Sisi Lain di Jalan Sabang Jakarta

Pusat Kuliner di Jalan Sabang

Oleh: Jumardi Putra*

Usianya tak lagi muda. Sembari melangkah pelan, kedua tangannya menyangga tumpukan buku sedada. Dengan sabar ia menjajaki buku-buku itu kepada pengunjung yang sedang lewat maupun lagi santap di warung kaki lima di sepanjang jalan Sabang, pusat nongkrong sekaligus kuliner terkenal di Batavia, bekas ibu kota Hindia Belanda, yang kini disebut sebagai Jakarta.

Begitulah hari-hari pak Wandi, sedari lepas Magrib sampai lewat tengah malam. Pria kelahiran Solo 1964 itu memulai profesi sebagai pedagang buku di Jalan Sabang sejak 1975 sampai sekarang. Ia salah satu dari lima orang yang berjualan buku di Jalan Sabang, kini namanya Jl. H. Agus Salim. Jalan ini berawal di utara menyambung dari Jl. Medan Merdeka Selatan, dan berujung di selatan di Jl. Diponegoro.

Mulanya ia menjual komik, tabloid, majalah dan buku, tetapi makin ke sini hanya tersisa buku. Selain buku, peminatnya sepi. Meski minggu ini penghasilannya menurun drastis, ia tidak lantas menyerah. Bahkan, situasi lebih sulit pernah ia lewati yakni setahun tidak bisa berjualan lantaran penerapan kebijakan penjarakan sosial oleh pemerintah DKI jakarta, imbas dari pagebluk Covid-19, sehingga memaksanya pulang ke Solo membantu istrinya bertani.

Pak Wandi

Ia sadar bahwa penjualan buku secara langsung seperti yang ia geluti tidak banyak lagi diminati, karena orang-orang sudah berpindah ke lapak-lapak online. Belum lagi, lanjutnya, minat beli dan membaca buku fisik bagi generasi sekarang menurun seiring kemudahan akses terhadap informasi di era internet melalui laptop maupun gawai dengan pelbagi fitur canggih.

Di Jakarta, tepatnya di daerah Kemayoran, pak Wandi tinggal bersama sanak keluarganya. Sementara sang istri hidup di Solo, sehari-hari bertani. Pernikahan mereka dikarunia empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. “Keempat anak-anak saya sudah menikah, sehingga berkurang beban saya,” ujarnya.

Usut punya usut, kakek dua cucu ini berasal dari Solo, bahkan katanya satu kecamatan dengan tempat tinggal Presiden Joko Widodo. Ia mengatakan, di malam hari berjualan buku, maka pada siang harinya ia melakoni kerjaan lain, apa saja, yang dapat menambah penghasilannya selama mukim di Jakarta.

Tahun berganti tahun, penghuni jalan Sabang juga terus datang dan pergi silih berganti. Namun pak Wandi, di usia senjanya, tidak berpindah dan tidak pula berganti profesi. Hari-harinya tetap saja dikenal sebagai pedagang buku, setidaknya sampai sekarang. Dari pak Wandi saya membeli dua buah buku berjudul Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia dan 21 Adab untuk Abad 21 karya penulis terkenal yaitu Yuval Noah Harari.

Pak Agung 

Selang dua hari pasca berjumpa pak Wandi, masih di warung kaki lima yang sama, saya bersua sejawatnya sesama penjual buku di Jalan Sabang yaitu pak Agung, begitu ia kerap disapa. Usut punya usut, pria kelahiran 1962 itu juga berasal dari Kota Solo, sekampung dengan pak Wandi, dan bahkan keduanya tinggal sekecamatan. Profesi sebagai penjual buku ia geluti sejak 1979, setamat SMP, atau empat tahun dimulai setelah pak Wandi. Ia menyadari bahwa dunia terus berubah, dan profesi semacam dirinya berpotensi akan punah. Faktanya memang sudah banyak yang berjatuhan. Tetapi realitas hidup memaksanya untuk tetap bertahan di tengah matapencaharian lainnya belum pasti. Dari Pak Agung saya membeli dua buku terjemahan berjudul “The Psychology of Money” karya Morgan Housel dan  “Atomic Habits” karya James Clear.

Dalam percakapan kami, muncul dilema buat saya karena umumnya buku-buku yang mereka jual adalah buku-buku kawe (untuk menyebut bajakan), sesuatu yang sejatinya tidak boleh terjadi karena buku asli (ori) sebagai produk pengetahuan tidak hanya menyangkut hak seorang penulis atas karyanya yang dipasarkan, tetapi juga hak bagi penerbit, percetakan, desainer kaver maupun isi buku, dan bahkan sesiapa saja yang menggantungkan hidupnya pada matarantai bisnis di lapangan produksi ilmu pengetahuan. Saat saya menanyakan langsung perkara itu baik kepada Pak Agung maupun Pak Wandi, mereka lantas tidak bisa berucap banyak, kecuali membisu. “Apa mau dikata?” mungkin begitu yang terbesit di hati mereka berdua.  

Ramainya Jalan Sabang di Jakarta pada malam hari nyatanya menyisakan banyak sisi dari kehidupan orang-orang semacam Pak Agung maupun pak Wandi yang harus terus berjuang bertahan hidup di tengah ekonomi sulit yang melilit mereka selama mengadu nasib di pusat Kota.

*Jakarta, 1 Desember 2023.

0 Komentar