Dari Hari Ke Hari: Fragmen VII

ilustrasi. sumber: kumparan

Oleh: Jumardi Putra

Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.

Berikut ini penggalan permenungan dalam rentang bulan Oktober sampai Desember 2021, meneruskan edisi sebelumnya (Dari Hari Ke Hari: Fragmen I, II, III, IV, V, dan VI) yang saya tulis secara singkat sebagai status di aplikasi perpesanan Whatsapp. Mungkin saja ada gunanya.

***

Kau telah lebih dulu menjadi akar, yang susah payah mendapatkan air lalu tumbuh, berputik dan menjadi bunga yang sehat dan semerbak mewangi.

Dalam amuk Semeru, kau bisa saja menyelamatkan diri lalu tumbuh sendiri, tapi nyatanya itu bukan pilihanmu, selain mendekap erat ibumu. Sosok yang meronai derapmu baik semasa lapang dan sempitmu. Yang pergi tak harus kembali. Rumini, wangimu tidak pernah pergi. #PrayForSemeru #Rumini

(8 Desember 2021)


Usia kepemimpinan yang singkat serta kemampuan keuangan daerah yang terbatas ibarat peristiwa tendangan penalti dalam sepakbola. Bila berhasil menjebol gawang lawan jelas itu karena kepiawaian dan seluruh mereka yang terkait dengannya ikut bersukacita.

Namun sebaliknya, bukan saja bagi pelatih, pemain dan suporter di stadion yang menanggung beban, adalah juga semua pecinta klub, yang dari segala penjuru menaruh harapan dan manautkannya dalam doa-doa. Maka, bagi kepala seorang daerah mengerti kemampuan skuadnya adalah keniscayaan. 

(18 November 2021)


Alokasi anggaran yang demikian besar pada sebuah lembaga yang tidak siap dimulai dari perencanaan sampai pada skema penganggaran jelas beresiko. Selain malfungsi, juga melenceng dari kebijakan umum yang menjadi pijakan bagi pembiayaan terhadap seluruh program/kegiatan.

Dalam situasi keuangan yang terbatas, pengarusutamaan prioritas pembangunan harus mampu melampaui wacana permukaan yang seolah ingin tampak gagah dan populer, tapi sesungguhnya keropos dari dalam.

Yang diberi amanah gagal merencanakan. Sementara nun jauh di sana, rakyat menunggu sambil harap-harap cemas akankah janji-janji suci sang penguasa benar-benar terealisasi. Atau, galibnya berkali-kali suksesi, mereka tidak lebih sebagai matapencaharian lima tahunan belaka.

(18 November 2021)


Si Boy yang borjuis konservatif maupun Lupus yang progresif, yang keduanya kita kenal melalui layar tivi atau novel adalah tokoh fiktif. Dan Gie adalah kenyataan. Kenyataan yg terpaut jauh dari saya. Saya baru membaca lembar-lembar halaman buku Catatan Seorang Demonstran tahun 2001.

Jelas terlambat dari sejak tulisan itu ia buat, tapi tak mengapa dan saya bersyukur bisa membaca dan mendiskusikan pikiran dan surat-surat yang tersembunyi miliknya, yang dikenal kritis dan tanpa tedeng aling-aling. Sosok non partisan ini adalah pribadi cerdas, berani dan sangat populer dari angkatan 66.

la menolak demokrasi terpimpin Bung Besar sekaligus sinis melihat elite pada masanya yang hidup di atas penderitaan rakyat. Saya teringat kata Jean Ziegler, dalam Les Nouveaux Maitres du Monde,(2002) “Semakin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah kehidupan dan "perilaku aneh" elite penguasanya”.

Soe Hok Gie memilik empati pada rakyat kebanyakan dan melalui penanya ia hadir menyuarakan kepada kekuasaan. Ia kerap gamang memandang politik dan kekuasaan. Suatu keadaan berjarak antara ide dan kenyataan.

Ia seperti sang progresif yang kesepian, tapi gagasannya tetap menggerakkan generasi-genetasi sesudahnya.

(12 November 2021)


Saya membaca kembali kumpulan cerita pendek berjudul Corat-coret di Toilet karya Eka Kurniawan. Yang pertama kubaca adalah salah satu cerpen yang menjadi judul dari buku ini. Jauh sebelum gawai jadi pegangan tak tergantikan setiap orang saat ini, dulu dunia mahasiswa ditandai dengan diskusi, buku, demonstrasi dan advokasi.

Tahun 1998 boleh dikata puncak dari proses panjang dari sebelumnya mahasiswa menuntut turunnya Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan karena dinilai telah gagal membawa bangsa ini keluar dari krisis akut dan makin menguatnya praktik KKN.

Meski ditulis renyah, penuh banyolan dan tanpa tedeng aling-aling, sehingga membuat saya tertawa, tetap memberi kesat kuat laiknya membaca jejak sejarah. Pemilihan toilet, alur cerita dan karakter tokoh menunjukkan kepiawaian si penulis, karena dari situ narasi politik-ideologis mengemuka.

Sebagai pengguna toilet, entah di kampus, terminal, gedung wakil rakyat, dulu boleh dikata di dalamnya penuh coretan kalimat atau kata-kata lucu, cerdas, politis, dan bahkan sumpah serapah. Nah bagaimana toilet sekarang? Saya kerap menemukannya, tapi tidak lagi seterang benderang bersamaan animo reformasi 1998.  Banyak lucu dan bertitimangsa pada urusan domestik dan perkara jatuh dari cinta. hehehe

(12 November 2021)


Saya tergolong terlambat membaca pikiran-pikiran intelektual cum aktivis Prof. Arief Budiman. Gagasan penolakannya pada modernitas dan ketergantungan negara lemah pada negara maju (lebih-lebih selepas ia studi doktoral di Hardvard) menjadikan sosialisme maupun ilmu sosial menemukan lapangannya yang dinamis, terus hidup dan menginspirasi serta mengubah semangat zaman generasi pada masanya.

Saya justru lebih awal mengenal tulisan-tulisan adiknya, Soe Hok Gie, ketimbang Soe Hoek Djin alias Arief Budiman yang tak lain adalah kakak kandungnya. Keduanya adalah tokoh penting menandai periode jatuhnya rezim Soekarno dan beralih ke rezim Orde Baru Soeharto.

Kritisisme Arief tak ada yang meragukan, tidak terkecuali pada Orde Baru, yang meski di awal kelahirannya ikut memberi jalan. Sebagaimana adiknya, ia tidak masuk ke dalam gerbong kekuasaan maupun derap politik praktis, di mana sebagian kawan-kawannya memilih masuk ke dalam sistem.

Arief Budiman contoh ilmuwan yang tidak berumah di atas awan. Ia intelektual publik dengan gagasan yang sistematis dan mudah dicerna.

(14 Oktober 2021)


Seminggu terakhir ini nama Profesor Kishore Mahbubani ramai dipercakapkan publik tanah air lantaran artikelnya memuji efektifitas kepemimpinan Jokowi, dan karenanya perlu menjadi perhatian publik luas, terutama negara-negara maju yang mengalami kebuntuan seiring menguatnya politik identitas, keterbelahan sosial pasca pemilihan kepala negara yang tak kunjung lerai, hingga kegagalan menemukan 'reasoning' untuk kembali menciptakan kohesifitas nasional-global, yang terancam eksistensinya lantaran demokrasi prosedural yang belum segaris dan sebangun bagi terwujudnya kesejahteraan.

Pujian Mahbubani bisa diteropong dari berbagai sudut, baik yang pro atau kehendak untuk mengoreksinya. Kishore sebagai ahli kebijakan publik menempatkan Jokowi dalam konteks makro pembangunan nasional dalam kaitan krisis legitimasi kepemimpinan politik di kancah global dewasa ini.

Bahwa urusan detail ekses kebijakan pembangunan nasional sejak kepemimpinan Jokowi sampai sekarang seraya menguatnya oligarki adalah alarm yang juga penting diamati dan dikritisi oleh kaum cerdik cendekia.

(12 Oktober 2021)

 

Hari-hari ini sosok Baim Wong ramai dipercakapkan karena ulah dan konten seperti saksikan di youtube maupun aplikasi lainnya. Tumpah ruah. Masing-masing berebut tafsir. Ayat-ayat Tuhan dikontestasikan. Podium penuh oleh retorika pasar dengan mengatasnamakan kemanusiaan.

Apa di tengah semua ini selain kapitalisme tingkat lanjut selalu punya cara menyihir kesadaran magis orang per orang di republik ini? Mari sejenak ke "dalam" untuk menimbang keramaian di luar, yang tak ubahnya pasar malam penuh dengan gunjingan dan sumpahserapah.

Begitulah internet, tempat semua hal tumpah ruah tak beraturan. Mulai dari perkara serius sampai hal remeh temeh hadir bersamaan. Kuantitas menggantikan kualitas. Semua campur baur. Batas antara pengetahuan dan pendapat dengan gosip, candaan, gerundel, ngedumel, dan caci maki menjadi sumir.

(13 Oktober 2021)


Membaca buku berjudul "Miskin Itu Menjual" mengingatkan saya pada tulisan mendiang budayawan Prie GS, yaitu kemiskinan itu sungguh begitu dekat, begitu menjerat. Jeratan itu telah melilit kita bersama sehingga kita kebingungan harus berbuat apa, menolong atau menertawaknnya.

Penuh paradoks, memang. Tapi begitulah potret buram di negeri ini. Mengamati kemiskinan yang direka sebagai komoditi. Tak jarang pula firman-firman Tuhan juga diperdagangkan untuk meligitimasinya.

Buku karya Saiful Totona ini membongkar fenomena "reality show" tentang orang miskin yang marak ditayangkan di tivi-tivi di tanah air sebagai hiburan yang mengundang rating dan berujung pada meningkatnya pengiklan (itu artinya banyak uang masuk sebagai keuntungan).

Bersamaan massifnya kanal interaktif melalui jaringan internet sekarang, saya melihat sebagian besar konten youtube juga menjadikan kemiskinan sebagai barang dagangan, dan sialnya pandapatan yang diterima orang-orang miskin tidak pula sepadan dengan hasil yang didapatkan para kreator youtube tersebut.

(12 Oktober 2021)


Sekira hampir dua tahun lalu saya menyampaikan pokok-pokok pikiran seputar penyelenggaraan keolahragaan di provinsi Jambi di hadapan para pihak baik dari unsur pemerintah provinsi, KONI, perwakilan cabang olahraga dan akademisi, bersamaan pembahasan Ranperda Penyelenggaraan Keolahragaan Provinsi Jambi.

Gayung bersambut Perda Provinsi Jambi tentang penyelenggaraan keolahargaan juga telah disahkan belum genap tiga bulan sebelum ini. Akankah itu menjadi solusi menyeluruh bagi peningkatan kualitas penyelenggaraan keolahragaan di provinsi Jambi sehingga tidak lagi berjalanan secara sporadis, parsial dan tidak berkelanjutan?

Akankah ia benar-benar menjadi satu pijakan kuat yang nyatanya telah mendelegasikan kewenangan serta tugas pokok dan fungsi para pihak sebagai dasar bagi penyusunan kebijakan, program dan kegiatan secara terintegrasi dan terukur.

Harus diakui pemerintah provinsi Jambi belum menempatkan keolahragaan dalam visi-misinya untuk melakukan percepatan (short-cut) pertumbuhan ekonomi baru.

(9 Oktober 2021)

 

Saya punya pengalaman unik nginap di sebuah hotel di Kota Bandung. Struktur dan gaya bangunan sebuah hotel membuat rute jalan dari dan menuju lokus yang dituju dilalui dengan tidak mudah. Dua-tiga kali gagal. Kadang tertawa dibuatnya, tapi kerapkali menjengkelkan, lebih-lebih saat fisik diamuk kepenatan.

Dalam situasi itu saya teringat peribahasa, "jatuh saat menari, lantai yang disalahkan". Pointnya adalah betapa kecerdasan spasial menjadi urgen dan signifikan. Kecerdasan yang di dalamnya memuat kemampuan membaca peta rute jalan, dan itu sekaligus peta mental. Suatu kesadaran yang barangkali punah oleh lesatan pemutakhiran teknologi dewasa ini yang dicirikan nirteritori.

Bisa jadi problem beginian, di hulu sono, juga karena ilmu geografi dirasa tak penting-penting amat dalam fondasi kurikulum pendidikan kita, selain seni dan filsafat. Kerja memori dalam otak yang merekam tiap sudut atau lokasi yang kita lalui dan kita tandai, menjadi sebuah peta mental.

Di titik ini, dalam rute yang ruwet, saya kembali belajar tentang arti sebuah kesadaran.

(7 Oktkober 2021)


Dibilang sering tidak. Tetapi di sini saya kerap membeli Thai Tea. Pemuda yang hari-hari menjual minuman segar ini (di foto ini) namanya Asep, mahasiswa semester 5 kampus STIKOM dan kawannya satu lagi Kiki, mahasiswa ekonomi syariah UIN STS Jambi. Hari-hari mereka berjualan secara bergilir di jalan 16. Kondisional. Buka sore hari sampai pukul 10 malam.

Sebelum Corona melanda keuntungan dari jualan mereka terbilang menggembirakan. Biaya kuliah tertanggungkan. Modal awal tertutupi. Sewa lokus lapak terbiayai. Optimis, begitu mereka kerap mengatakan kepadaku.

Waktu berjalan. Corona melanda. Jalan bisnis mulai terjal. Lebih-lebih dalam masa PPKM di Kota Jambi, penghasilan mereka turun drastis. Tapi tidak ada pilihan lain, kecuali meneruskan bisnis minuman yang sama-sama mereka bidani dimulai dari "nol".

Belakangan pelanggan mulai berdatangan dan kulihat senyum lebar Asep, dan semoga itu pertanda penghasilannya mulai membaik. Apakah mereka termasuk dari kelompok muda yang menerima suntikan modal dari pemerintah dalam masa pandemi? Saya belum tahu. Doa terbaik untuk kalian berdua, Bung!

(7 Oktober 2021).

0 Komentar