Benarkah Indonesia Sudah Merdeka?

 


Oleh: Jumardi Putra*

Memasuki usia ke 105 tahun kebangkitan nasional, 86 tahun sumpah pemuda, dan 15 tahun reformasi, stabilitas dapur rakyat Indonesia terus dihantui ketidakpastian. Tak syak, persoalan mendasar itu menyulut gugatan, mengapa kita terus saja miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa-bangsa lain? Mengapa negeri yang dijuluki “erotic garden of the east” ini kehilangan pesonanya?

Laporan World Economic Forum (WEF), Growth Competitiveness Index tahun 2007-2008 menyebutkan Indonesia berada di peringkat ke 54 dari sekitar 131 negara yang disurvei. Bandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 7), Malaysia (21), dan Thailand (28). Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Filipina (peringkat 71), Vietnam (68), dan Kamboja (110).

Sementara dalam jurnal Nature Biotechnology (2004) disebutkan tujuh negara Dunia Ketiga telah menguasai bioteknologi-kesehatan (healty biotechnology), setingkat dengan negara-negara maju adalah: Cina, India, Brazil, Mesir, Kuba, Korea Selatan, dan Afrika Selatan. Berlanjut pada tahun 2007-Iran masuk dalam jajaran ke-7 negara tersebut, terutama dalam keberhasilan riset sistem cell untuk leukemia.

Dalam pada itu, sumber daya alam kita, yang oleh Koes Plus diabadikan ke dalam lirik lagu “Kolam Susu” menampakkan potret sebaliknya. Greenpeace, organisasi lingkungan non pemerintah, mencatat selama 5 tahun 2% per tahun hutan di Indonesia dirusak dan itu sama dengan 1,8 juta hektar setiap tahun, sama dengan 51 km2 setiap hari, atau sama dengan luas 300 lapangan sepak bola setiap jam. Sementara kerusakan hutan di Brazil per tahun hanya 0,6% (Kompas, 20/3/2007).

Tak heran, Guiness Book of Record (2008) yang diterbitkan September 2007 terang menyebutkan “Indonesia is the world champion in deforestation.” Padahal, fisikawan Fitjof Capra dalam bukunya, The Web of Life (1996), dengan baik mengingatkan, “Manusia tak bisa bertahan hidupnya kalau tidak mampu memelihara harmoni dan jejaring kehidupan, termasuk dengan lingkungan alamnya.”

Poret buram di atas bukan bermaksud menyederhanakan persoalan. Tentu ada hal-hal yang menggembirakan selama enam puluh delapan tahun “kemerdekaan” republik ini, tetapi pelbagai persoalan yang mendera Ibu Pertiwi sampai saat ini menunjukkan kemerdekaan itu belum sepenuhnya rakyat rasakan. Justru penulis melihat negara sangat bergantung pada modal dan hutang dari negara-negara maju serta korporasi multinasional. Sementara modal dan penyediaan fasilitas khusus terkonsentrasi pada kelompok-kelompok yang memiliki hubungan dengan penguasa, sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak merata.

Bersamaan melebarnya jurang sosial-ekonomi, muncul pula berbagai bentuk terburuk dari kemiskinan. Konflik horizontal merebak hampir di semua daerah. Lapangan kerja menyempit karena pengembangan industri lebih berkonsentrasi padat modal dari pada padat karya, sehingga tidak memberi kemungkinan bertambahnya kebutuhan tenaga kerja, sementara angkatan kerja terus bertambah sehingga mengakibatkan peningkatan pengangguran.

Relevan yang dikatakan James K. Galbraith (2002), “Kesenjangan sosial ekonomi di jaman globalisasi adalah sebuah perfect crime atau kejahatan yang sempurna.” Begitu juga menurut kritikus Noam Chomsky (2006), “Globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak masyarakat sangat mungkin terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolitis. Karena globalisasi semacam itu didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggung jawab kepada publik.”

Persemaian Jiwa

Akutnya krisis yang melanda negeri ini memunculkan pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab terhadap jalan buntu ini? Jelasnya, semua harus bertanggung jawab sebagai bagian dari dosa kolektif. Akan tetapi, yang lebih tepat bagi terwujudnya pertumbuhan (pro-growth), perluasan lapangan kerja (pro-job), dan pengurangan kemiskinan (pro-poor) adalah mereka yang duduk di pemerintahan, di samping mentalitas korup telah menggejala di sebagian diri kita.

Yudi Latif (2009) berpandangan krisis yang kita hadapi sesungguhnya berakar kuat pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Karena itu, usaha penyadaran nasional perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke dalam wacana publik. Dengan ungkapan lain, kita memerlukan penguatan etika politik serta pertanggungjawaban moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara berkesinambungan, penyadaran dan penguatan tersebut pada gilirannya berlanjut pada proses persemaian jiwa melalui pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal maupun informal. Hal itu bertujuan, lahir manusia Indonesia dengan karakter yang kuat dan bermuara pada apa yang dikatakan pakar manajemen Peter F. Drucker, “Knowledge Based Society dan The Winning Society,” seperti telah terbukti di negara-negara kecil semacam Jepang, Korea, Malaysia, dan Singapura, bahwa intellectual and moral capital jauh lebih berharga dan mampu menyejahterakan rakyatnya ketimbang natural capital melimpah, tapi minus keduanya.

Di samping itu, pelbagai persoalan Indonesia saat ini juga ditentukan oleh kualitas pemimpin, baik nasional maupun lokal, yang tindakannya dipenuhi niat baik untuk kesejahteraan rakyat. Ketegasan dan keberpihakannya pada keadilan dan kesamaan di muka hukum. Menjadi teladan, bersih dari korupsi, dan memiliki mata hati terhadap beban yang dipikul rakyat, sebagaimana kaidah Islam menegaskan, “Tasharruf alimam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil maslahah” (kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpin hendaknya mengacu pada prinsip kemaslahatan).”

Sekalipun republik ini digempur pesimisme, tapi optimisme harus dibangkitkan untuk semangat kebersamaan membangun kembali negeri yang sudah lumayan berat kerusakannya. Karena itu, relevan kita menghayati buah pikiran Paulo Freire (Pedagogy of the Harth, 1997) berikut ini, “Mari kita mempertahankan harapan kendati realitas yang kejam mengajak kita untuk tidak berharap. Dalam situasi demikian, perjuangan demi harapan berarti kesediaan untuk menanggalkan semua bentuk penistaan, rencana tak terpuji dan ketidak pedulian.”

*Jambi, Maret 2013. Tulisan ini dimuat dalam buku karya penulis berjudul “Kami Tahu Mesin Berhenti Sebab Kami Nyawa yang Menggerakkannya” (Diandra, Yogyakarta, 2014).

0 Komentar