Dari Hari Ke Hari: Fragmen VI


Ilustrasi/thecrimson.com/arsip

Oleh: Jumardi Putra*

Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.

Berikut ini percikan permenungan sedari Juli sampai September 2021, meneruskan edisi sebelumnya (Dari Hari Ke Hari: Fragmen I, II, III, dan IV) yang saya tulis secara singkat sebagai status di aplikasi perpesanan Whatsapp. Mungkin saja ada gunanya.


***

Peristiwa pelayan kebersihan mengelap kaca gedung kantor kerap saya jumpai hari-hari di tempat saya bekerja. Bercengkrama dengan mereka, meski tidaklah intens, menyeruapkan sebuah pesan yaitu dalam hidup kita akan berjumpa banyak orang, dan ingatan kita tentang mereka akan tertuju pada orang-orang tertentu yang menyimpan kesan penting bagi kita.

Biasanya kesan kita tentang orang-orang itu, penting atau tidak penting, sebagian ditentukan oleh pilihan-pilihan ketertarikan kita. Bisa jadi ini kurang tepat (tidak adil) karena tidak sedikit orang yang sesungguhnya ikut berperan dalam hidup dan profesi yang kita jalani, misalnya kerja-kerja para pelayan kebersihan itu tadi, yang bersetia menjalani tugas saban hari, tapi nyatanya jarang kita ingat atau terlupakan, tertutup oleh tabir kesan kita pada orang-orang lain yang mungkin dilekati jabatan maupun status sosial tinggi.

Terima kasih Mbak/Mas sudah bekerja dengan hati. Kalian membantu menyiapkan segala sesuatu, bahkan kalian mesti berangkat pagi hari benar dan pulang belakangan daripada yang lainnya. Semoga semua sehat dan dimudahkan dalam segala urusan. Amin

- 29 September 2021.


Nyatanya statistik sangat berguna bagi sesiapa saja dalam menentukan pilihan. Statistik berhasil membentangkan persoalan yang kompleks ke dalam angka-angka yang mudah dicerna. Sulit menyangkal bahwa dimulai dari urusan belanja dapur sampai belanja negara berkait erat dengan angka-angka statistik sebagai sebuah tolak ukur (kalau bukan pertimbangan). 

Tersebab dinilai berguna, statistik justru mudah dipakai untuk memanipulasi/ berbohong. Sebagaimana angka-angka, ia tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan kedalaman sebuah perkara/peristiwa, kecuali sebagai salah satu cara yang memudahkan.

Nah, buku berjudul Berbohong dengan Statistik (terjemahan dari buku asli How to Lie With Statistics karya Darrel Huff) ini mencatat usaha-usaha bagaimana statistik "dimutilasi" sesuai kepentingan, dan karenanya data yang publik baca adalah tidak lain produk sebuah kebohongan.

Buku statistik ini ditulis bukan dari penulis yang mengenyam pendidikan formal, dan uniknya justru paling banyak dibaca sepanjang sejarah. Meski berangka tahun lama terbitnya, tetap memiliki relevansi dengan situasi sekarang, lebih-lebih membersamai perayaan Hari Statistik Nasional tahun 2021 ini.

- 26 September 2021

 

Buku berjudul Aku Bermimpi Menjadi Peng-Peng di Republik Banana ini ditulis tanpa tedeng aling-aling. Sarkas dan kritis. Begitu juga strategi literernya. Bahasan berat (galibnya teori maupun istilah ekonomi) berhasil diformulasikan ke dalam gaya bertutur dan karenanya dialogis. Keahlian Kwik Kian Gie sebagai ekonom yang secara terang benderang membuat garis demarkasi dengan mereka ahli ekonomi neolib (Mafia Barkeley) jelas tergambar dalam buku ini.

Bagaimana oligarki bekerja? Bagaimana pengusaha bisa sukses justru dengan memanfaatkan uang negara? Bagaimana pengusaha menjadi penguasa? Bagaimana pula kongkalingkong antar pengusaha, elit politik dan penguasa merampok APBN dengan atas nama rakyat? Bagaimana pasal-pasal hukum diperjualbelikan? Puncaknya dalam tulisan ini kita diperlihatkan bagaimana ekonomi dalam prakteknya adalah semata mencari laba sebanyak-banyaknya.

Etika dan keluhuran niat dengan dan atas nama mewujudkan kesejahteraan bersama adalah utopia. Republik Banana tidak lain adalah tamsilan dari bangsa yang kaya raya, tetapi tidak diurus untuk menyejahterakan rakyatnya. 

- 25 September 2021


Hari Tani Nasional tahun ini kita maknai sebagai apa? Memang sektor pertanian tidak mengalami kontraksi dalam masa pandemi covid19 sejak kasus pertama kali pasien terpapar corona diketahui di negeri ini sampai sekarang.  Kita patut bersyukur karenanya. Namun demikian tidak serta merta menjadikannya kebal dari persoalan akut yakni krisis (kedaulatan) pangan. 

Faktanya, alih fungsi lahan sawah ke perkebunan secara besar-besaran, kerentanan ekosistem sawah, ketidaktangguhan produksi pangan, gempuran hama, dan kerancuan berpikir para pengambil kebijakan sampai ke para petani jelas ledakan masalah yang bisa tiba-tiba terjadi dan memberi efek buruk terhadap seluruh rantai pergerakan ekonomi tanah air.

Kembali ke sawah tentu tidak lagi dalam makna harfiahnya, melainkan kembali ke lumbung kedaulatan sebagai negeri yang dititipkan sumber daya alam yang melimpah oleh Tuhan. Dan Tugas kita adalah merawat dan mengolahnya untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat semesta.

- 24 September 2021


Jauh sebelum pagebluk corona melanda republik ini, cafe Che Guevara (terpampang besar di dalamnya) kerap saya kunjungi. Tempatnya tidak begitu luas, seperti umumnya ruko di pinggiran jalan di kota Jambi. Selain kerap jadi tempat diskusi juga nyaman untuk menulis. Itu saja. Tetapi entah kenapa cafe ini tutup tiba-tiba. Saya hanya bisa menyaksikannya sekarang berganti fungsi sebagai toko yang menjual peralatan penerangan (listrik).

Jauh setelahnya, kini cafe hadir di Kota Jambi bak cendawan di musim hujan. Cafe baru hadir bersamaan dengan cafe-cafe lainnya yang gulung tikar. Dalam masa pagebluk corona ketersediaan modal tentu saja penting untuk bisa bertahan dan kembali bangkit. 

Cafe sebagai fenomena urban dan sekaligus menandai eksistensi ekonomi baru di kota Jambi, apakah sebangun dan segaris dengan bangkitnya kesadaran transpormatif generasi muda dengan tanpa tercerabut dari akar historis kosmopolit? Mari kita lihat perjalanan ke depan.

- 23 September 2021


PPKM sebagai kondisi faktual, berita, perspektif dan atau apapun keadaan yang merepresentasikannya dalam bentuk yang tidak tunggal niscaya memberi pesan bermacam-macam pula bagi si penerimanya.

Nah, jenis penerima pesan yang bagaimana berhasil mengarungi medan yang disekat oleh waktu ini dan sekaligus berkemampuan menemukan sudut-sudut yang tepat untuk mengartikannya, tidak terkecuali masuk jauh lebih dalam ke ranah-ranah imajis-metaforis.

- 20 September 2021


Hari ini, 17 tahun yang lalu, pejuang hak asasi manusia, Bung Munir, meregang nyawa. Sampai sekarang kepergiannya masih diselimuti misteri. Tim Pencari Fakta yang dibentuk sedari rezim SBY sampai Jokowi belum berhasil menemukan otak di balik pembunuhan Munir. 

Komnas HAM Inonesia secara bulat menetapkan 7 September 2021 sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM Indonesia. Penetapan itu tidak dimaksudkan sebagai pengkultusan sosok Munir melainkan elan perjuangan sesiapa saja yang bertungkus lumus membela HAM di tanah air. Mari merayakan penetapan tersebut dengan membaca dan menemukan kembali relevansi pikiran-pikiran Munir dengan problem mendasar di republik Indonesia.

- 7 September 2021


Buku berjudul "Jambi Yang Menanti Jamahan" ini ditulis oleh Gubernur Jambi, Djamaluddin Tambunan pada tahun 1979. Buku ini berisikan perjalanan daerah Jambi yang dipimpinnya di sektor ekonomi, sosial budaya, agama, pembangunan wilayah, politik, pemerintahan dan ketertiban Umum. 

Tergolong kaya data tetapi minim analisis. Terasa garing. Sekalipun begitu buku ini boleh disebut tradisi baru bagi seorang kepala daerah, dan tentu saja penting bagi peneliti melakukan pendalaman. 

Saya pikir tahun 1974-1979 itu, salah satu penanda penting rezim pembangunisme Orde Baru, yaitu ketika lingkungan/sumber daya alam ditarik masuk lebih jauh ke dalam agenda ekonomi politik global. Penanaman modal dan kehadiran Bank Dunia, misalnya pada program PELITA di daerah-daerah di tanah air. 

Di sinilah makna "Jamahan" menemukan potret buramnya, di luar keberhasilan-keberhasilan yang dieufemismekan, sebut saja atas nama mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan mengejar ketertinggalan.

- 5 September 2021

 

Jalan-jalan ke banyak tempat boleh dibilang kerja pencatatan dalam bentuk yang paling longgar. Tidak perlu ditopangi biaya SPPD dan karenanya tidak ada kewajiban untuk melaporkannya kepada lembaga negara. Pun tidak disekati oleh waktu yang serba tergesa. 

Ia dibuat santai sembari mencecap warna-warni wicarana di sepanjang jalan, dan karenanya asyik untuk ditulis kemudian. Jalan-jalan sembari menyambung tali silaturrahmi kali ini tertuju ke Kumpeh Ulu, daerah tua selusur dengan pasak bumi tapak-tapak kesultanan Melayu Jambi.

Kawasan ini familiar disebut sebagai lumbung bebuahan duku. Bertanya pada warga dan sebisa mungkin menyusuri bukti fisik peninggalan sejarah yang ada di desa-desa. Tidak perlu harus tuntas dalam sekali kesempatan, melainkan bisa disusur kembali di lain waktu. Semoga.

- 16 Agustus 2021

 

Sejak melimpah ruah beragam emoji maupun stiker di aplikasi perpesanan pribadi maupun media sosial sekarang ini, agaknya orang-orang mulai kehilangan kemampuan menulis dan sekaligus membaca buku-buku (apalagi berhalaman tebal).

Betapa tidak, terhadap informasi/ gagasan yang datang, acapkali direspon cukup dengan mengirim balik emoji atau stiker yang dinilai senafas dengan substansi informasi. Tidak ada lagi ruang diskusi yang dapat memantik imajinasi dan pemikiran secara berkelanjutan.

Tentu kita tidak sepenuhnya melihat kehadiran emoji sebagai hantu yang menakutkan dan karenanya dirasa niscaya untuk dihindari. Sama sekali bukan.  Pointnya adalah membaca dan menulis merupakan tradisi penting untuk menjaga nalar di tengah surplus informasi sekarang. 

Saya pikir emoji maupun stiker, itu tidak lebih untuk sekadar mengendurkan urat saraf dalam menjalani kehidupan yang serba tunggang langgang. Dengan demikian, kerja penalaran tetap penting dan urusan emoji sebatas untuk keperluan candaan maupun hiburan. Itu saja.

- 13 Agustus 2021

Tadi malam, 10 Agustus 2021, saya mendapat kabar duka bahwa Raden Abdurrahman Bin Raden Jakfar Bin Raden Inu Kertopati Bin Thaha Saifuddin wafat dalam usia 71 tahun. Beliau ini ramah dan selalu tampil energik. Lebih-lebih bila menyoal adat dan Kesultanan Melayu Jambi. Banyak forum dan kegiatan kesultanan di Nusantara ia ikuti. Tidak sedikit pula sertifikat (dalam dan luar negeri) menegaskan keberadaannya sebagai representasi dari terusan Kesultanan Jambi. Ia makin dikenal luas pasca pentabalannya sebagai Sultan Jambi, penerus estafet kesultanan Melayu Jambi (pelestarian) pada 18 Maret 2012.

Saya pernah mengundang beliau untuk hadir dalam dialog Beranda Budaya TVRI Jambi pada 26 Maret 2017. Dialog ini ketika itu tergolong mendapat sorotan dan bahkan dari intern keluarga besar Sultan Thaha sendiri. Polemik penunjukannya sebagai Sultan Jambi tidak sepenuhnya luruh, tapi ia tetap kekeh, selain karena hasil mahkamah Syariah, dan karenanya ia terus mengenalkan Kesultanan Melayu Jambi ke seantero negeri.

Selamat jalan, pak. Semoga husnul khatimah. Amin

- 10 Agustus 2021

 

Pagebluk corona memaksa pemerintah pusat dan daerah melakukan berkali-kali refocusing (kerap diplesetin recopusing). Meski hampir dua tahun berjalan ini, pemerintah masih terlihat gagap dalam pengelolaan keuangan untuk dan atas nama percepatan penanganan Covid-19 sehingga alokasi belanja prioritas di luarnya ikut dibuat rumit dalam perencanaan dan penganggaran.

Kebayang bila tanpa evaluasi dan pengawasan terhadap output dari pelaksanaan program dan kegiatan yang mengatasnamakan demi dan atas nama percepatan penanganan kesehatan dan penyediaan jaring pengaman sosial. 

Sulit disangkal bahwa Covid-19 telah membuka tabir gelap kerja birokrasi konsisten dalam inkosistensinya.

- 8 Agustus 2021


Ini buku bukan karya fiksi. Buku berjudul Seandainya Aku Bisa Menanam Angin ini memuat kisah Fawaz, sang penulis, ketika terlibat mendampingi pendidikan di komunitas Orang Rimba di Hutan Bukit 12 Jambi; Mamugu Batas Batu, Papua; Sumbercandik, Jember; dan Desa Karawana di Sulawesi Tengah.

Kisah partisipatif di buku ini menyentuh emosi dan secara tidak langsung mengajak berpikir ulang tentang sistem pendidikan yang berpijak pada diferensiasi anak-anak sesuai tempat mereka bertumbuh.

Tentu saja dunia anak-anak di buku ini tidak akan sama dengan dunia anak-anak di perkotaan. Begitu juga pendidikan yang mereka lalui juga tidak dalam pengertian umum yang kita kenal seperti sekolah dengan dukungan fasilitas mutakhir.

Pendidikan mereka adalah realitas sehari-hari dan tidak disekati oleh dinding sekolah dan birokrasi. Dunia mereka dunia imajinasi. Melampaui bentangan luasnya hutan. Tak bertepi. Mereka menanam angin lalu memanennya dan kemudian menggunakannya untuk terbang. Melanglang jauh. Dunia yang sudah mulai ditinggali mereka yang mengaku dewasa sekarang ini dengan dilabeli demi dan atas nama menjemput kemajuan.

- 9 Agustus 2021


Paroh malam mendapat kabar duka dari kampung halaman bahwa pak Ngah kami, Bustari, dari pihak Ibu, menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya setelah berjuang melawan sakitnya di RS Hanafie Bungo.

Kepergian beliau jelas kehilangan buat saya. Seiring beranjak dewasa dan kesibukan bekerja serta dipisahkan oleh jarak membuat kami jarang berjumpa. Hanya sesekali bersua bila saya pulang kampung dan atau dia menyaksikan saat saya mengisi dialog di tivi lokal Jambi, lebih-lebih ketika saya masih aktif jadi host dalam sebuah acara di TVRI Jambi.

Tapak-tapak dari perjalanan hidup saya berhubungan dengannya, terutama saat sekolah menengah pertama lalu meneruskan pendidikan ke pulau Jawa. Rumah (plus warung miliknya) dan keluarganya adalah tempat saya kerap singgah dan menempa asa.

Dari rumahnya saya kerap berangkat ke pulau Jawa menggunakan bus-bus legendaris antar provinsi. Tersimpan banyak kenangan. Beliau seorang guru. Sebaga manusia biasa tentu beliau tidak luput dari salah. Semoga beliau diampuni dari segala dosa dan husnul khotimah. Selamat jalan, pak Ngah.

- 7 Agustus 2021

 

HMT Oppusunggu dan Widjojo Nitisastro merupakan murid sekaligus asisten begawan ekonom Soemitro Dojohadikoesoemo sebagai pendiri FE UI. Kelak dua ekonom muda itu memiliki perbedaan paham ekonomi yang bertolak belakang. Widjojo Nitisastro menjadi arsitek ekonomi orde baru, yang dalam perjalanannya dari tahun 1967 sampai sekarang telah menancapkan kebijakan pasar bebas dalam kerangkeng liberalisme primitif yang ganas dan buas.

Semangat mencari laba sebesar-besarnya dan memberi keleluasaan bagi pengusaha/investor dalam melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam di Indonesia. Sementara peran negara makin diperkecil dan segelintir elit serta kelompok kecil orang kaya dimanjakan oleh pemodal.

Kita pernah mengenal istilah "Mafia Barkeley" secara estafet mengarsiteki ekonomi nasional di bawah bendera "pembangunisme" ORBA yang telah menyengsarakan rakyat dalam jangka panjang dengan kualitas sumber daya alam yang terus merosot.

Nah, sosok dan pemikiran HMT Opposunggu adalah kebalikan dari paham ekonomi tersebut. Tulisan-tulisannya tanpa tedeng aling-aling. Pedas!

- 1 Agustus 2021


Sekarang ini orang-orang berjibaku dikejar waktu. Waktu adalah uang, begitu slogannya. Tak heran kalimat "Speed is part of my life" seolah tidak bisa sama sekali untuk dipikir-renung kembali. Faktanya tidak demikian indahnya. Hari ini orang-orang tidak bisa lagi menjalani hidup secara wajar dan biasa-biasa saja. Pragmatisme meraja. Kulit lalu jadi lebih penting ketimbang isi.

Sepertinya kita perlu menempatkan "gerak cepat" dalam proporsinya yang tepat. Tidak semua gerak lambat itu adalah lamban. Lambat tidak selalu bermakna negatif. Dalam makna alternatif, lambat justru memberi ruang bagi detail dan proses. Dalam pada itulah kenikmatan didapatkan.

Mari berlambat ria sembari sekali-kali menertawakan efektifitas dan efisiensi yang tidak sepenuhnya menjawab kompleksitas hidup yang serba tunggang langgang saat ini.

- 26 Juli 2021


Apa makna tugu keris sekarang ini? Sebagai penanda arah dan pemenuhan hasrat turistik belaka? Sebagai titik orientasi dan strategi kebudayaan dalam pencanangan glokalisasi? Masihkah ia dimaknai persis sebagaimana awal mula didirikan? Tidakkah pengatasnamaan "kearifan" lokal dalam target pembangunan acapkali sebagai legitimasi (pemakluman) ketimbang muncul sebagai otokritik dan reorientasi?

Saat tugu keris menjadi pilihan, dan secara otomatis menggantikan tugu "Monas" sebelumnya, apakah mentalitas sentralistik orde baru ikut punah dan berganti pada kerja-kerja emansipatoris, partisipatoris, dan transparan? Saya pernah mencatat polemik di sekitar pembangunan tugu keris ini beberapa tahun lalu.

- 24 Juli 2021


Usai purnatugas sebagai Gubernur Jambi praktis pak Fachrori jarang muncul di publik. Bisa jadi beliau sedang mengisi waktu bersama keluarga dan cucunya. Maklum, semasa sebagai Gubernur jelas beliau sibuk. Terpikir oleh saya untuk berkirim surat kepada beliau, selain tentu saja menyisipkan pantun di dalamnya. Boleh dikata sedari beliau mendampingi periode pertama kepemimpinan Gubernur HBA hingga membersamai Zumi Zola dan puncaknya menjadi orang nomor satu di Provinsi Jambi-meneruskan sisa kepemimpinan anak dari Pak Zulkifli Nurdin itu-,saya bersinggungan dan terlibat dalam pembahasan jalannya program dan kegiatan baik Jambi EMAS maupun Jambi TUNTAS.

Rasanya cukup itu menjadi modal untuk menganalisa sekaligus merefleksikan sosok dan pemikiran beliau. Agaknya, setelah mencermati pantun-pantun yang kerap dibacanya, meski disampaikan dengan santai, menyiratkan pesan mendalam.

- 20 Juli 2021


Di ambang magrib datang lelaki muda ke rumah, setelah sebelumnya beberapa kali janjian gagal. Ia ingin meminjam buku. “Oke. Buku apa?” Tanyaku. Jawabanya, “Buku yang bikin kita bersikap kritis, Bang”. “O gitu, ke rumahlah,” jawabku.

Saat ia asyik mencari dan menentukan buku pilihannya, saya tanya lagi, kenapa kau masih memilih membaca buku yang berat-berat itu? la menjawab bisa membuat hidupnya cerah di masa mendatang. Mendengar itu terang saja saya tergugah, meski saya katakan kepadanya justru dengan banyak membaca buku hidupmu akan lebih rumit.

“Kenapa Bang,” tanyanya seolah tak percaya. “Iya, hidup bersetia dengan buku memintamu untuk menjadi "gila",” kataku sambil tersenyum. “Gila apa, Bang,” sergahnya. “Gila yang bertanggungjawab, di luar yang dikenal jamak orang tentang gangguan kejiwaan,” balasku. “Gak paham aku Bang, rumit,” kilahnya.

"Nah, itu dia tadi. Mencintai buku itu siap untuk hidup rumit. karena mesti beli, baca, mendiskusikan, menulis, dan merawatnya," imbuhku dibalas anggukan olehnya.

- 8 Juli 2021


Membaca buku berjudul Indonesia Not For Sale dalam amatan saya menjadikan ekonomi bukan ilmu yang hanya dimengerti oleh mereka yang berumah di atas awan, lengkap dengan istilah-istilah rumit yang jumpalitan. Dandhy Dwi Laksono dengan segudang pengalaman jurnalistik dan terlibat dalam banyak investigasi, membawa diskursus ekonomi, baik sebagai teori maupun praktek ke warung-warung atau lapak baca yang bisa dimengerti oleh awam sekalipun, tanpa harus kehilangan substansi dan kritisisme, utamanya tentang kebijakan neoliberalisme yang mengkerangkeng republik ini.

Ia membentangkan isu-isu besar seputar neoliberalisme seperti penanaman modal, pajak, utang, skema bantuan subsidi, komersialisasi media, dan sekaligus otokritik terhadap sikap latah tentang neoliberalisme itu sendiri.

Buku ini ditulis bertutur, penuh dialog dengan warga biasa, dan karenanya bisa dibaca dalam kondisi apa saja. Tidak seperti diktat ekonomi yang dipelajari di ruang-ruang kuliah, yang baru akan dibaca bila diperintah dosen atau literatur ekonomi yang menjadi panjang tangan dari gagasan neoliberalisme (pasar bebas) minus kritik.

- 4 Juli 2021


Tidak lama setelah terbit versi terjemahan buku berjudul Selamatkan Anak-anak, November 2009 (Resist Book), saya diminta oleh Resist Book membedah buku ini di salah satu radio di Jogja. Saya tertarik membaca buku yang ditulis Neil Postman ini. 

Meski ditulis tahun 1994 dan merupakan pembacaan kritis atas situasi anak-anak di Amerika Serikat periode akhir 1970 dan awal 1980-an bersamaan menguatnya pertelevisian dan dunia hiburan setelah jauh sebelumnya peradaban (kapitalisme) ditandai dengan penemuan mesin cetak, tetap saja relevan. Lebih-lebih ide mengenai masa anak-anak makin memudar dalam kecepatan yang mencengangkan.

Anak tampil laiknya orang dewasa dan melakukannya seolah tak ada batas antara anak-anak dengan orang dewasa. Sebagai mayoritas moral, anak-anak punah. Buktinya kriminalitas, prostitusi, tawuran, dan segala bentuk dunia gelap anak-anak terus saja menghiasi pemberitaan.

Anak-anak sebagai kategori sosiologis tidak ada lagi. Mereka sebagai kategori psikologis pun telah musnah. Demikianlah potret buram anak-anak dewasa ini. Karena itu dalam abad berlari kencang sekarang, menyelamatkan anak-anak merupakan agenda mendesak.

- 3 Juli 2021


Pada masa yang jauh, perjalanan yang sulit dilupakan dan abadi melekat pada hasrat mereguk pengetahuan dan kebijaksanaan.  Sebut saja kerja pencatatan luar biasa yang dilakukan para pelawat asing di Nusantara seperti I-tsing (Yi Jing) ke Sriwijaya dan Melayu (Jambi) abad 7 Masehi, Ibnu Battuta yang melanglang buana hingga ke China, Tomi Pirez dari Portugis, kemudian Stamford Raffles dari Inggris, Rhumpius yang merupakan tentara Belanda, lalu Wallace meninggalkan catatan yang berharga baik tulisan terkait dengan peristiwa pada masa itu, tentang arkeologi maupun soal flora dan fauna di Nusantara. 

Kunjungan orang per orang maupun kelompok yang disponsori oleh institusi negara dahulu kala tidak sebatas lewat pintu depan untuk mengafirmasi Nusantara, tetapi merasuk lebih dalam, ke dalam Sukma kebudayaan Indonesia secara intimatif.

Di luar narasi kolonialisme jahanam, selalu ada "hati kudus" dalam lawatan akademia itu. Nah bagaimana kini? Didukung aksesibilitas transportasi yang mudah, jamak orang melakukan perjalanan dalam tempo yang singkat dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Sayangnya, kegiatan demikian itu sekadar hanya ingin memenuhi hasrat mengisi "insta story" di akun media sosial ketimbang mereguk pengetahuan dan kebijaksanaan dari setiap tempat yang dikunjungi.

Laku demikian jelas saja mundur, atau tidak jauh lebih baik daripada para pelawat asing. Dari karya-karya mereka membuat kita berkesempatan menautkannya dengan babad, syair, kisah lisan, dan tinggalan pemikiran dalam bentuknya yang beragam. 

- 2 Juli 2021.


Membakar sampah mengingatkan saya pada kebiasaan mendiang sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Di usia senja, setelah lebih dari separoh hidupnya dihabiskan dalam jeruji besi karena ditahan oleh Orde Baru, ia kerap mengisi sore hari dengan membakar sampah.

Baginya membakar sampah adalah laku membakar amarah terhadap perlakuan negara yang membakar karya-karya tulisnya. Ia merasa diperlakukan secara tidak adil justru oleh bangsanya sendiri. Tetapi itu Pram ya, sementara saya seolah-olah saja. Membakar sampah lebih karena sudah bertumpuk di belakang rumah dan khawatir jadi sarang ular.

- 1 Juli 2021.


Berikut catatan fragmen lainnya:

(1) Dari Hari Ke Hari: Fragmen IV

(2) Dari Hari Ke Hari: Fragmen III

(3) Dari Hari Ke Hari: Fragmen II

(4) Dari Hari Ke Hari: Fragmen I

0 Komentar