Digergaji Konsumsi


ilustrasi
Oleh: Jumardi Putra

Suatu malam saya diundang ke sebuah resor ternama di salah satu kota di SumateraSaya melihat sekelompok muda-mudi dan beberapa keluarga memadati area yang secara keseluruhan disulap bak kebun bunga dan hutan desa dengan tetap mengedepankan watak kota. Iringan musik disertai gemericik air dan gemerlap cahaya menahbiskan tempat ini didesain bukan destinasi bagi kaum papa.   

Di situ, umumnya dari mereka meluapkan rasa dahaga akan suasana desa dan masa kecil yang telah lama lewat. Tidak heran bila mereka berulangkali mengabadikan momen perjumpaan di malam itu dengan kilatan cahaya, menu makanan-minuman yang asing di lidah dan telinga, dan tentu saja daftar biaya yang bukan sembarang orang mampu menanggungnya. Dominasi gaya hidup (life style) bercirikan “I consume therefore I exsist” atau “You are what you buy” begitu kentara.

Apa di tengah semua ini? Pertanyaan itu segera memenuhi relung batin saya. Laiknya mal, hotel, dan atau bangunan mentereng sejenisnya, perlahan-lahan telah memanipulasi hasrat warga dengan arsitektur, setting lokasi, lanskap simbolik, dan ruang-ruang sejarah yang dikemas hingga tanpa sadar mereduksi ruang-ruang batin dan publik manusia menjadi melulu satu dimensi yaitu konsumsi. 

0 Komentar