh di ujung dagumu ? Bukan itu yang kutuju, karena
jernih hujan tidak lain adalah bening matamu.
**
Dalam kesendirian aku belajar mengenali waktu. Ibarat angin
yang tidak terelakkan beterbangan dan bahkan saat aku ingin menggenggamnya,
tidak lantas membuatku mengutuknya. Kesendirian sebagai anugerah tidak lain
adalah waktu paling berarti yang menautkanku padamu dalam segala musim dan suasana.
**
Di puncak malam aku menyulam kata-kata. Sukar untuk tidak membayangkan hal-hal indah dan kisah mendebarkan lainnya. Selamat malam. Selamat menemukan sudut tepat untuk merengkuh pengertian yang melampaui makna harfiahnya. Waktu kerapkali ditakar sebagai komoditi. Tidakkah ia adalah anugerah dan karenanya meniscayakan usaha memasukinya sampai pada lapis paling dasar? Kedirianku di tengah semua ini.
*Kota Jambi
0 Komentar