100 Tahun AA Navis: Warisan Inspirasi bagi Generasi Muda

Gelar Wicara 100 Tahun AA Navis

Tahun ini, dunia sastra Indonesia menyambut 100 tahun kelahiran Ali Akbar Navis yang oleh UNESCO juga ditetapkan sebagai perayaan internasional. Rangkaian peringatan yang digelar di sejumlah daerah itu sekaligus hendak menularkan semangat membangun lewat sastra bagi generasi muda.

Kontribusi karya AA Navis telah mendapatkan penghargaan dunia. Sampai-sampai hari lahirnya pada setiap 17 November ditetapkan sebagai perayaan internasional. Namun, penghargaan itu masih terasa sunyi di negerinya sendiri. Banyak anak muda justru tak mengenal sosok dan warisan karya-karyanya. Hal inilah yang tercuat pada Gelar Wicara ”Membaca AA Navis dalam Perjalanan Sastra Indonesia” yang digelar Kantor Bahasa Provinsi Jambi (KBPJ), Rabu (23/10/2024).

”Banyak orang, khususnya anak-anak muda, belum mengenal AA Navis,” kata Adi Budiwiyanto, Kepala KBPJ.

Geavila, siswa SMAN 5 Kota Jambi, pun mengaku dirinya baru mendengar nama AA Navis. Selama mengikuti kegiatan belajar-mengajar di sekolah, ia hanya diperkenalkan oleh segelintir sastrawan oleh guru bahasa Indonesia. ”Selama tiga tahun, saya hanya diperkenalkan tiga sastrawan oleh guru bahasa sehingga kami tidak pernah mengetahui AA Navis beserta karya-karyanya,” ujarnya.

Dalam gelar wicara yang dipandu Mutia Zurhaz itu, hadir sebagai pemateri adalah penulis Jambi, Meliana Tansri; dosen sastra Dwi Rahariyoso; jurnalis Suwandi; dan Jumardi Putra dari Pusat Kebudayaan Jambi.

Jumardi membenarkan ada kecenderungan generasi muda lebih tertarik dengan jenis bacaan populer dan praktis. Tak banyak lagi yang memiliki ketertarikan pada dunia sastra sebagai alat penyampai pesan, kritik, dan refleksi atas kondisi yang terjadi.

Ia sendiri mengagumi karya-karya AA Navis yang berani mengangkat isu-isu sensitif dalam masyarakat dengan cara yang cerdas. Ia pun membawakannya dengan gaya khas satirnya sampai-sampai ia berjuluk sastrawan satiris ulung. Ia memanipulasi fonologi dan semantik yang kemudian menimbulkan efek humor. “AA Navis mahir menggunakan humor sebagai alat penyampai kritik,” katanya.

Ia juga kerap mengangkat budaya lokal dalam isi ceritanya. Hampir di seluruh karyanya berlatar belakang budaya Minangkabau, tetapi pesan yang disampaikan dalam cerita Navis tetap universal.

Cerita pendek Robohnya Surau Kami (RSK) yang dimuat majalah Kisah tahun 1955 melejitkan nama AA NAvis. Pada tahun itu, RSK sekaligus terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Kisah bersama cerpen Subagio Sastrowardoyo berjudul Kejantanan di Sumbing dan Nh Dini (Dua Dunia). (Kompas, 7 Oktober 1992).

Sastrawan AA Navis

Cerpen ini melambungkan nama Navis ke panggung sastra Indonesia. Bahkan, Presiden RI melalui Menteri Pendidikan Nasional sampai menyematkan penghargaan Satyalencana Kebudayaan kepada AA Navis atas karya RSK.

Dalam perjalanannya, karya AA Navis terus bertebaran, di antaranya Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), serta novel Kemarau (1964), dan Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (1970). Beberapa dari karyanya ini telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis.

Di harian Kompas, cerpen karya Navis pun kerap memenuhi rubrik budaya khususnya pada era 1990-an. Cerpennya antara lain Penumpang Kelas Tiga (1995), Maria (1996), Penangkapan (1996), Perempuan Itu Bernama Lara (1997), Tamu yang Datang di Hari Lebaran (1998), dan Marah yang ”Marasai”(1998).

Selain RSK, cerpen Jodoh juga meraih penghargaan internasional ”Kincir Emas” dari Belanda pada 1975. Cerpen itu dinilai telah dapat mewakili warna lokal budaya di Sumatera Barat yang mewakili ciri-ciri unik keindonesiaan. Sebelumnya, kumpulan cerpen Saraswati dalam Sunyi mendapatkan penghargaan UNESCO pada 1967.

Adi pun menilai AA Navis bukan hanya seorang penulis, melainkan juga seorang pemikir yang berani menyuarakan pandangan kritis terhadap berbagai aspek sosial, budaya, dan kehidupan beragama. Karya-karyanya, yang terkenal dengan kekuatan satire dan kritik sosial yang tajam, tetap relevan hingga kini.

Sebagai penulis Robohnya Surau Kami, AA Navis memperlihatkan bahwa sastra bukan sekadar keindahan kata, melainkan juga alat untuk menyentuh hati nurani, mengajak pembaca merenung, dan mempertanyakan realitas di sekitarnya.

Melalui ceritanya, Navis mengingatkan untuk tidak terlena pada dogma dan rutinitas yang hampa, tetapi selalu berpikir kritis dan aktif terlibat dalam perbaikan sosial.

”Karena itulah, ia perlu diperkenalkan kepada anak-anak muda bahwa kita punya sastrawan dan pemikir yang luar biasa. Pesan-pesannya (dalam karya Navis) bisa dikontektualisasikan pada saat sekarang,” katanya lagi.

Peringatan ini diharapkan tak hanya menjadi ajang apresiasi. Yang lebih penting lagi agar menjadi ruang pembelajaran dan inspirasi bagi generasi muda dan masyarakat luas untuk terus berkarya dan melestarikan kekayaan sastra Indonesia.

*Berita di atas ditulis oleh jurnalis Irma Tambunan. Terbit pertama kali di Kompas.id tanggal 24 Oktober 2024. 

0 Komentar