Pemilihan Gubernur Jambi 2024 resmi diikuti dua pasangan calon (paslon) yaitu
Romi Hariyanto-Sudirman dan Al Haris-Abdullah Sani. Maka, mengedepankan politik
gagasan (bukan politik uang) adalah hal yang utama selama proses penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah berlangsung. Apa sebab? Tanpa arah pembangunan daerah
yang jelas, dasar berpijak tersebut perlahan-lahan akan bermetemorfosa tanpa
bentuk, sehingga dikhawatirkan tidak lagi menjadi kekuatan, namun sebaliknya.
Faktanya, visi dan misi serta program prioritas paslon Cagub-cawagub Jambi
telah didaftarkan ke KPU Provinsi Jambi, entah publik mengetahui persis isinya
atau malah sebaliknya. Begitu juga tim pemenangan masing-masing paslon sudah
terbentuk dan terus diperluas sampai jejaring akar rumput. Sejurus kemudian, slogan
Jambi Mantap maupun Jambi Merakyat memenuhi jagad virtual warga Jambi. Tidak
cukup hanya itu, baliho kedua paslon terpancang di ruang-ruang publik dibarengi
janji-janji manis lima tahun ke depan. Ringkasnya, pelbagai strategi yang
disusun oleh masing-masing tim sukses adalah semata untuk meraih kemenangan.
Begitulah riil politik.
Mencermati pemberitaan media online
di Jambi, persoalan ekonomi, infrastruktur, pelayanan kesehatan, peningkatan
kualitas sumber daya manusia, tata kelola birokrasi pemerintahan yang efektif
dan melayani, inovasi daerah, konflik lahan dan kerusakan lingkungan serta
polemik pengangkutan batubara memakai jalan umum masih menjadi pekerjaan rumah
bagi pemerintah Provinsi Jambi ke depan.
Dari sekian persoalan krusial di Jambi tersebut, isu seputar kebudayaan
tampak termarginalkan. Toh, andai pun menyerempet hal-ihwal budaya masih tampak
parsial lantaran berhenti seputar adat dan hubungan antar umat beragama seperti
“sisik-siang” yang diinisiasi oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Jambi
terhadap pasangan Calon Walikota-Calon Wakil Walikota Jambi belum lama ini.
Dengan kata lain, pokok-pokok pikiran seputar pemajuan kebudayaan belum terangkat
secara gamblang di tengah infiltrasi budaya global dan disrupsi teknologi digital
dewasa ini. Sempat muncul gagasan “Jambi Festival City”, untuk menyebut contoh,
yang ditawarkan oleh Bakal Calon Wali Kota Jambi Cecep Suryana, tetapi sayang
gagasan itu lenyap seiring yang bersangkutan gagal mengikuti kontestasi resmi Pilwako
Jambi. Saat yang sama, saya belum menemukan gagasan bernas baik dari pasangan Al
Haris-Abdullah Sani maupun Romi Hariyanto-Sudirman untuk pemajuan kebudayaan Jambi lima
tahun ke depan.
Tulisan ini tidak bermaksud menafikan satu isu atas isu lainnya,
melainkan mengembalikan isu kebudayaan sebagai bagian integral dari agenda
pembangunan srategis daerah ke depan, sehingga diharapkan muncul visi-misi dan
program prioritas dari setiap paslon Cagub-cawagub Jambi sebagai sebuah upaya
sistematis sekaligus terukur guna menjawab pelbagai permasalahan yang ada di
wilayah Provinsi Jambi di usianya ke 67 (1957-2024).
Saya mengikuti dinamika tiga pemilihan Gubernur Jambi sebelum ini dan
terlibat dialog yang ditaja tivi-tivi lokal maupun forum diskusi ketika itu. Dari
situ saya mendapati sebuah keadaan yaitu isu kebudayaan selalu berada di
pinggiran (kalau bukan sekadar pelengkap). Jika pun menyentuh isu kebudayaan
(dilabeli kalimat sloganistik seperti membangkitkan batang terendam) pada debat
resmi yang ditaja KPU, maka substansi yang diangkat oleh masing-masing paslon lebih
berorientasi pada pariwisata. Memang, pariwisata akan selalu berkaitan dengan
kebudayaan, tapi untuk mendapatkan pandangan sekaligus terobosan dari
masing-masing paslon Cagub-cawagub, jelas memerlukan konsepsi ideal tentang
peta jalan pemajuan kebudayaan Jambi ke depan sebagai sebuah tawaran mulai dari
kerangka filosofis sampai turunannya menjadi kebijakan baik itu berupa
peraturan daerah, program, kegiatan dan sub kegiatan yang terintegrasi dengan lintas
instansi maupun pelbagai stakeholder
yang mengurusinya, disertai indikator kinerja yang terukur selama satu periode
kepemimpinan (Sumbang saran saya kepada Gubernur Jambi terpilih sebelumnya dapat
dibaca di link berikut ini: Pengarusutamaan Kebudayaan: Sebuah Autokritik)
Meski pandangan Cagub-cawagub terhadap isu kebudayaan tidak mendalam,
saya tetap berkeyakinan selalu ada harapan agar mereka (Cagub-cawagub bersama konsultan
penyusunan visi, misi dan program prioritas) menyiapkan peta jalan pemajuan
kebudayaan Jambi sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Kebudayaan
tidak cukup dimaknai serba teknis-instrumentalistis yaitu dukungan anggaran dan
fasilitasi kegiatan bagi budayawan dan seniman baik perseorangan maupun
komunitas. Toh, melalui instansi teknis perangkat daerah bidang kebudayaan
selama ini, itu pun sejatinya belum berjalan maksimal dan sulit pula menyangkal
bahwa kegiatan seni-budaya dalam pelbagai skala maupun format penyelenggaraaan
sampai kini acapkali berujung seremoni ketimbang ajang peneguhan bagi inovasi
dan invensi bidang kebudayaan secara konsisten dan berkelanjutan.
Seturut hal itu, kebudayaan masih dianggap sekadar bagian dari gaya
hidup, hiburan, atau kegiatan sampingan yang bersifat tidak memengaruhi apa
pun. Nyatanya, tidak sedikit aspek kebudayaan yang menjadi penopang
perekonomian, baik disadari maupun tidak. Kebudayaan memiliki alur serupa
dengan produk ekonomi. Sesuai dengan definisi kebudayaan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan pasal 1 ayat (1), bahwa
kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan
hasil karya masyarakat. Cipta bersinonim dengan aktivitas produksi. Rantai
aktivitas produksi bersambung erat dengan kegiatan distribusi dan konsumsi
dalam alur konsep ekonomi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kebudayaan mengalami
proses yang sama dengan kegiatan ekonomi.
Menyadari hal itu, masyarakat Jambi, terutama budayawan/seniman, tidak
bisa menyerahkan 100 persen urusan kebudayaan kepada instansi teknis yang
membidanginya seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi bersama
UPTD-Taman Budaya Jambi (TBJ) maupun lembaga vertikal seperti Balai Pelestarian
Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi sebagai panjang tangan dari Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemindukbristek) Republik
Indonesia di daerah.
Sejauh ini saya belum menemukan kebijakan afirmatif action dari Gubernur terpilih yang termuat dalam RPJMD,
sebut saja seperti Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKBK) bagi individu maupun
komunitas seni-budaya di Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi. Nyatanya, sekalipun
budayawan/seniman tetap berkarya dalam kesunyian, toh saya kerap mendengar
langsung pelbagai keluhan dari mereka yang bergerak di lapangan kebudayaan. Imbasnya,
regenerasi budayawan/seniman sebagai penggerak pelestarian dan pengembangan
seni-budaya mandeg. Mau sampai kapan begini, lalu dimana wujud keberpihakan
APBD terhadap keberlangsungan aktivitas budayawan/seniman Jambi?
Kebudayaan tidak bisa diartikulasikan sebatas pelaksanaan kegiatan rutin-tahunan
yang ujung-ujungnya berebut “proyek” baik itu yang bersumber dari APBN maupun
APBD. Bagi saya, peta jalan pemajuan kebudayaan itu berarti tersedianya cetak
biru (master plan) pemajuan kebudayaan Jambi, yang terintegrasi antar pelbagai
sektor pembangunan sesuai urusan dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah pemerintah pusat maupun pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pemajuan kebudayaan juga tidak cukup berhenti sebatas melestarikan situs
Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarojambi yang kini sedang direvitalisasi
secara besar-besaran melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek,
dengan dukungan APBN sebesar hampir 1,5 triliun rupiah. Itu artinya, peta jalan
pemajuan kebudayaan Jambi meniscayakan gagasan interkoneski antara 9 kabupaten
dan 2 kota di Provinsi Jambi dalam satu kesadaran dan gerakan bersama. Kemudian,
peta jalan pemajuan kebudayaan Jambi melampui kerja pencatatan-administratif seperti
selama ini dikerjakan perangkat daerah bidang kebudayaan meliputi jumlah
pengunjung museum, jumlah wisatawan domestik dan mancanegara, jumlah situs,
warisan budaya tak benda dan pendaftaran karya ke HAKI, jumlah rumah makan,
hotel, biro perjalanan pariwisata, pemasaran dan promosi wisata, produksi dan
penonton teater, fesival budaya, serta sebaran kantong-kantong kesenian di
kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi Jambi.
Regulasi Bidang Kebudayaan
Pemerintah Provinsi Jambi bersama DPRD Provinsi Jambi telah mengesahkan
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2023 Tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Melayu Jambi (revisi atas perda nomor 7 tahun 2013) sekaligus mengafirmasi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Begitu juga Perda
Tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (Ripparprov) Provinsi Jambi Tahun 2016-2031 yang ditetapkan
November 2018 meliputi Visi, Misi, dan Sasaran; Pembangunan Kepariwisataan;
Pembangunan Destinasi Pariwisata Provinsi; Pembangunan Pemasaran Pariwisata
Provinsi; Pembangunan Industri Pariwisata Provinsi; Indikasi Program
Pembangunan Kepariwisataan Provinsi; Pengawasan dan Pengendalian.
Sejalan dengan amanat pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang
Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Provinsi Jambi juga telah menyusun Pokok
Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) sebagai landasan dalam menyusun
kebijakan-kebijakan strategis bidang kebudayaan yang bertujuan utama untuk
peningkatan ketahanan budaya dan peningkatan kesejahteraan rakyat. PPKD
tersebut memuat keadaan terkini dari perkembangan objek pemajuan kebudayaan di
Kabupaten/Kota dan Provinsi; sumber daya manusia kebudayaan, lembaga kebudayaan,
dan pranata kebudayaan di Kabupaten/Kota dan Provinsi; sarana dan prasarana kebudayaan
di Kabupaten/Kota dan Provinsi; serta potensi masalah pemajuan kebudayaan.
Pembentukan peraturan daerah tersebut di atas perlu diapresiasi. Pangkal
masalahnya adalah sejauhmana implementasinya sampai sekarang? Adakah evaluasi
menyeluruh dengan melibatkan para stakeholder
terkait selama ini? Di situlah keraguan sekaligus kritik dari budayawan/seniman
menemukan relevansinya untuk dicakap-renungkan kembali. Saat yang sama,
regulasi tingkat daerah tersebut perlu disingkronisasi kembali sejalan dengan Peraturan
Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi
Jambi 2021-2026, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi
Jambi 2025-2045 maupun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi
2023-2043.
Bertolak dari hal itu, calon Gubernur Jambi periode 2024-2029 mesti
memiliki kesadaran sekaligus komitmen yang tinggi terhadap pengarusutamaan
kebudayaan. Sekalipun tidak mengerti detail isu-isu seputar kebudayaan, calon
Gubernur Jambi bersama kabinet kerja yang dibentuknya kelak diharapkan bisa menjalankan
visi-misi, program prioritas dan strategi pemajuan kebudayaan melalui berbagai
terobosan dengan dukungan aktif dari pelbagai komponen masyarakat, terutama
budayawan/seniman.
Kesadaran demikian itu perlu diamplifikasi sehingga arah kebijakan yang dibuat
para ahli perencanaan pembangunan bersenyawa dengan konteks geografi, sejarah, budaya
dan struktur sosial masyarakat. Puncaknya, apapun program dan kegiatan
prioritas yang dijanjikan Gubernur terpilih ke depan, apatahlagi dengan
mengatasnamakan percepatan pembangunan daerah yang memprioritaskan investasi
besar-besaran maupun program mercusuar lainnya, jangan sampai mencerabut akar
historis-budaya masyarakat di wilayah Provinsi Jambi.
Kebudayaan adalah seperangkat nilai, sistem berpikir, berpengetahuan,
dan berhukum yang digunakan untuk kelangsungan hidup suatu komunitas masyarakat
yang tumbuh, berkembang dan berjumpa dengan pelbagai pandangan sekaligus
ekspresi kebudayaan dengan daerah-daerah di luarnya dalam lintasan sejarah yang
panjang. Dengan demikian, peta jalan pemajuan kebudayaan Jambi yang dimaksud
harus berangkat dari kesadaran tersebut.
Indeks Pembangunan Kebudayaan
Dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, pembangunan bidang kebudayaan
Provinsi Jambi tidak buruk-buruk amat, meski juga belum begitu membahagiakan.
Dengan kata lain, masih banyak pekerjaan rumah ke depan yang menuntut kerja
cerdas dan militan dari seorang Gubernur terpilih bersama kabinet kerja yang
dibentuknya, bukan asal jalan.
Secara nasional, skor Indeks Pembangunan Kebudayaan (IKP) Provinsi Jambi
tahun 2023 sebesar 58,92 atau masuk kategori cukup (rentang 40-60) dengan tujuh
dimensi utama IPK yaitu ekonomi budaya sebesar 42, pendidikan sebesar 70,82, ketahanan
sosial budaya sebesar 75,09, warisan budaya sebesar 53,53, ekspresi budaya
sebesar 31,43, budaya literasi sebesar 62,11 dan gender sebesar 55,68.
Tujuh dimensi IPK tersebut bertolak dari 31 indikator yang disusun oleh
Kemendikbudristek RI. Capaian skor IPK Provinsi Jambi 2023 meningkat lebih baik
dibanding 2022 yaitu sebesar 54,38 (di urutan 18 secara nasional) dan IPK 2021
sebesar 52, 39 (di urutan 15 secara nasional). Peningkatan tersebut mengalami
fluktuasi jika merunut IPK ke belakang mulai dari tahun 2020 sebesar 52,86,
tahun 2019 sebesar 54,61, dan tahun 2018 sebesar 53,18.
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) disusun sebagai salah satu instrumen
untuk memberikan gambaran kemajuan pembangunan kebudayaan yang dapat digunakan
sebagai basis formulasi kebijakan bidang kebudayaan, serta menjadi acuan dalam
koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan baik pemerintah
pusat maupun daerah.
Sejauh ini, korelasi fundamental melalui tujuh dimensi dalam penyusunan
IPK itu belum mendapat perhatian yang cukup dalam diskursus pembangunan
kebudayaan, apatahlagi bagi kalangan penyelenggara pemerintah daerah, khususnya
bidang kebudayaan. Padahal, terdapat hubungan yang cukup antara dimensi ekonomi
budaya IPK dengan tingkat kemiskinan. Temuan ini sejatinya mengajak kita untuk
merefleksikan dan bergerak secara bersama-sama bahwa kekayaan budaya yang
melimpah bukan hanya harta karun estetika, tetapi juga faktor kunci dalam upaya
pengentasan kemiskinan.
Selanjutnya, dimensi ketahanan sosial budaya IPK terkait erat dengan
kerukunan umat beragama. Ini bukti nyata bahwa keberagaman budaya dan kekuatan
sosial budaya di negeri ini merupakan fondasi bagi kerukunan dan toleransi. Lalu,
adanya hubungan yang cukup antara dimensi ekspresi budaya IPK dengan kebebasan sipil.
Kekayaan budaya (benda-tak benda) dan ekspresi mencerminkan dan sekaligus
menguatkan kebebasan sipil. Dengan kata lain, kebebasan berekspresi dan
berkreasi merupakan indikator kesehatan demokrasi.
Pelbagai dimensi dalam penentuan IPK tersebut bukan sekedar data atau statistik
belaka. Indeks Pembangunan Kebudayaan menjadi refleksi sekaligus evaluasi dari
realitas sosial, ekonomi, dan politik sehingga hasil ini diharapkan dapat
membantu para pengambil kebijakan bersama para aktor kebudayaan lainnya dalam merumuskan
peta jalan pemajuan kebudayaan berbasis pengetahuan (evidence-based policy).
Dengan demikian, perencanaan pembangunan kebudayaan yang disusun menjadi lebih
tepat dan sesuai dengan keadaan di setiap wilayah.
*Kota Jambi, 29 September 2024. Tulisan ini terbit pertama kali di portal jamberita.com dan portal Pusat Kebudayaan Jambi.
*Tulisan saya lainnya seputar isi kebudayaan berikut ini:
- Polemik di Balik Gelar Adat Melayu Jambi (2024)
- Apa dan Kenapa MWCF Jambi? (2024)
- Batu Bara sebagai Persoalan Kebudayaan: Sebuah Autokritik (2024)
- Festival Literasi Jambi, Dari Militansi ke Retrospeksi (2023)
- Di Balik Layar Beranda Budaya TVRI Jambi (2022)
- Di Balik Panggung Pemilihan Bujang-Gadis Jambi (2022)
- Quo Vadis Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi (2022)
- Duta Baca Prov Jambi, Kerja Apa? (2021)
- Mengenal Dr. Fiona Kerlogue dan Batik Jambi (2021)
- Profesor Bill Watson dan Kerinci (2021)
- Quo Vadis Dewan Kesenian Jambi (2020)
- Djang Aisjah Muttalib dan Penelitian Sejarah Sarikat Abang di Jambi (2020)
- Maryam dan Anugerah Maestro Seni Tradisi (2019)
- Menyoal Warisan Budaya Tak Benda Prov Jambi (2018)
- Quo Vadis Taman Budaya Jambi (2017)
- Jambi TUNTAS Defisit Kebudayaan (2016)
- Melampaui Kekisruhan FIB Universitas Jambi (2016)
- Pilgub Jambi: Pariwisata Tunabudaya (2015)
- Kabut Asap dan Ekonomi Tunabudaya (2015)
- Malam Keagungan Melayu Jambi dan Hal-Hal Yang Belum Selesai (2015)
- Jambi EMAS Minus Kebudayaan (2014)
- Urgensi Konferensi Studi Jambi (2013)
- Revitalisasi Budaya Lokal Jambi, Sebuah Catatan (2011)
0 Komentar