Ziarah Batanghari: Kata Mereka

Buku Puisi karya Jumardi Putra

Berikut kata para ahli tentang buku puisi Ziarah Batanghari:

“Sajak-sajak Jumardi Putra yang memaparkan jejak sejarah kerajaan Melayu-Sriwijaya  jarang ditulis penyair muda dan bagus”. 

(Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Penyair dan Guru Besar Universitas Paramadina, Jakarta)

:

“Jumardi Putra merupakan salah seorang penyair yang mempunyai kesadaran kuat terhadap lokalitas. Maka dengan sabar dan telaten ia menyusuri jejak-jejak sejarah, serpih-serpih tradisi serta remah-remah kearifan yang masih tersisa dari lingkungan budaya di mana ia hidup dan mengabdi. Ia bukan hanya mencatat namun berusaha memberi makna pada sejarah, tradisi serta kearifan yang sekian lama terlupakan, terkubur, hancur dan hilang, atau bahkan yang dengan sengaja dihancurkan dan dihilangkan demi kepentingan pragmatis manusia modern”. 

(Acep Zamzam Noor, Penyair, menetap di Tasikmalaya, Jawa Barat)

:

“Dalam kumpulan puisi ini penyair muda Jumardi Putra mengejawantahkan bakatnya sebagai penulis yang mampu mengungkapkan hasil renungan terhadap sejarah dalam bentuk keindahan yang langsung memikat perhatian pembaca. Antologi puisi ini terdiri dari sajak-sajak yang menceritakan kekaguman pada tanah lahirnya, terutama atas kejayaannya dulu dan dengan tajam mata dapat disoroti lewat lembar sejarah seperti disebut dalam sajak Di Puncak Bukit Sengalo. 

Namun keterpukauannya pada zaman gemilang Jambi tertahan pula dalam pandangan pada masa kini, sebagaimana tercermin dalam sajak Kampung Ini Tak Menarik Lagi. Pemakaian dan pilihan perbendaharaan kata-kata yang sangat peka serta halus dalam kumpulan puisi ini memberi kenikmatan tersendiri, sehingga pembaca mau berulang membacanya”. 

(C.W. Watson, Emeritus Professor, University of Kent, Inggris)

:

“Sebagaimana disuratkan oleh tajuknya, Ziarah Batanghari, setidak-tidaknya memang ada dua hal utama yang mengemuka dalam himpunan sajak ini. Dipilihnya kata “ziarah” tentu bukan tanpa maksud, sebab nada berkenaan dengan sesuatu yang telah berangkat atau lewat, memang begitu kuat. Demikian pun dengan “Batanghari”, siapa pun mafhum, ini berkenaan dengan sebuah identitas; sebuah jatidiri. 

Namun jauh dari keromantisan atau kenostalgiaan yang menderas lewat larik-larik yang rata-rata menawarkan pukau ini yang didenyarkan, melainkan semacam ketakrelaan dan sekaligus ketakberdayaan atas khazanah yang ternyata tidak menggagah, melainkan malahan merebah. Dari ihwal seperti ini, tentu bukan ratap dan kesedihan yang tak berketentuan yang ditawarkan, tetapi suatu ajakan untuk menggali dan mengail kesadaran, bahwa ada yang tidak beres dan tidak seharusnya telah berlaku selama ini, yang selayaknya segera kita sadari, untuk memulai suatu ancangan dan pemahaman yang bernuansa pewarisan kepada masa depan dan juga kemanusiaan”. 

(Dr. Ibnu Wahyudi, staf pengajar di FIB Universitas Indonesia, Jakarta)

:

“Antologi puisi Ziarah Batanghari ini menunjukkan kepekaan, kepedulian, dan kreativitas penyair dalam mengangkat berbagai seluk beluk kehidupan masyarakat Jambi, yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Kumpulan puisi ini memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia pada umumnya dan kesusastraan Jambi pada khususnya”. 

(Regina Yanti, Ph.D, Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Universitas Atma Jaya, Jakarta)

:

“Jejak sejarah, masa lampau yang jauh, datang berduyun-duyun dalam puisi-puisi Jumardi Putra. Ia, yang lampau itu, seperti sedang terhuyung-huyung membangun peristiwa-peristiwa yang baru, dengan episode-episode ambigu: kadang membiarkan waktu membeku, kadang berhasrat untuk melaju. Maka Jambi, Batanghari, dan Melayu adalah ikon-ikon yang diam (dalam sejarah) sekaligus bergerak (dalam waktu)”. 

(Marhalim Zaini, Penyair, menetap di Riau)

:

“Puisi-puisi Jumardi Putra sebagian besar berbicara perihal tanah kelahiran, kerinduan, kenangan, dan hal-hal yang mengusik kemanusiaan kita. Semua berkelindan dalam balutan cinta dan kegetiran yang samar. Puisi-puisi Jumardi berupaya mengritisi perubahan zaman sejauh alur Batanghari dan kedamaian ranah Jambi, ketika masa silam, tradisi, modernisasi saling beradu berebut perhatian dan pemaknaan dari ziarah ke ziarah yang lain”. 

(Wayan Jengki Sunarta, Penyair, menetap di Denpasar, Bali)

0 Komentar