Quo Vadis Lembaga Adat Melayu Jambi

Rapat Kerja LAM Jambi, 4 Desember 2023. Sumber foto: Humas DPRD Prov. Jambi

Oleh: Jumardi Putra*

Kabar terpilihnya Datuk Hasan Basri Agus (HBA) bergelar Tumenggung Jayodiningrat sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi periode 2021-2026 segera menyebar di linimaya dan menjadi perhatian pelbagai kalangan.

HBA jelas bukan orang asing di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Sebelum terpilih sebagai anggota DPR-RI Dapil Provinsi Jambi periode 2019-2024 dari Fraksi Partai Golkar, pria kelahiran 30 Agustus 1953 itu merupakan Gubernur Jambi periode 2010-2015 dan Bupati Sarolangun periode 2016-2010. Lulusan Pesantren Asad Olak Kemang Jambi tahun 1975 itu boleh dikata sosok birokrat yang menaruh perhatian terhadap budaya Melayu Jambi. Meski belumlah ideal, patut menjadi contoh di antara Gubernur selepasnya sampai sekarang yang masih memosisikan budaya sebagai periferi. 

Kepiawaian HBA sebagai birokrat dan politisi jelas tidak diragukan. Tetapi sebagai Ketua LAM  Jambi masih perlu bukti. Apatahlagi LAM Jambi yang berdiri sejak tahun 1975, empat tahun sebelum terbitnya Undang-Undang Tentang Pemerintahan Desa (1979), kian ke sini seolah terasing dari lapangan kulturalnya. Paling banter LAM Jambi sayup-sayup disebut warga Jambi bila berurusan dengan upacara pernikahan dan penganugerahan gelar adat. Bahkan sulit menyangkal adanya anggapan LAM Jambi sekadar gerbong berisikan para pendukung atau tim sukses rezim Gubernur terpilih.

Pelestarian adat Melayu Jambi dewasa ini, dalam wujudnya yang beragam dengan intensitas yang kian jarang, serta penerapan hukum adat Melayu Jambi sesuai icopakai sebagai jalan alternatif penyelesaian sengketa di tengah masyarakat justru berada di level Desa. Itu pun lebih karena dedikasi, konsistensi dan kafasitas individual pemuka adat ketimbang kerja organisasional maupun berkat dukungan penuh dari pemerintah daerah.

Tulisan ini tidak berpretensi menjawab persoalan LAM Jambi dengan segala dinamikanya baik internal maupun eksternal, seperti polemik yang sempat mengemuka usai pentabalan HBA sebagai ketua LAM Jambi oleh Gubernur Al-Haris yaitu LAM Provinsi Jambi tidak boleh diketuai oleh individu yang terlibat sebagai pengurus partai politik, sebagaimana termaktub pada pasal 19 huruf (e) Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014 tentang LAM provinsi Jambi.

Wacana seputar syarat dan ketentuan pengurus LAM Jambi pernah menjadi pembicaraan serius sebelum peraturan daerah tersebut disahkan pada tahun 2014, tepat saat HBA menjabat sebagai Gubernur Jambi. Mulanya larangan itu bukan saja berlaku bagi ketua, tetapi seluruh pengurus LAM tidak boleh dari mereka yang aktif menjabat di partai politik. Alasan mendasar yaitu demi menjaga netralitas dan sekaligus menjaga warwah LAM Jambi sebagai organisasi otonom.

Sifat otonom LAM Jambi diutamakan karena kewenangan yang diembannya yaitu (a) memberikan pendapat dan saran baik diminta maupun tidak diminta kepada pemerintah provinsi dalam meningkatkan peran serta masyarakat adat untuk menggerakkan pelaksanaan pembangunan serta pelestarian nilai adat Melayu Jambi;  (b) Sebagai penengah dalam kasus adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat Kabupaten/Kota;  (c). Menyusun dan menetapkan kebijkan pelestarian dan pengembangan adat Melayu Jambi yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah;  (d) Menyusun dan menetapkan standar pengawasan dan pelaksanaan pengawasan pelestarian dan pengembangan adat Melayu Jambi;  dan (e) Memberikan penghargaan kepada tokoh dan pelaku yang berprestasi sekaligus peduli terhadap pelestarian dan pengembangan adat Melayu Jambi.

Publik mungkin pernah mendengar istilah Tiga Tali Sepilin yaitu kerapatan adat yang terdiri dari unsur pemerintahan, pegawai syarak (refresentasi dari alim ulama, imam, khatib, bilal, orang yang dalam struktur masyarakat Melayu Jambi menempati posisi terhormat sebagai tokoh agama yang memberikan pengetahuan keagamaan sekaligus intelektual Muslim), dan pemangku adat (sekelompok orang pilihan refresentasi dari penghulu, nenek mamak, tuo tengganai dan cerdik pandai). Singkatnya, forum tiga tali sepilin dalam perjalanannya  terkonstruksi menjadi modal politik, sosial dan agama yang disimbolkan dengan  modal kultural.

Seiring perkembangan zaman, semula nomenklatur institusi yang berkompeten mengurusi persoalan hukum, sosial dan agama adalah kerapatan adat sejak masa kerajaan Melayu Jambi, berubah menjadi lembaga adat Melayu provinsi Jambi  yang kita kenal sekarang ini.  Dalam proses itu peran LAM Jambi bergeser menjadi wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, sosial dan agama. Bahkan LAM menjadi lembaga tunggal yang diberi mandat untuk melestarikan adat Melayu Jambi. Meski kali lain LAM Jambi tampil menjadi “tukang” stempel terhadap proyek pembangunan dari satu rezim pemerintahan ke rezim berikutnya. Pada titik ini unsur pemerintahan menjadi lebih dominan ketimbang dua unsur lainnya dalam pengambilan keputusan di lembaga adat. 

Problem dan Tantangan

Adat Melayu Jambi dan dinamikanya mewariskan nilai, norma dan kearifan yang universal, aneka kebiasaan sosial berpola (untuk menyebut tradisi), maupun artefak-artefak bendawi (tangible) dan tak bendawi (intangible). Di masa kini, warisan itu menghadapi pendangkalan makna, pelemahan fungsi, penyempitan ruang gerak yang pada gilirannya menjadi terlupakan.

Setakat hal itu, pandangan hidup masyarakat Melayu Jambi seperti yang tersirat dalam seloko; Titian teras betanggo batu, cermin yang tidak kabur, lantak nan tidak goyah, dak lapuk dek hujan dak lekang dek panas, kato nan saiyo, adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato, adat memakai, perlu diejawantahkan dalam kerja-kerja kongkrit dan berkesesuaian dengan semangat zaman serta berkelanjutan sehingga memberi pengaruh positif bagi masyarakat luas.

Bertolak dari hal di atas, izinkan saya merespon dinamika kelembagaan adat Melayu Jambi kepengurusan periode 2021-2026 di bawah kepemimpinan Datuk HBA.

Pertama, sekalipun diklaim Datuk HBA bahwa jumlah pengurus LAM Jambi periode 2021-2026 berkurang signifikan dibandingkan kepengurusan periode sebelumnya, tetapi hemat saya masih terlihat tambun. Lebih dari 170 orang. Belum lagi dua lembaga yang terintegrasi dengan LAM Jambi. Tugas dan fungsi pada setiap level jabatan menjadi tidak efektif lantaran sarat tumpang tindih. Sukar membayangkan koordinasi maupun pengambilan keputusan seperti para wakil ketua, sekretaris dan bendahara yang berderet-deret. Belum lagi masing-masing bidang. Konsepsi dan komposisi demikian itu hemat saya belum sejalan dengan semangat restrukturisasi kelembagaan adat yang menjadi salah satu alasan mendasar di balik revisi Perda Nomor 5 Tahun 2007 menjadi Perda Nomor 2 Tahun 2014 tentang LAM Jambi.

Selain belum sejalan dengan batasan kewenangan, tugas, dan fungsi serta program strategis LAM Provinsi Jambi, yang membedakannya dengan LAM Desa maupun LAM Kabupaten/Kota, juga makin menguatkan kesan publik bahwa LAM Jambi tidak lain wadah untuk mengakomodir tim sukses Gubernur terpilih ketimbang menjadikan LAM Jambi sebagai organisasi yang ramping, profesional dan berakar kuat pada nilai-nilai adat Melayu Jambi, sehingga dalam langkah-langkahnya berjalan lincah dan terhindar dari kendala teknis-prosedural yang jelimet.

Bila anggapan publik tersebut tidak menjadi perhatian baik oleh Ketua maupun para pengurus, bukan tidak mungkin secara perlahan-lahan LAM Jambi ke depan mengalami krisis legitimasi. Apa sebab? Ia tidak saja karena beralih total pada kerja-kerja formal-prosedural semata, yang kualitas output kegiatannya menjadi perhatian publik, tetapi juga perlahan-lahan terjadi ‘abrasi’ kepercayaan dalam lapangan kulturalnya yang tua.

Kedua, penguatan kelembagaan adat Melayu Jambi tertuju pada pembenahan manajemen organisasi yang menopang tugas utama yaitu penelitian, pembinaan dan kaderisasi, publikasi dan dokumentasi adat Melayu Jambi untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, budaya, hukum, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak heran dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang LAM Jambi disebut juga kelembagaan strategis seperti Pusat Pendidikan dan Pelatihan Adat Melayu Jambi serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Adat Melayu Jambi yang terintegrasi dengan struktur LAM Jambi Provinsi. Sejatinya hal itu menandai bahwa adat Melayu Jambi tidak berada di ruang kedap suara, melainkan akan selalu berkelindan dengan pelbagai aspek kehidupan di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pendidikan dan agama. 

Ketiga, saya belum mengetahui rencana strategis dan program prioritas LAM Jambi periode 2021-2026. Pendapat atau statemen Datuk HBA selaku ketua LAM Jambi terpilih yang mengemuka di media-media online masih bersifat normatif dan belum beranjak dari paradigma lama yaitu hukum, keamanan dan ketertiban.  Sementara tujuan LAM Jambi yang digariskan yaitu menggali, membina, melestarikan, memelihara, dan menggembangkan nilai-nilai adat dan nilai-nilai sosial budaya Melayu Jambi sebagai landasan memperkuat dan memperkokoh jati diri masyarakat Melayu Jambi.

Penentuan skala prioritas program dan kegiatan LAM Jambi harus dimulai dari problem maupun tantangan masyarakat provinsi Jambi sekarang ini, sebut saja seperti masih rendahnya mutu SDM dan lembaga penyelenggara pendidikan, pengentasan warga miskin dan sempitnya lapangan pekerjaan, peningkatan kualitas dan sarana kesehatan, kerusakan lingkungan, konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan (termasuk penyerobotan tanah wilayat atau tanah adat), prostitusi dan perdagangan anak dan perempuan, pembakaran hutan, peredaran narkoba dan sebagainya.

Demikian urun saran dari saya seraya berharap LAM Jambi benar-benar kembali memainkan peran strategisnya untuk membangkitkan batang terendam yaitu melestarikan adat Melayu Jambi dalam abad yang serba terhubung (nir-batas), kompleks dan berlari kencang.

*Tulisan ini terbit pertama kali pada portal  www.jamberita.com pada Kamis, 30 Desember 2021.

0 Komentar