Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik

Forum dialektika selasar JISIP Universitas Jambi

Oleh: Jumardi Putra*

Gaspollll. Berselang satu jam lepas shalat Jumat, dari arah Beliung Patah saya bergegas menuju kampus oranye, julukan Universitas Jambi, di Mandalo. Tersebab mengendarai motor, saya lebih leluasa melewati lalu lalang kendaraan di sepanjang jalan. Langit sedang teriknya, sehingga sengatan matahari pun terasa di kulit badan. Lebih kurang 30 menitan jarak tempuh yang saya lalui untuk sampai di laman gedung Jurusan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jambi, sebuah bangunan dominan warna putih yang diapit oleh Gedung Fakultas Hukum dan Ekonomis-Bisnis.

Apa yang membahagiakan dari sebuah forum diskusi di sebuah kampus di siang terik? Tentu bukan hanya perjumpaan fisikal antar sesama civitas akademika, melainkan berbagi pandangan tentang topik diskusi yang dianggit Jurusan Ilmu Sosial dan Politik (JISIP) yaitu Demokrasi di Titik Nadir: Membaca Ulang Persinggungan Kaum Cendekiawan dan Politik.

Apa iya demokrasi di titik nadir? Saya tidak segera menjawab, tetapi sulit menyangkal bahwa pilihan topik itu sangatlah relevan mencermati dinamika politik nasional kiwari. Saat yang sama, kampus pun perlahan-lahan mengalami delegitimasi sebagai tempat yang menghadirkan ide maupun gagasan pencerahan di tengah kondisi negeri yang tidak baik-baik saja.

Lantaran diskusi belum mulai, segera saya menemui Bung Rio Maulana, sang Ketua Jurusan JISIP, yang seminggu sebelum ini menghubungi saya lalu meminta mengisi diskusi Dialektika Selasar, sebuah forum yang diinisiasi sebagai mimbar terbuka bagi civitas akademika JISIP UNJA untuk mempercakapkan pelbagai persoalan negeri ini, tak terkecuali Jambi, dengan format lebih santai, menjunjung prinsip egalitarian seraya tetap menjaga bobot substansi permasalahan yang dianggit.

Selain itu, yang jauh lebih penting adalah, di luar format diskusi lainnya yang sudah ada di JISIP, Dialektika Selasar diniatkan sebagai titik temu bagi para pihak, tidak hanya mereka yang datang dari latar belakang kesarjanaan (kampus), tetapi juga individu-individu di luar kampus yang memiliki rekam jejak kontribusi pada bidang lintas disiplin keilmuan dan pengalaman kongkrit mengadvokasi isu-isu publik yang berkait erat dengan problem struktural di ranah sosial, politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan lingkungan. Tersebab satu isu dan isu lainnya akan selalu berkelindan, maka mendialektikakannya adalah jalan kebudayaan yang mesti ditempuh untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan analisa maupun sudut pandang atas pelbagai persoalan yang menggejala di tengah masyarakat.

Gayung bersambut, diskusi yang menghadirkan saya sekaligus Bung Dwi Rahariyoso, dosen filsafat JISIP UNJA siang hari itu adalah diskusi perdana di bawah bendera “Dialektika Selasar”. Michael Lega, moderator sekaligus dosen JISIP UNJA mengatakan sebenarnya forum semacam ini bukan kali pertama. Hanya saja sejak Pagebluk Covid-19 wadah diskusi “Kamisan” Fisipol UNJA ini stag. Nah, kali ini semangat forum Kamisan itu kembali dimunculkan dengan nama baru yaitu Dialektika Selasar.

Sebagai pribadi yang pernah menjadi mahasiswa di Jogja, dengan segala idealisme dan pernak-pernik plus romantikanya, saya mengapresiasi forum diskusi semacam ini. Semoga tetap bertahan di tengah gersangnya percakapan bermutu baik di dalam maupun di luar kampus sekarang ini. Obrolan serius itu kini telah berganti menjadi obrolan pragmatis-oportunistik. Singkatnya, hemat saya, para dosen lah yang mesti menjadi teladan bagi tumbuh suburnya tradisi akademik di sebuah kampus, tidak terkecuali melalui forum dialektik ini. Memang, faktanya Kampus-kampus besar selalu ditandai dengan kehadiran tradisi akademik yang kuat baik itu berupa lahirnya lembaga-lembaga studi serta didukung publikasi hasil penelitian maupun pengabdian yang dikerjakan sungguh-sungguh dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat dan pelbagai stakeholders lainnya. Melalui tradisi ini, semoga mahasiswa terpicu untuk terlibat dan menjadi bagian penting dari proses transmisi pengetahuan.

“Benarkah demokrasi di titik nadir?” Begitu saya memantik diskusi siang itu. Peserta diskusi berhak berseberangan pendapat dengan saya, selagi didukung data, argumentasi dan serangkaian analisa yang relevan dengan topik diskusi. Faktanya, Corruption Perception Index (CPI) atau yang dikenal dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2023 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Skor 34/100 ini sama dengan skor CPI 2022 lalu. 

Merujuk hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) terkait tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara pada medio Desember 2023, diketahui bahwa DPR berada di urutan kesembilan dengan nilai sebesar 56,2 persen, atau berada jauh di bawah TNI (91,2%), Presiden (86,1%), Kejaksaan Agung (73,8%), Mahkamah Agung  (73,5%), Mahkamah Konstitusi (67,3%), Polisi (65,5%), DPD (60,4%), dan KPK (58,8%). Bahkan, rilis hasil survei Indikator Politik tingkat kepercayaan publik dan tren kepercayaan publik periode 30 Desember 2023 – 6 Januari 2024 terhadap lembaga negara menempatkan DPR RI di posisi 10 atau sebesar 64,8%. Jauh berada di bawah TNI di posisi teratas (89,3%), disusul Presiden (86,7), Kejaksaan Agung (76,2%), Polri (75,3%), Pengadilan (75,2%), Mahkamah Konstitusi (70,8%), KPK (70,3%), MPR (70%), DPD (68,3%).

Begitu juga Pilkada di daerah-daerah berlangsung jumud. Apa sebab? Obrolan seputar Pilkada belum mengarah pada percakapan filosofis-paradigmatik-programatik. Saat yang sama, urusan publik dan seabrek teori pembangunan daerah menjadi tidak lagi bertaji. Bahkan, politik uang masih menjadi faktor penyumbang buruknya kualitas demokrasi di republik ini.

ilustrasi

Demokrasi di republik ini, terutama pasca 26 tahun usia reformasi, mendapat tantangan berat, terutama pada sektor Politik dan penyelenggaran Pemilu, Pileg dan Pilkada, Peradilan dan Penegakan Hukum, Ekonomi dan Bisnis serta Kebebasan dan Hak Sipil. Beberapa tahun terakhir publik bisa mencermati secara kritis bahwa sektor-sektor tersebut rawan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada praktik koruptif.  Dengan kata lain, bukan hanya lembaga eksekutif dan legislatif yang dirundung praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, tapi juga telah merambah ke jantung lembaga yudikatif. Kampus juga demikian. Jadi lembaga mana lagi yang bisa dipercaya publik saat ini?

Saat yang sama, makin pudarnya etika publik, khususnya bagi mereka yang diamanahi memegang jabatan publik di pelbagai level dan tingkatan di negeri ini. Terhadap yang temporer maupun yang dibatasi dan terbagi (eksekutif, legislatif dan yudikatif), kekuasaan dalam perjalanannya acapkali melupa (kalau bukan abai) pada unsur nilai (etika dan moralitas) serta idealisme yang semestinya menjadi cahaya terang dalam memandu tugas dan fungsi sebuah kekuasaan.

Kekuasaan kini telah dikerangkeng oleh relasi imperatif finansial, perjanjian oportunistik yang melandasi bagi-bagi jabatan dan kue kekuasaan di kalangan elit partai politik pasca Pilpres maupun Pilkada, oligarki dan dinasti bersamaan retradisionalisme kepemimpinan yang sarat feodalisme dan nepotisme dalam format kelembagaan modern. Parahnya lagi, tipu muslihat demikian itu kerap dengan mengatasnamakan demi stabilitas politik nasional untuk percepatan pembangunan. Bukankah dalam kondisi demikian, demokrasi di negeri ini berada di titik nadir?

Menyadari politik dan jalur hukum tidak lagi sepenuhya menjadi jalan alternatif untuk memperjuangkan perubahan fundamental di republik ini, maka di situlah kritisisme kaum cendekiawan menemukan lapangannya. Nah, siapa cendekiawan? Di hadapan peserta diskusi saya mengatakan bahwa tidak semua akademisi layak disebut cendekiawan. Ia juga bukan hanya ditentukan pemegang kartu kredensial berlatar belakang kesarjanaan (kampus). Secara sosiologis ia bisa datang dari lapangan yang luas, melampaui sekat-sekat pagar perguruan tinggi. Kecendekiawanan bagi saya adalah tentang dedikasi sekaligus keberpihakan pada nilai-nilai yang tumbuh sekaligus berkembang dalam tradisi kecendiakaan yang teruji di lintasan waktu yang panjang. Ia adalah juga makhluk praksis-menyejarah, bukan manusia "berumah" di atas awan. 

Dengan demikian, bagi kaum cendekiawan, terlibat dalam kekuasaan ialah sebuah panggilan untuk memperjuangkan dan membela nilai-nilai mutlak dan abadi kemanusiaan. Nilai-nilai itu intrinsik dalam diri manusia, yakni martabat dan harkat manusia yang terungkap dalam nilai-nilai derivatif, seperti kebebasan, keadilan, kerja, politik, dan teknik.

Sejurus kemudian, tugas berat bagi kaum cendekiawan yang terlibat dalam kekuasaan harus menampakkan dirinya sebagai sungguh-sungguh cendekiawan serentak penguasa yang tercerahkan, bukannya sebagai petualang politik yang ingin menikmati segenggam kekuasaan. Meskipun sudah menjadi pemegang kekuasaan, fungsi melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat tetap harus dijalankan.

Di antara banyak literatur yang membicarakan tentang persinggungan kaum cendekiawan dan politik, saya menyebutkan beberapa pandangan intelektual ternama, sebut saja seperti Julien Benda, intelektual Prancis, yang mengafirmasi adanya pemisahan yang tegas antara cendekiawan dan politik. Menurut Benda (1997), ialah sebuah bentuk pengkhianatan kaum cendekiawan apabila mereka terlibat dalam kancah politik (kekuasaan) dan mengabdikan diri pada kegiatan politik praktis, lalu melupakan tugasnya sebagai penjaga moral.

Selanjutnya, sosiolog kelahiran Hungaria yaitu Karl Mannheim, yang menuduh cendekiawan yang tidak terlibat dalam kerja-kerja praksis sebagai pengkhianat. Cendekiawan seperti itu pantas dicap pengkhianat karena hanya bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya (Karl Mannheim, 1936). Begitu juga Antonio Gramsci yang mengatakan dengan tegas bahwa seorang cendekiawan bertugas menghubungkan ketidakpuasan individual ke dalam bentuk aktivisme sosial kolektif (Antonio Gramsci, 1978). Menurutnya, dengan segenap ilmunya kaum cendekiawan mampu membawa pergerakan yang nyata serta menjadi agen perubahan sosial. Mereka harus mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu meskipun menghadapi tekanan dan ancaman. Pandangan tersebut, saat saya masih mahasiswa kerap disebut sebagai intelektual organik.

foto bersama usai diskusi

Selain tiga nama tersebut, ada juga Edward Said, profesor literatur dari University of Colombia, dalam bukunya Representation of the Intellectual menulis bahwa kaum cendekiawan ialah orang yang cakap mengatakan hal-hal oposisional sedemikian rupa. Ia bebas, independen, tak berada dalam sistem (Edward Said, 1996). Itu artinya, martabat seorang cendekiawan idealnya terikat dengan sense of morals and ethics. Ia harus memperjuangkan the common good, ranah kebenaran, kejujuran, keadilan, cinta kasih, pemerdekaan, dan perdamaian. Tak hanya bergerak di balik meja, ia perlu bergerak di luar. Pandangan begini kerap dilontakan Rocky Gerung di pelbagai forum diskusi baik di mimbar kampus maupun kanal youtube serta talk-shaw politik di layar tivi.

Seraya hal di atas, di hadapan civitas akademika maupun mahasiswa JISIP, saya menyebut beberapa tokoh penting dalam sejarah perjalanan republik ini, untuk menyebut contoh seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, Tirto Adhi Soerjo, Wiji Tukul, Chairil Anwar, Soe Hok Gie, Soedjatmoko, Kuntowijoyo, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, WS. Rendra, Daniel Dakidae, dan Syafii Maarif. Sayangnya, mahasiswa JISIP umumnya tidak tahu nama tokoh-tokoh tersebut.

Begitulah, sesuatu yang umumnya menggejala pada generasi milenial, apalahtagi Gen Z. Sekalipun begitu, saya tidak pesimis. Kerja akademik harus terus berjalan. Kerja-kerja peradaban berbasis pada etika, akal sehat dan ide-ide tentang republik di dalam maupun di luar kampus mesti berlanjut. Maka, keberadaan kaum cendekiawan yang bersikap kritis pada kekuasaan di level dan tingkatan apapun adalah jalan yang disediakan oleh demokrasi agar ia tidak mudah lupa, apalagi abai. Sistem demokrasi harus dimaknai sebagai sarana antar warga negara untuk memastikan jalannya prinsip maupun tujuan demokrasi itu sendiri. Substansi demokrasi adalah memperkuat posisi daya tawar rakyat untuk hidup sejahtera berhadapan dengan kekuasaan yang jika tidak terkontrol cenderung menindas (over-kriminalisasi).

Siapapun di negeri ini, terutama kaum cendekiawan perlu menghadirkan ruang-ruang dialog kritis-substantif guna menjamin pemimpin di segala tingkatan dan level benar-benar berjuang untuk menciptakan kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Dengan demikian, antara kritik dan demokrasi tidak bisa dipisahkan. Demokrasi lahir dari kritik kepada elit kekuasaan dan tumbuh kembangnya demokrasi juga karena berjalannya tradisi kritik. Dalam konteks demikian itu, kaum cendekiawan mesti berada.


*Kota Jambi, 25-26 Oktober 2024.


*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:

1) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?

2) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan

3) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan

4) Persoalan Fundamental di Ujung Kepemimpinan Al Haris-Sani

5) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi

6) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023

7) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024

8) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023

9) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023

10) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024

11) Meneroka Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023

12Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan

13) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan

14) Mengantar Al Haris-Sani Ke Gerbang Istana

15) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi

16) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi

17) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi

18) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai

19) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik

20) Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Oktober


0 Komentar