Syamsul Watir dan Pers Jambi (Tanpa) Pusat Dokumentasi


H. Syamsul Watir (alm)

Oleh: Jumardi Putra*

Menutup September dua tahun lalu, saya mengunjungi pameran mengenang mendiang Syamsul Watir M (1935-1990), tokoh pers di Jambi, di museum Siginjei. Di sebuah ruangan yang lapang itu, mulai dari kliping koran, piagam penghargaan, foto, kartu pers, hingga peralatan kerja pribadi seperti mesin tik, motor (CG110-BH 6188 AB), telepon, yang keseluruhannya menandai rekam jejak sang pionir.

Lie Cin, begitu nama pena alm. Syamsul Watir, selain dikenal perintis Harian Mingguan Independent di Jambi era 1973-an (sejak 1995 berada di bawah naungan Jawa Pos Group), juga menaruh minat pada isu ekonomi, pertanian, pariwisata dan budaya.

Perhatiannya yang beragam itu dapat kita telusuri melalui liputan maupun tulisan-tulisan lepasnya, baik di Independen yang ia pimpin, juga di lembar-lembar koran di Sumatra dan Ibu Kota, seperti Prospek Pariwsata di Sumatra (Harian Singgalang, Sabtu, 7 Agustus 1976), Petani Persawahan dan Pasang Surut (17 April 1976), Rimbo Bujang: Buat Calon Petani Kaya (Haluan, 17 mei 1976), Petani Bugis Ahli Persawahan Pasang Surut (Berita Buana, 26 April 1976), Peranan Kau Pui di Jambi, Suatu Tanda Tanya (Harian Pelita, 17 April 1977), Benarkah menjadi “anak dagang: adalah Tuntutan Kebudayaan Minang? (Harian Haluan), Era Baru dalam Tataniaga Karet Rakyat (Harian Pelita, 27 November 1975). Itu hanya sebagian dari tulisan mendiang yang dapat saya lacak sumbernya.

Di luar itu, almarhum juga aktif di kancah kesenian, utamanya puisi dan seni tetaer. Tercatat sebagai ketua BKKNI Provinsi Jambi pada 1987. Bahkan ia pernah mendapat piagam penghargaan dari Himpunan Pemuda Pelajar Minang ke-IV Daeah Jambi sebagai sutradara teater Anggun Nan Tongga Magek Djabang pada 15 Maret 1965.

Meski dengan penataan sederhana, saya menikmati pameran yang digagas-kerjakan oleh Sakti Alam Watir, fotografer, yang juga merupakan anak dari Syamsul Watir. Tampak jelas dokumentasi kerja-kerja jurnalistik ayahnya terjaga dan terawat dengan baik.

Bertolak dari pameran yang bertajuk “Memaknai Semangat Sang Pionir, Menghadirkan Masa Lampau Mengundang Masa Depan” inilah, muncul pertanyaan, di manakah ruang dokumentasi sejarah dan dinamika pers di Jambi dapat kita akses?

Bagaimana kita bisa mengetahui satu per satu sejarah dan dinamika penerbitan koran lokal Jambi, jauh sebelum era reformasi, yakni era stensilan sejak 1958-an, seperti Pelita Marga, Harian Peristiwa, Harian Berita/Mingguan Berita, Warta Indonesia/Warta Nusantara (1963-an), Warta Massa, Ampera, dan Independent. Lalu bagaimana pula kita dapat membaca koran- koran dari Jakarta dan Sumatera Selatan (sub dari Provinsi Sumatera) yang beredardi Jambi sebelum lahirnya koran lokal di Jambi, seperti Star Weekly, Keng Po, Pedoman pada kurun 1953-an? (Baca Deddy Rachmawan, Koran Stensilan Pun Tetap Dicari, Tribun Jambi, 8 Februari 2012).

Barangkali ada yang menjawab ada pada Tugu Pers. Yang kemudian digadang-gadang sekaligus menjadi (pusat) dokumentasi pers. Sayangnya, saya tidak menemukan itu. Tugu Pers (sejauh ini) hanya sebagai simbol untuk perayaan Hari Pers Nasional (HPN) yang berlangsung di Jambi pada tahun 2012. Belakangan, justru terhadap Tugu Pers di Jl. Sultan Agung, Lb. Bandung, Ps. Jambi, Kota Jambi, itu sebagaimana prasasti atau monumen yang dijumpai di jalan-jalan Ibu Kota, berhenti sebatas arah penunjuk jalan.

Tentu ketika bicara pers (dalam hal ini koran), kita tidak berhenti pada tokoh/jurnalis, tapi juga perusahaan, sumber daya manusia, sekaligus produk pers: tata letak, desk/rubrikasi, politik keredaksian, periklanan, dan hal-hal lain yang berkelindan dalam kerja-kerja jurnalistik, seperti lini bisnis dan oplah koran.

Saya punya pengalaman khusus berkaitan ini. Dua tahun belakangan ini saya memfokuskan pada pendataan rubrikasi sejarah dan budaya lokal di koran-koran Lokal Jambi. Umumnya dimulai dari periode 1980-2000-an. Untuk mendapatkannya saya mesti mengunjungi kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi, ruang Deposit Perpustakaan Provinsi dan Perpustakaan di beberapa daerah kabupaten/kota di Jambi, serta kampus di Jambi. Itu pun boleh dikata kurang memadai.

Bisa kita bayangkan, bila tak ada (pusat) dokumentasi pers, untuk mendapatkan data demikian diperlukan ketekunan dan waktu yang tak sedikit untuk mengais-ngais kliping di beberapa perpustakaan, dan bahkan perlu mengujungi kantor pers yang bersangkutan. Itu pun jika terdokumentasi secara baik, dan perusahaannya tidak kolep atau tutup.

Selain itu, sependek pengamatan saya, belum ada buku yang secara khusus menganggit sejarah dan dinamika pers di Jambi secara lengkap, kecuali dalam bentuk artikel lepas dan reportase periodik. Pun tulisan yang mengupas kisah-kisah para jurnalis dimulai dari masa pers ‘stensilan’ Jambi hingga sekarang. Kalau pun ada masih dalam bentuknya yang parsial. 

Di antara yang sedikit itu, saya bahagia mendapati saudara MH. Abid (Akademisi UIN STS Jambi) menulis tesis di Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP UGM (2016), tentang Pers Lokal Jambi. Meski mengangkat Perkembangan Industri Koran Lokal di Jambi Pasca Orde Baru, khususnya tentang dampak kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta dinamika politik lokal yang menyertai tumbuh pesatnya industri koran lokal di Jambi, juga menyinggung sejarah koran lokal di Jambi.

Kembali ke (pusat) dokumentasi. Tentu tak perlu banyak teori mesti saya kemukakan untuk menunjukkan urgensi (pusat) dokumentasi Pers Jambi bagi penguatan jurnalisme dan urusan-urusan kepublikan lainnya, uatmanya tentang seni-budaya, pendidikan, ekonomi, hukum, olahraga, dan sosial politik dalam perjalananan sejak Provinsi Jambi dibentuk hingga sekarang.

Setidaknya, melalui (pusat) dokumentasi kita dapat menghimpun semua cerita, peristiwa, dan buah pikiran yang pernah dimuat dalam koran-koran. Puncaknya, dokumentasi yang lengkap tersebut di atas mencipta  dan memandu alam pemikiran sesiapa saja menjadi bersifat historis, lintas waktu, dan detail. Ambil misal, bila pusat dokumentasi itu ada, dalam kaitan peristiwa mengenai kontestasi Pileg, Pilkada bahkan Pilpres, dengan dipandu dokumentasi yang utuh dan detail, publik dapat mengenali dengan cermat mana anggota dan pengurus partai, yang bersetia  memproduksi gagasan, tradisi kepemimpinan partisipatoris, kebijakan dan kerja-kerja keberpihakan terhadap kelompok marjinal dan hajat hidup orang banyak, atau bahkan pemimpin dan partai yang hanya melahirkan koruptor, dan hanya menikmati fasilitas jabatan.

Itu sekadar contoh saja. Bisa kita perluas ke dimesi lain, ambil misal, ketegangan antara perusahaan pers (buah hasil liputan) dengan pemerintah daerah, yang berimbas pada pemutusan bentuk-bentuk kerjasama advetorial, dan terjadinya pembatasan kerja-kerja peliputan.

Akhirnya, menimbang pentingnya (pusat) dokumentasi Pers Jambi, tak lain adalah usaha membangun waktu bersama untuk merefleksikan kehadiran pers dalam semesta sejarah Jambi, dan kita (publik) juga terhindar dari lupa.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada tanggal 13 Oktober 2018.

0 Komentar