Belajar dari Kegagalan J.K. Rowling

J.K. Rowling

Oleh: Jumardi Putra*

Dibilang terlambat membaca buku yang akan saya jabarkan dalam catatan ini tidak sepenuhnya keliru. Namun menilai isinya tak lagi relevan dengan situasi sekarang tunggu dulu. Tak perlu terburu-buru membuat kesimpulan. Demikian pandangan saya saat pertama kali membaca buku terjemahan pidato Joanne Kathleen Rowling atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling terbitan Gramedia tahun 2018, yang judul aslinya, Very Good Lives: The Fringe Benefits of Failure and the Importance of Imagination

Pidato itu disampaikan olehnya 12 tahun yang lalu pada Pertemuan Tahunan Asosiasi Alumni Harvard (upacara wisuda) bertemakan “University of Magic.” Namun isi ceramah J.K.Rowling di kampus top dunia itu sama sekali bukan berkisah tentang dunia sihir sebagaimana muatan novel maupun film laris serial Harry Potter yang melambungkan namanya di jagad kepenulisan fiksi dunia.

Sepintas judul buku yang diambil dari pidato perempuan kelahiran Yate, Britania Raya, Inggris, 31 Juli 1965 ini laiknya buku-buku praktis bermuatan panduan atau tips-tips meraih kesuksesan. Kategori buku bersifat ‘how to’ yang sampai sekarang belum saya minati. Alasannya sederhana, buku-buku panduan praktis yang siap diikuti secara instan itu membuat pembaca kehilangan kesempatan menyelami gagasan di balik kompleksitas kehidupan dalam beragam peristiwa. Tapi karena nama besar J.K. Rowling, saya berharap ada sesuatu yang menarik dari pidato penerima puluhan penghargaan internasional tersebut.

Terang saja, usai mengkhatamkan teks pidato J.K. Rowling ini saya menemukan semacam oase (kalau bukan pencerahan). Kalimat-kalimatnya yang menggugah, mengalir lancar seoalah kita sedang membaca cerita, menyembulkan letupan-letupan kritik-reflektif, dan pada beberapa bagian kental akan nuansa humor tidak semata menunjukkan kepiawaian J.K. Rowling sebagai penulis, melainkan juga kemampuannya memaknai sekaligus berhasil bangkit dari kegagalan baik sebagai perempuan, seorang ibu tunggal, juga pekerja. 

Tidak kalah penting, ambisi dirinya sejak awal memulai kuliah dengan mengambil jurusan sastra klasik-setelah sebelumnya berganti jurusan seperti Sastra Inggris, Bahasa Modern, Bahasa Jerman, yang kesemuanya tidak mendapatkan persetujuan dari orang terdekatnya baik sebelum maupun setelah berhasil menamatkan pendidikan strata satu, 21 tahun yang lalu, terhitung dari dirinya diminta menyampaikan sambutan pada tahun 2008 dalam usia 42 tahun. 

Keadaan demikian terekam jelas dalam teks pidatonya, seperti percikan kalimat berikut ini “Setengah perjalanan hidup saya dulu, saya risau memikirkan keseimbangan antara mengejar ambisi dan memenuhi harapan orang-orang terhadap diri saya.” (Veri Good Live/Hidup yang Sangat Baik. Hal, 13).

Meski tidak ditulis detail, J.K. Rowling tanpa ragu mengisahkan pengalaman pelik dirinya dalam kurun 21 tahun (hanya tujuh tahun setelah hari kelulusan, dirinya menemui kegagalan bertubi-tubi. Pernikahannya hanya berumur singkat, menjadi pengangguran, melakoni sebagai orang tua tunggal, dan menjadi orang miskin untuk ukuran di negara Inggris yang modern, tanpa menjadi tunawisma. Begitu juga ketakutan orang tua atas dirinya dan ketakutan J.K. Rowling sendiri. Keduanya terjadi, jauh sebelum dirinya sekarang dikenal sebagai penulis buku sekaligus berhasil meraup kesuksesan komersial di dunia berkat film yang diangkat dari novel miliknya.

Fakta lainnya, diakui J.K. Rowling, satu-satunya hal yang ingin ia lakukan, selalu, adalah menulis novel. Namun orang tuanya, yang keduanya berasal dari keluarga kurang mampu dan tak satu pun mengenyam bangku kuliah, berpandangan bahwa imajinasi yang terlalu aktif dirinya adalah permainan kata-kata pribadi yang lucu yang tidak akan pernah bisa untuk membayar cicilan rumah, atau mengamankan pensiun.

Dalam pidatonya, terutama pada bagian awal, J.K. Rowling tidak berniat sengaja mempengaruhi wisudawan-wisudawati untuk meninggalkan karir-karir yang menjanjikan dalam bisnis, hukum atau politik demi kenyamanan. Bukan itu yang dimaksudnya, tapi memaknai ulang profesi yang digeluti secara sungguh-sungguh. 

Karenanya, di saat perayaan keberhasilan akademik mahasiswa lulusan Harvard itu, J.K. Rowling menyampaikan tentang manfaat kegagalan agar mereka mampu melewati masa-masa sulit atas jerih payah mereka sendiri. Andai pun ada seseorang mulus-mulus saja dalam hidupnya, sungguh kata J.K. Rowling, itu adalah kehidupan yang jauh dari menarik. “Tidak mungkin hidup tanpa gagal sama sekali, kecuali kita hidup dengan sangat hati-hati yang bisa berarti kita tidak hidup sama sekali. Dengan kata lain, kita gagal by default,” tegasnya.

Selain memaknai keberhasilan dan kegagalan, pada saat wisudawan-wisudawati berdiri di ambang “kehidupan nyata”, J.K. Rowling juga mengemukakan betapa pentingnya imajinasi. Karena bagian inilah yang memberikan kontribusi besar dalam membangun kembali hidup dirinya setelah sempat terpuruk dalam waktu yang relatif lama. Makna “imajinasi” yang ia sampaikan tidak klise sebatas imajinasi fiksi sebagaimana lumrah kita baca melalui karya sastra berupa novel atau cerita pendek. 

J.K. Rowling memaknai “imajinasi” sebagai empati dan bagaimana hal ini sangat penting di tengah kehidupan manusia yang tidak mudah dalam abad “run-away” sekarang. Karenanya, J.K. Rowling menekankan perlunya keberpihakan (empati) terhadap mereka yang tak punya kesempatan, tak mampu bersuara dan butuh bantuan dari mereka yang berhasil menikmati jenjang pendidikan tinggi (apalagi lulus dari kampus Harvard). Pada titik ini, J.K. Rowling mengisahkan riwayat pekerjannya di awal umur 20-an di departemen penelitian Afrika di markas besar Amnesty International di London. 

Banyak dari rekan kerja J.K. Rowing adalah ex-tahanan politik, orang-orang yang telah mengungsi dari rumah mereka, atau melarikan diri ke pengasingan, karena mereka memiliki keberanian untuk berbicara menentang pemerintah mereka. Semasa bekerja di Amnesty inilah J.K. Rowling belajar banyak tentang kebaikan manusia. Diakuinya kekuatan empati manusia yang mengarah pada tindakan bersama berhasil menyelamatkan banyak jiwa dan membebaskan banyak tawanan. Agaknya, keterlebitan yang demikian itu tak lain dari cara J.K. Rowling mengingatkan para lulusan kampus untuk tidak menjadi kelompok yang berada di “menara gading”, atau dalam istilah Romo Mangun Wijaya “berumah di atas angin”. Terlepas dari realitas sosial di sekitar.

Memungkasi ceramahnya, J.K. Rowling mengutip kata-kata dari Seneca (filsuf yunani yang tinggal di kerajaan romawi sebagai penasehat kaisar), salah satu dari orang-orang Roma tua yang ia temukan ketika dirinya lari menyusuri koridor Classics, mundur dari tangga karir, mencari kebijaksanaan kuno "Seperti suatu dongeng, begitulah hidup: bukan tentang berapa lamanya, tapi seberapa baik hidup ini, inilah yang penting". Petuah bijak ini sebenarnya familiar di tengah kaum muslim, merujuk sabda Nabi Muhammad SAW, yakni “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”.

*Tulisan ini pertama kali terbit di portal kajanglako.com

0 Komentar