Kehidupan Ini Tidak Kita Biarkan dalam Suasana Tragedi yang Penuh Ratapan dan Tangisan

Ilustrasi

Oleh: Jumardi Pura*

Tidak ada yang abadi baik itu kesedihan maupun kebahagiaan. Kita harus terus hidup. Saat ketidakberuntungan mengarahkan kita ke jalan buntu, kita harus mencari jalan lain”. (The Day the Leader Was Killed, Naguib Mahfouz). 

Ghirah demikian itu tersirat di balik sehimpun kisah nyata yang ditulis oleh lima belas penulis perempuan dalam buku bertajuk Jangan Jadi Perempuan Cengeng, terbitan Media Kreasi, tahun 2008.

Muatan belasan kisah dalam buku ini saban hari kita jumpai, tetapi terkadang karena sifat kealfaan dan masa bodoh kita membuat i’tibar di balik setiap peristiwa terlewati begitu saja. Apatahlagi desakan zaman sekarang membuat siapa saja berlari kencang agar tidak ketinggalan dalam hal apa saja. Ironis.

Saya membaca kisah yang ditulis Pipiet Senja tentang ekonomi keluarga yang dihantui ketidakpastian sekaligus terpaan penyakit yang terhitung cukup parah diidapnya. Bagi penulis, mengakhiri hidup (bunuh diri-red) bukanlah jawaban yang tepat, melainkan terus berupaya dengan gigih melawan ketidakberdayaan dengan tetap memupuk keyakinan bahwa ada rencana indah dari Sang pencipta, yang patut disyukuri dan tawakkal secara terus menerus.

Tidak mudah, memang, tetapi ia harus menjalaninya. Finally, menyeruap segumpal kepuasan batin yang diperoleh penulis dalam pergulatan hidupnya (baca: 9-21). Berjalannya waktu, perlahan-lahan ia mengamini maksud kata bijak yang teramat sering muncul selama ini yaitu matahari selalu menampakkan cahaya terangnya pada setiap anak manusia manakala pagi menyapa. Jadi, kenapa kita harus putus asa?

Sejurus hal itu, Ummu Saskia dalam tulisannya berjudul Jangan Ambil Nyawa Anakku Lagi, ya Allah, menggiring pembaca dengan aroma cerita iba yang menyanyat hati tentang gejolak keluarga semasa hidupnya. Selain gaji suami yang ala kadar, kondisi penyakit yang mendera dua buah hati mereka yang berujung pada abnormal dan kematian, membuat ia terombang-ambing dalam kecemasan yang terus menggunung.

“Entahlah, walau saya sering mendengar ceramah-ceramah tentang ketegaran, aku masih saja merasa remuk jika mengingat kejadian itu. Lantas, saya pun sering menjadi sangat panik ketika anak-anakku yang lain terserang penyakit,” gerutunya membatin.

Namun, karena usaha tiada henti untuk tetap optimis melewati pelbagai cobaan, ia pun berhasil menghidupkan keluarga, meski rasa nyeri sesekali mengiringi perjalanan hidupnya (baca :103 & 107). Tidak jauh berbeda dari keduanya, tulisan Afifah Afra bejudul Meskipun Aku Bukan Fatimah, memiliki transfer of values tersendiri  karena mahalnya harga sebuah ketegaran dalam diri perempuan ketika berada di jantung persoalan. Dengan rendah hati, ia mencoba belajar dengan sosok Fatimah, anak kesayangan Nabi Muhammad SAW dan istri daripada Ali Bin Abi Thalib semasa hidup.

Hal itu terbukti dengan sifat kerelaaannnya saat harus melepaskan suami tercinta, Ahmad, seorang dokter, berkhidmat sebagai relawan di Kota Serambi Makkah, Aceh, setelah terjadi peristiwa Tsunami yang meluluh lantakkan Bumi Aceh dan mengakibatkan jatuhnya jutaan korban pada 26 Desember 2004. Begitu juga peristiwa gempa bumi di bumi Yogyakarta, 28 Mei 2006.

Sifat kerelaan di tengah kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, usia bayi yang baru bisa dihitung jari, adalah penanda bahwa optimisme menghadapi tantangan kehidupan telah tertata kuat dalam sosoknya. Dengan kata lain, tempaan alam yang mendidiknya sejak dini mampu menghantarkannya pada posisi perempuan yang dapat memimpin rumah tangga, meskipun tidak harus menjadi seorang Fatimah, anak Nabi Muhammad SAW.

Tampak jelas setiap cerita di dalam buku ini, pada awalnya, mereka (perempuan-red) berlinang air mata, jatuh dan tertatih-tatih untuk mencoba tetap berdiri tegak di tengah genangan persoalan, sehingga secara perlahan mereka mampu bangkit dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya.

Menjadi Perempuan

Beragam kisah yang mewartakan keterlibatan perempuan dalam pengentasan pelbagai persoalan, baik dalam ruang lingkup keluarga maupun masyarakat umum, menurut Izzatul Jannah, bisa menggeser pemahaman bias tentang perempuan yang selama ini selalu dimitoskan sebagai makhluk yang emosional, lemah, tidak logis, tergantung, pasif, lemah, senantiasa berlinang air mata, teraniaya dan seterusnya dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Hampir secara keseluruhan penulis dalam buku ini berupaya memosisikan perempuan pada posisi strategis sebagai mahluk Tuhan yang dapat memberi kontribusi, laiaknya kaum laki-laki. Dengan rendah hati, mereka (15 penulis-red) menegaskan perempuan adalah tokoh yang mandiri dan kokoh, meskipun tidak harus meninggalkan kodratnya. 

Saya teringat ungkapan yang dikatakan oleh filusuf Simone de Bauvoir bahwa orang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan. Itu artinya peran dan fungsi perempuan, sebagaimana telah dibentangkan dalam buku ini membantah stigma yang selama ini melekat dengan perempuan yaitu mahluk lemah dan lebih rendah dari pria, karena selama berabad-abad pendapat itu dianut baik oleh pria maupun perempuan sendiri.

Sunggu mulia pujaan Byron pada perempuan (Byron in Sardanaplus), sebagaimana dikutip Sindhunata dalam featurenya berjudul Kisah si Mungil dari Indramayu’ yang termuat dalam buku berjudul Burung-Burung di Bundaran HI (Kompas, 2006), berbunyi “Payudara wanitalah yang memancarkan kehidupanmu ke dunia. Bibirnya mengajarkan tutur katamu yang pertama. Ia menyeka airmata ketika awal kau menjerit di dunia. Dan keluh kesahmu selalu berakhir di telinganya”.

Buku ini sarat kisah-kisah yang dapat membangkitkan optimisme. Tidak berbelit-belit, sebagaimana kata pembuka pada tulisan ini, semoga masing-masing kita dapat menyauk hikmah dari belasan kisah nyata di buku ini, sehingga kehidupan ini tidak kita biarkan dalam suasana tragedi yang penuh ratapan dan tangisan, melainkan mampu mencecap indahnya warna-warni dunia.

*Yogyakarta, 2009.

0 Komentar