Oleh: Jumardi Putra*
Lisanul Hal: Kisah-Kisah Teladan dan Kearifan,
demikian judul buku terbaru karya K.H. Husein Muhammad. Tidak kurang dari 65 buku pernah ditulis kiai kelahiran
Cirebon tahun 1953 ini. Karya tulisnya tersebar luas dan menjadi rujukan,
antara lain Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kyai Pesantren (LKiS,
2005), Spiritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Pesantren (LKiS, 2005),
Ijtihad Kiai Husein, Upaya Membangun Keadilan (Rahima, 2011), dan Perempuan,
Islam dan Negara: Pergulatan Identitas dan Entitas (2016).
Membaca karya kiai Husein terbitan Qaf ini mengingat-ingat
kembali pelajaran yang pernah saya dapati di pesantren Tebuireng belasan
tahun yang lalu. Bedanya, jika di pesantren langsung merujuk sumber primer, dan
tentu saja berbahasa arab, maka kehadiran buku karya Kiai Husein ini menjawab
hambatan-hambatan bagi mereka yang memiliki keterbatasan bahasa maupun akses
terhadap karya tangan pertama. Bersamaan hal itu, agaknya Kiai Husein sengaja
menulis dengan gaya sederhana dan tidak pula berpanjang-panjang.
Tidak perlu mengernyitkan dahi untuk mengungkai saripati buku ini, sebagaimana termaktub pada anak judul buku yaitu Kisah-kisah teladan
dan kearifan yang merujuk kitab-kitab klasik. Muatan kisahnya melampaui
sekat-sekat agama dan penanda identitas lainnya. Tidak seluruh kisah berpangkal
pada agama Islam, berideologi dan etnis mainstream, melainkan juga dari
nonmuslim dan berideologi serta etnis minoritas, seperti kisah tentang Hunain
bin Ishaq (Joannitius, 809-873 M), penganut Ibadi, sekte Kristen Nestor dari
Hira, seorang sarjana dan dokter terkenal pada masa Dinasti Abbasiyah. Ia dikenal
sebagai syeikh al-mutarjimiin, penerjemah terbesar karya-karya Yunani ke bahasa
Suriah lalu ke bahasa Arab.
Hunai bin Ishaq juga telah menerjemahkan sejumlah karya filsuf besar seperti Aristototeles, antara lain Hermeneutika, Catagories (Maqulat), Psysic
(Thabi’iyat) dan Magna Moralia (Khulqiyyat). Kemudian ia menerjemahkan karya-karya
Galen (Galenus), Hippocrates, Dioscorides, juga karya Plato berjudul Republica (Al-Siyasah). Selain sosok
Hunain bin Ishaq (873 M), terdapat kisah sosok Georgeus Bakhatisyu (w. 771 M), pendeta
nasrani Nestorian yang juga filusuf dan dokter terkemuka pada masa
kepemimpinan Khalifah al-Makmun, penerus tahta kerajaan Khalifah Harun
ar-Rasyid (hal 51).
Di lembar-lembar awal, pembaca dihidangkan warna-warni
keteladanan pada sosok Nabi Muhammad SAW semasa hidup sebagai sosok pemimpin
yang cerdas, jujur, dapat dipercaya, dan bahkan beberapa peristiwa ketika
Nabi Muhammad SAW dengan kelembutan sikap sekaligus keterbukaan pikiran mampu
meluluhkan hati para pembencinya. Tak ayal, para pembenci tersebut justru
dibuat bertekuk lutut, dan menangis sejadi-jadinya, lantaran telah berlaku
kasar pada sang Nabi. Nabi Muhammad menjadi sosok yang begitu dirindukan,
terlebih ketika dirinya wafat.
Tidak lah berlebihan rasanya, Husein Hakal, dalam
bukunya yang terkenal, “ Hayat Muhammad” (Sejarah Muhammad), menuliskan “
Lihatlah betapa indahnya pengampunan itu ketika ia mampu (mengalahkan).
Alangkah besarnya jiwa ini, jiwa yang telah melampaui segala kebesaran,
melampaui segala dengki dan dendam di hati. Jiwa yang telah menjauhi segala
perasaan duniawi, jiwa yang telah mencapai segala yang di atas kemampuan
insani…” (Nabi Membebaskan dan Memaafkan. Hal: 38).
Mungkin, pembaca segera dihadapkan pertanyaan retoris
berikut ini, “Apa arti kisah-kisah teladan di buku ini bagi kita sekarang, yang
notabene hidup jauh setelah Nabi Muhammad? Romantisme. Bisa jadi, tetapi tentu
saja kehendak melampauinya yang utama.
Kisah-kisah keteladanan Nabi Muhammad dan para sahabat
hingga ulama berdedikasi dalam kebersahajaan (zahid) semasa
hidup nun jauh setelah wafatnya khatamun nabiyyin, Baginda Muhammad, yang
keseluruhannya masih relevan dengan situasi bangsa kita dewasa ini, yang belum
sepenuhnya berhasil keluar dari krisis kebudayaan (untuk menyebut lebih dari
sekadar krisis ekonomi).
Bisa jadi pangkal dari krisis multisisi demikian itu,
seperti ditulis Kiai Husein dalam sekapur sirihnya, merujuk kata-kata bijak
yang dikutip Imam al Ghazali dalam bukunya yang terkenal, Al Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, “Kelakuan rakyat adalah
akibat dari kelakuan para pemimpinnya”, “Kebaikan rakyat adalah karena baiknya
keperibadian pemimpinnya”, dan “Manusia (rakyat) mengikuti kelakuan para
pemimpinnya”.
Agenda reformasi di republik ini telah berjalan lebih dari
20 tahun, institusi penopang demokrasi terus bermunculan dan semakin diperkuat
keberadaannya melalui peraturan perundang-undangan, dan didukung anggaran yang
mengikuti deret ukur pasar, presiden maupun kepala daerah (Gubernur/Bupati/Wali
Kota) terus berganti (kian ke sini bercokol kuat trah dinasti yang
bersengkongkol dengan pemodal-oligark), tetapi persoalan fundamental bangsa ini
masih saja belum beranjak: kemiskinan (struktural) dan pudarnya kohesi sosial
(kultural). Begitu juga tenunan kebangsaaan kita robek serobek-robeknya lantaran
polarisasi politik yang menyertai momen periodik seperti pilkada, apatahlagi
pilpres, yang berbasiskan pada politik identitas yang sempit lagi buruk. Bukan
berpijak pada urusan-urusan fundamental kepublikan.
Dalam pada itu, para pemimpin di negeri ini dari mulai level
paling bawah hingga pucuk tertinggi terlibat korupsi, tidak saja pada aras
legislatif, tetapi juga eksekutif dan yudikatif, ditambah lagi kehidupan
foya-foya keluarga pejabat dan orang-orang kaya kerap kita saksikan di tengah
kemiskinan yang membuldoser tanpa ampun kaum miskin rentan, serta penunggalan
identitas dengan atas nama agama dan budaya (etnis) kian menguat, dan seabrek
paradoks lainnya sebagai negara yang katanya Gemah Ripah Loh Jinawi.
Belum
lagi, pandemi korona yang melanda planet bumi sekarang ini telah memperlihatkan
potret buram kepemimpinan di banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Gelombang
krisis global menunjukkan rupanya yang menakutkan, yang bila tidak disikapi
dengan kebijakan dan kebijasanaan secara global akan berpotensi terjadinya
instabilitas politik dan keamanaan.
Ambil misal, kisah tentang kepemimpinan, di buku ini kita
membaca cerita Amirul Mukminin, seperti Khalifah Umar bin Khattab, sepupunya
Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, “Khalifa Rasyidin Kelima” Umar bin Abdul
Aziz, dan beberapa kisah pemegang tongkat estapet kepemimpinan berikutnya
setelah Nabi Muhammad mangkat.
Pembaca mungkin masih ingat kisah suatu malam Umar bin
Khattab bersama asistennya, Zaid bin Aslam, mendengar suara anak-anak yang menangis
dari sebuah pondok. Di dalamnya Umar menemukan seorang ibu terlihat memasak
sesuatu dikelilingi anak-anak yang menangis karena lapar. Usut punya usut, di
dalam panci yang dimasak sebetulnya adalah air dan batu. Sang ibu berharap
anak-anaknya lelah menunggu masakan matang hingga akhirnya tertidur.
Kondisi pelik ini membuat batin Umar bin Khattab terpukul, dan tanpa tedeng
aling-aling dirinya segera ke Baitul Mal dan mengambil bahan makanan yang
diperlukan ibu dan anak-anak tersebut. Sang Khalifah membawa dan memberikan
sendiri bahan makanan pada keluarga tanpa bantuan Aslam. Tak hanya itu, Umar
membantu sang ibu memasak untuk anak-anaknya. Kisah penuh haru itu lebih lanjut
dapat ditelusuri dalam buku Imam al Ghazali, Al Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk.
Kisah menarik lainnya, yaitu kebulatan tekad khalifah Umar
bin Abdul Aziz, negarawan sekaligus ulama yang dikenal adil itu, membuktikan
keseriusannya membersihkan negaranya dari tradisi korupsi para pejabat. Tak
hanya itu, dimulai dari keluarganya, juga istrinya, Umar bin Abdul Aziz meminta
menjauhkan kebiasaan buruk para istri-istri pejabat sebelumnya yang suka
foya-foya. Tidak mudah, memang, tapi Umar bin Abdul Aziz berhasil mewujudkannya
(Permaisuri Rela Miskin. Hal: 63,). Begitu juga soal ketegasan Umar bin Abdul
Aziz terhadap praktik gratifikasi dan tak pandang bulu memecat para koruptor
selama kepemimpinannya (Khalifah Memecat koruptor. Hal: 57 dan 60).
Lain pula tentang kesetaraan di hadapan hukum, pembaca dapat
mengetahui kisah seorang anak Gubernur Mesir Amr bin Ash yang memukul seorang
petani semasa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab (Hal: 206). Karena mendapat pengaduan dari korban,
Umar bin Khattab tanpa pandang bulu memberi hukuman pada anak sang gubernur
tersebut. Kisah demikian jelas berkebalikan dengan situasi sekarang di republik
ini, dimana ketika anak pejabat berhadapan dengan perkara hukum justeru mendapat
perlakuan istimewa.
Selain tentang kepemimpinan, di buku ini kita mendapati
kisah-kisah arif dari sosok ulama, sufi, dan zahid yang keseluruhan hidupnya
bertitimangsa pada kecintaan pada ilmu pengetahuan, kerendahhatian, tidak
berambisi pada jabatan, dan sekaligus keterbukaan pada pendapat yang beragam,
sebut saja seperti Imam al-Syafi’i (Hal: 95, 194), Imam Abu Hanifah (Hal: 83,
142, 145, 150, 191), Imam Malik bin Anas (Hal: 80, 125,128), Abu al-Walid
al-Baji (Hal: 70 ), Sayyidah Nafsiah (Hal: 95), Jalaluddin Rumi (Hal: 98), Abu
al-Qasim al-Junaid (Hal: 73), Ala Din al-Kasani (Hal: 77), Al-Baqillani (Hal:
75), Muqatil bin Sulaiman (Hal: 135), Qadhi Al-Qudhah Abu Yusuf (Hal: 188),
Al-Nazzham (Hal: 213), Ibnu A’rabi (Hal: 177), Syaikh Shadruddin al-Qunawi
(Hal: 173), Ibnu Rusyd (Jadilah Ahli, bukan pengumpul. Hal: 164), dan Imam
al-Ghazali (Hal:159). Pada nama-nama tersebut, pembaca dapat menimba pengalaman
berharga bahwa kepasrahan (tawakkal) pada Tuhan ditempatkan setelah diawali
sebelumnya dengan usaha sungguh-sungguh.
Sebagai penulis, saya tentu terkesima (dan dibuat malu) pada
kesungguhan ulama di masa lalu, betapa menuntut ilmu adalah kesemestian dan
tentu saja membutuhkan kerelaaan pikiran, hati dan waktu untuk tidak sibuk
mencecap warna-warni dunia semata, seperti sebut saja kisah seperti Al-Thabari
(lahir 224 H. Hal: 180) yang menulis 40 lembar per hari. Juga kita temukan
kisah Ala al-Din al-Kasani (w.587 H) pengarang kitab Bada’I al Shanai’ fi
tartib al-Syarai’, terdiri dari tujuh jilid dan masing-masing 450 halaman yang
dijadikannya sebagai maskawin saat meminang Fatimah, perempuan cantik anak dari
gurunya al-Kasani yakni Syeikh Ahmad al-Samarkand.
Ada juga kisah Ibnu Suhnun
(lahir 201 H di Desa Gadat, Maroko), si 'pemikir kritis dan tajam', bernama
lengkap Abdullah Muhammad, yang asyik menulis hingga lupa makan, dan baru sadar
makanan telah disuapkan oleh pembantunya saat dirinya tengah sibuk menulis
(Hal: 211).
Kisah asketik lainnya bisa kita temukan pada sosok Abu
Hanifah yang menolak tawaran menjadi ketua pengadilan semasa kepemimpinan
khalifah Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al-Manshur (masa Daulah Abbasiyah).
Akibat menolak tawaran tersebut, Abu Hanifah rela dijebloskan ke penjara (Hal:
1420). Kemudian, hal menarik dari Abu Hanifah, selain kritis pada penguasa di
masanya, juga dikenal luas karena keterbukaan pikiran terhadap perbedaan
pendapat. Ia digambarkan selalu jujur menyampaikan pandangannya dan jauh dari
klaim merasa paling benar, seperti diakuinya sendiri, “Apa yang aku sampaikan
ini hanyalah pendapat. Ini yang dapat aku usahakan semampuku. Jika ada pendapat
yang lebih baik dari ini ia lebih patut diambil”. Padahal, ketiga imam lainnya,
seperti Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam al-Syafi’I menjadi
saksi yaitu tiada meragukan kecerdasan dan rendah hati seorangAbu Hanifah
(Hal: 150).
Pandangan sekaligus sikap menghargai pendapat di antara para
ulama di atas menjadi semacam oase di tengah praktik berkehidupan kita dewasa
ini, yang kerapkali angkuh dan merasa pendapat sendiri sebagai pilihan/rujukan
yang paling benar di antara alteratif-alternatif pandangan lainnya. Di titik
ini, kita telah berlaku mundur dari apa yang ditauladani para ulama-ulama
terdahulu. Mari kita berkaca pasat-pasat!
Bertalian dengan kisah-kisah para ulama pecinta ilmu di
atas, buku ini juga memuat kisah singkat pembentukan Baitul Hikmah pada masa
Dinasti Abbasiyah yang mampu menjadi magnet pengetahuan dan peradaban dunia.
Baghdad di bawah kepemimpinan Harun al-Rasyid kala itu menjadi pusat peradaban
dunia berkat maju dan berkembangnya Baitul Hikmah, yang dalam perjalanannya
mampu mencetak generasi emas di bidang agama hingga sains, sebut saja
al-Battani, al-Kindi, al-Ghazali, al-Khawarizmi, hingga al-Farabi.
Berawal sebagai perpustakaan pribadi milik Khalifah Harun
al-Rasyid, dan berubah fungsi di masa kepemimpinan anaknya, yaitu khalifah
al-Ma’mun, Baitul Hikmah dikembangkan menjadi lembaga pendidikan formal dan
juga pusat laboratorium. Selanjutnya, al-Ma’mun mengumpulkan seluruh ahli ilmu
pengetahuan dari berbagai bidang dan meneguhkan konsistensinya untuk menjadikan
Baitul Hikmah sebagai lembaga pengetahuan yang profesional. Di titik ini,
Baitul Hikmah menjadi tempat pertemuan para intelektual yang membuat kita
berdecak kagum bagi generasi semasa dan setelahnya. Dari sini dihasilkan para
ilmuwan muslim yang hasil karyanya memberi pengaruh besar pada perkembangan
ilmu pengetahuan di Barat.
Dalam buku History of the Arab karya Phillip Khuri Hitti
disebutkan, selain serius menerjemahkan karya-karya bermutu dari bahasa Yunani
ke dalam bahasa Arab, juga muncul karya-karya mumpuni, seperti kitab al-Qanun
tentang kedokteran karya Ibnu Sina, al-Kawakib al-Tsabitah tentang astronomi
karya Abdul Rahman al-Shufi hingga kitab Surah al-Ardh tentang geografi karya
al-Khawarizmi.
Capaian-capaian gemilang tersebut lahir dari rahim Baitul
Hikmah. Namun kejayaan Baitul Hikmah hanya bertahan hingga lima abad. Terhitung
pada 1257, Baitul Hikmah porak-poranda bersama kota Baghdad imbas dari serbuan
bangsa Mongol dalam pimpinan Hulagu Khan. Lebih lanjut kisah tentang Baitul
Hikmah juga ditulis dengan apik oleh Jonathan Lyons, The Great Bait Al-Hikmah (2013), yang edisi terjemahannya
diterbitkan oleh Noura Books dengan judul The
Great bait Al-Hikmah: Kontribusi Islam dalam Peradaban Barat (2016).
Demikianlah kisah-kisah teladan dan kearifan yang ditulis ulang oleh Kiai Husein Muhammad, yang secara tidak langsung ingin mengatakan
persoalan-persoalan mendasar dalam penyelenggaraan republik ini dikarenakan
tiadanya keteladanan dari para pemimpin. Sekali lagi, buku ini mengajak kita
kembali menengok masa silam dengan pikiran terbuka tentang suatu masa di mana
sebuah kerajaan/negara dipimpin oleh individu-individu yang melayani rakyatnya,
seperti bunyi pepatah Arab, Imam al-Qawm Khadimuhun (Pemimpin masyarakat adalah
pelayan mereka); suatu masa di mana Nabi Muhammad dan para sahabat memberi
contoh terbaik bagi umat manusia, tanpa memandang agama dan latar belakang
budaya; suatu masa di mana muncul ulama-ulama berdedikasi pada ilmu pengetahuan
sekaligus berlaku terbuka pada beragam pandangan tanpa merasa paling benar, dan
yang tak kalah penting adalah menjadi teladan jauh lebih baik dari sekadar
berbusa-busa mengucapkannya, sebagaimana maksud di balik judul buku yang
dipilih oleh Kiai Husein, Lisanul Hal, penggalan dari kalimat utuh pepatah Arab: “Lisanul hal afshahu min lisanil maqal” (keteladanan lebih memberi arti dan
mempengaruhi dari ucapan).
*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik Pustaka portal kajanglako.com pada 12 Juli 2020.
0 Komentar