Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan: Sebuah Otokritik

Aktivitas tambang batu bara

Oleh: Jumardi Putra*

Segalanya menjadi demikian jelas. Sekalipun lapangan usaha tambang dan galian, termasuk batu bara di dalamnya, menjadi penopang nomor dua struktur perekonomian Jambi tahun 2022 dengan porsi 19,29 persen, di bawah lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 30,25 persen, kontribusi sektor tambang batu bara di Jambi masih belum sebanding dengan besarnya beban lingkungan, ekonomi, sosial dan resiko keselamatan warga yang melibatkan transportasi batu bara di jalan-jalan publik.

Di sisi lain, tata kelola sumber daya alam di Jambi juga dihadang oleh tambang-tambang liar serta industri ekstraktif lainnya yang kian masif. Meski target maupun realisasi produksi batu bara dua tahun terakhir menurun dan masih jauh dari target yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), itu bukan berarti cadangan batu bara Jambi yang mencapai 1,9 miliar ton, yang tersebar di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jambi bebas dari potensi kerusakan alam seiring tingginya permintaan batubara dari negara-negara lain. Apatah lagi, kran investasi di bidang sumber daya alam dibuka secara besar-besaran sejalan upaya pemerintah pusat menggenjot sumber penerimaan negara dari sektor energi tak terbarukan (non-renewable) itu (baca di sini: https://jamberita.com/read/2023/03/22/5977441/polemik-angkutan-batu-bara-dan-halhal-yang-tak-selesai).

Sebagai negara berkembang, investasi menjadi tidak terelakkan untuk melakukan percepatan dan pemerataan pembangunan, namun pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi Jambi dan kabupaten penghasil batu bara seperti Sarolangun, Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, dan Tanjungjabung Barat, harus mempertegas penerapan tanggung jawab investor agar tidak berlarut-larut membebani keuangan daerah sekaligus memastikan jaminan keberlangsungan alam, lingkungan dan kebangunan ekonomi warga tempatan. Begitu juga kewajiban bagi pemegang IUP maupun IUPK membangun jalan khusus batu bara sehingga tidak lagi memakai jalan umum, yang nyata-nyata telah menghambat mobilitas penduduk dan membuat roda ekonomi bergerak lamban.

Batu bara sekarang ini telah menjadi kosakata warga Jambi sehari-hari. Ia dipercakapkan mulai dari obrolan ala warung kopi sampai ke meja diskusi, dialog di tivi-tivi, obrolan lepas di media sosial facebook maupun grup aplikasi perpesanan Whatsapp, hingga warna-warni wicarana di pelbagai media baik cetak maupun online. Umumnya obrolan seputar batu bara tersebut melulu dilihat menggunakan kacamata ekonomitrik semata. Betapa angka-angka yang menunjukkan korelasi positif keberadaan industri batu bara bagi pertumbuhan ekonomi daerah Jambi-tentu sejauh sudut pandang serta kepentingan yang melegitimasi-, sejatinya belum sepenuhnya berhasil menangkap dimensi psikologi masyarakat provinsi Jambi yang terjerembab dalam kegalauan tak berkesudahan lantaran ekses dari aktivitas industri ekstraktif “mutiara hitam” tersebut.

Ambil misal, data BPS provinsi Jambi menyebutkan per Maret tahun 2022 jumlah penduduk miskin di provinsi Jambi menjadi 7,62%, relatif kecil dibandingkan rata-rata tingkat nasional yang mencapai 9,54%. Begitu juga Indeks Keparahan Kemiskinan cenderung menurun dari 0,302 pada Maret 2021 menjadi 0,260 pada Maret 2022. Muncul pertanyaan, sejauhmana angka-angka tersebut berkorelasi langsung sebagai wujud timbal balik dari kehadiran industri batu bara di provinsi Jambi, padahal faktanya kinerja sektor pertambangan bukan seperti sektor pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja.

Laporan Sakernas Agustus 2022 menunjukkan, tiga lapangan pekerjaan di provinsi Jambi yang menyerap tenaga kerja paling banyak adalah pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 47,96 persen, disusul perdagangan besar dan eceran sebesar 14,49 persen, dan selanjutnya industri pengolahan sebesar 5,25 persen. Dibandingkan Agustus 2021, hampir semua lapangan pekerjaan mengalami peningkatan, dengan peningkatan terbesar pada lapangan pekerjaan pertanian, kehutanan dan perikanan (60,57 ribu orang), industri pengolahan (11,32 ribu orang), pengangkutan dan pergudangan (5,24 ribu orang). Sementara lapangan pekerjaan perdagangan besar turun sebesar 11,9 ribu orang, pertambangan turun sebesar 7,5 ribu orang dan administrasi pemerintahan turun sebesar 5,98 ribu orang. Singkatnya, sektor pertambangan tergolong di urutan terbawah menyerap tenaga kerja.

Data statistik itu memang diperlukan sebagai panduan untuk memahami dan membuat kebijakan pemerintah-disayangkan bila kebijakan tersebut ansikh menggunakan pendekatan teknokratik, tidak diselaraskan dengan pendekatan politik, partisipatif, top down dan bottom up. Apa sebab? Seringkali angka-angka itu membuat pemerintah terlena, bukan karena data itu keliru, tetapi lebih karena ia tidak mampu menangkap inti paling dalam dari permasalahan yang melingkupi pelbagai ekses aktivitas industri tambang batu bara bagi masyarakat di wilayah provinsi Jambi. Dengan kata lain, angka-angka tersebut baru menunjukkan halaman depan ekonomi Jambi, belum menyentuh bagian dalam dan belakang-untuk menyebut “seisi rumah perekonomian” provinsi Jambi.

Sejurus hal itu, untuk sampai pada bagian terdalam dan belakang guna memahami dinamika perekenomian masyarakat Jambi, diskursus batu bara di kalangan para sarjana masih saja tekun menyebarkan capitalistic mainstream neoclassical economics. Kondisi demikian seolah menegaskan civitas akademika saat ini terperangkap dalam ortodoksi kurikulum konvensional yang lebih mengetengahkan "daulat modal" dan "daulat pasar” daripada mengutamakan "daulat rakyat”.

Di titik ini, aktivitas tambang batu bara, sebagaimana jenis industri ekstraktif lainnya, menjadi persoalan kebudayaan dikarenakan gagasan laissez faire tidak dapat dibenarkan karena ketidakmanusiawinya, sarat dengan materialisme, mengetengahkan nafsu dominatif dengan semangat berkompetisi dan berkelahi untuk menang, munafik serta tidak peduli terhadap tuntutan keadilan. Saat yang sama, konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan tambang di provinsi Jambi masih banyak belum terselesaikan, dan itu bisa menyulut konflik sosial yang lebih besar bila tidak segera dicarikan solusi secara komprehensif.

Di tengah anomali tersebut, baik perguruan tinggi sesuai tri dharmanya dan lembaga-lembaga kebudayaan yang selama ini mendeklarasikan sebagai kawah candradimuka sekaligus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kehidupan, sebut saja seperti Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi baik tingkat provinsi maupun kabupten, Kesultanan Melayu Jambi (Pelestarian), komunitas seni budaya baik secara kelembagaan maupun individu, tampak abai (kalau bukan absen) menyikapi problem struktural tata kelola industri batu bara dan ekses yang ditimbulkannya di wilayah provinsi Jambi.

Suara-suara dari perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga kebudayaan tersebut sangat diperlukan sebagai upaya mempertemukan (kalau bukan menguji) “public reasoning” antara kebijakan pemerintah, investasi dan kepastian kesejahteraan bagi masyarakat seraya memastikan segala bentuk akvitas industri ekstraktif di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah harus menjaga harmoni dengan alam sebagai kerabat yang penuh dengan nilai dan pesan moral, sebagaimana tercermin dalam Seloko Melayu Jambi, “Tebasnya tidak menghabiskan, tebangnya tidak memusnahkan dan bakarnya tidak membinasakan”. Dengan kata lain, manusia harus belajar kembali melihat alam sebagai komunitas etis, yang berpadu-padannya sistem sosial dan sistem alam, sehingga alam tidak dilihat semata-mata untuk dieksploitasi demi memuaskan dahaga kerakusan.

Segala daya upaya (katanya) telah dikerahkan oleh pemerintah daerah. Meski telah berganti rezim kepala daerah, persoalan seputar batu bara belum sepenuhnya tuntas. Begitu juga konsepsi ideal pengelolaan industri ekstraktif agar ramah lingkungan serta kepastian peningkatan ekonomi warga sekitar perusahaan diklaim telah diimplementasikan sebagaimana semestinya. Namun, di tengah usaha dan optimisme pemerintah serta berbagai unsur masyarakat yang terus menerus itu, sulit disangkal bahwa kebumian kita dan ke-alam-an kita sebagai manusia acapkali tunduk karena sihir modal yang mengalir deras dari kaum pemodal, sehingga membuat para pembuat peraturan perundang-undangan sekaligus pengambil kebijakan di republik ini gagal mengejewantahkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3) berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Akhirnya, batu bara sebagai persoalan kebudayaan bukan semata koreksinya terhadap sistem kapitalisme yang tengah merasuki tata kelola sumber daya alam di republik ini, tetapi juga kritik terhadap absurd-nya mutu pemimpin dan kaum elit di republik ini lantaran mudah disetir oleh kekuatan modal.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal www.jamberita.com dan portal www.kajanglako.com

0 Komentar