Urgensi Konferensi Studi Jambi



Pidato Ilmiah Prof. John N. Miksick. ICJS1, 2103. Dok. DK-Jambi.

Oleh: Jumardi Putra*

Kroeber dan Kluckhohn adalah dua tokoh yang pernah menghitung, menganalisis, dan mengadakan klasifikasi definisi tentang “kebudayaan.” Keduanya berhasil mencatat, lebih kurang seratus enam puluh defenisi tentang kebudayaan.

Dalam tulisan yang singkat ini tidak mungkin bagi saya menyebut satu per satu pengertian “kebudayaan” yang ada. Namun, hemat saya, benang merah “kebudayaan” memuara pada sebuah pengertian, yaitu perwujudan yang kompleks, yang di dalamnya mengandung kepercayaan atau keyakinan, moral, hukum, adat istiadat, kesenian, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seorang sebagai anggota masyarakat.

Pengertian kebudayaan di atas akan memandu kita ke belantara budaya Jambi, yang dalam catatan Seloko: Jurnal Budaya, Dewan Kesenian Jambi, untuk menyebut beberapa, terdapat tujuh warisan budaya (tangible-intangible) yang potensial untuk dikaji dalam ruang studi yang terbuka lebar itu, yakni sejarah, adat, bahasa dan sastra, sungai Batanghari, Percandian Muarojambi, karya seni, busana, dan kuliner. 

Bukan itu saja, hasil Seminar Internasional Melayu Kuno 1992 di Jambi, kawasan Jambi (red-Batanghari), membuktikan salah satunya, peran ekonominya dalam konteks dunia sebagai salah satu bandar persinggahan dalam jalur maritime silk road. Bangsa-bangsa dari Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur pernah tinggal dan melakukan hubungan perdagangan maupun diplomatik di wilayah yang saat ini disebut sebagai Jambi. Bahkan, melalui seminar itu pula, para peneliti dari berbagai negara dan lintas disiplin ilmu menyebut pusat Melayu berada di Jambi (Batanghari).

Hal senada dikatakan sejarawan Leonard Y. Andaya, dalam konteks regional maupun internasional di masa lampau, Jambi memiliki latar belakang sejarah ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya yang cukup panjang. Dari segi etnis, Jambi merupakan salah satu sumber peradaban dan asal-usul orang-orang Melayu di Sumatera.

Sayangnya, jejak sejarah yang panjang dan keragaman budaya yang dimiliki Jambi tidak berbanding lurus dengan jumlah penelitian dan publikasi yang melingkupinya. Bahkan, di antara yang sedikit itu, didominasi oleh tulisan-tulisan peneliti asing.

Yang Terserak

Pada masa kolonial terdapat pusat kajian Zuid-Sumatra yang telah banyak melakukan penelitian, tak terkecuali tentang Jambi, seperti di jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) yang diterbitkan KITLV. Beberapa studi tentang Jambi yang diterbitkan BKI itu, untuk menyebut beberapa, yaitu kajian tentang Undang- undang Kesultanan Jambi dan studi-studi tentang Orang Rimba, yang di masa itu ditulis sebagai “Koeboe”.

Beberapa ditulis dalam konteks hubungan dengan kawasan di luar Jambi, ambil misal, Sriwijaya (O.W. Wolters, 1974); Menuju Sejarah Sumatera (Antony Reid, 2005); dan karangan William Marsden, History of Sumatra (1783). Melalui buku yang ditulis dengan standar yang sangat tinggi, cap Anthony Reid terhadap karya William Marsden, kita membaca Jambi hanya dibahas sedikit, yakni terkait Kerinci, Sungaitenang, Serampei (Serampas), Batang Aser (Batangasai), dan Pangkalanjambu. Itu pun dengan catatan, dalam menulis Jambi, Marsden tidak datang sendiri ke Jambi, melainkan mengandalkan catatan orang lain yang datang ke Jambi, yakni Charles Campbell (melalui surat-menyurat) dan Hasting Dare (catatan harian). Hal serupa kita jumpai dalam karangan Edwin M. Loeb, Sumatra: Its History and People (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1972), betapa Jambi hanya disebut sepintas dan sangat tidak memadai.

Studi penting tentang Jambi lainnya adalah karya antropolog C.W. Watson: Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatra (University of Kent, 1992); Barbara Watson Andaya menulis To Live as Brothers: Southeast Sumatra in Seventeenth an Eighteenth Centuries (1993); dan pada 1994 Elsbeth Locher-Scholten menulis Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907); serta Tideman  dan Sigar menulis buku berjudul Djambi pada 1938.

Buku penting tentang Jambi yang ditulis oleh peneliti dari dalam negeri, antara lain Jang disertasi Aisjah Muttalib di Universitas Columbia, Amerika Serikat, dengan judul Jambi 1900-1916: From War to Rebellion (1977). Pada 1992, Bambang Purwanto, yang kini menjadi profesor sejarah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menulis disertasi di SOAS, University of London, dengan judul From Dusun to Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra, 1890-1940. Berlanjut pada 1995, Muntholib, yang kini menjadi Guru Besar di IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, menulis disertasi tentang Orang Rimbo di Universitas Padjadjaran, dengan judul Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi.

Pada era 1980-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan turut menerbitkan beberapa buku tentang Jambi, antara lain Kesenian: Sastra Daerah Jambi; Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi; Dampak Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan pada Suku Bangsa Melayu Jambi; Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Jambi; Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Jambi; Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Jambi.

Pada kurun waktu yang sama, beberapa peneliti nasional lainnya, seperti Sukmono, Sartono, Slamet Mulyana, Mundarjito, Hasan Djafar, dan Bambang Budi Utomo, secara khusus berkonsentrasi pada kajian sejarah Melayu Kuno di Jambi, peradaban di sungai Batanghari, dan kawasan Percandian Muarojambi, dengan menitikberatkan pada pendekatan arkeologi, geomorfologi dan filologi.
Berbagai hasil penelitian dan publikasi tentang Jambi, sebagaimana tersebut di atas, hingga kini masih tersebar di banyak tempat, seperti di jurnal-jurnal internasional, antara lain Indonesia (Cornell University, USA); Bijdragen tot de Taal-, Land–en Volkenkunde (KITLV, Belanda); Archipel (Prancis), Indonesia and the Malay World (SOAS, Inggris), British Library Malay Manuscripts (London), Institute Southeast Asean Studies (ISEAS, Singpura), serta dikampus tempat disertasi/tesis tersebut diajukan, baik di luar dan dalam negeri.

Memilih Konferensi

Keragaman budaya dan minimnya studi dan publikasi tentang Jambi, sebagaimana telah disinggung di awal, pada 21 sampai 24 November 2013, Seloko: Jurnal Budaya DK-Jambi mengadakan Konferensi Internasional Studi Jambi Pertama (The First International Conference on Jambi Studies (ICJS I). Perhelatan ilmiah itu berlangsung di Novita Hotel, Kota Jambi.

Kenapa memilih konferensi? Sebenarnya, kegiatan semacam konferensi sudah pernah dilakukan di Jambi. Pada 1992 Pemerintah Provinsi Jambi mengadakan Seminar Internasional Melayu Kuno yang mendatangkan pemakalah dari luar maupun dalam negeri. Seminar tersebut sangat penting dan berhasil mengungkap banyak hal terkait sejarah Kerajaan Melayu Kuno di Jambi.

Kegiatan tersebut, sayangnya, tidak berlanjut dan tidak ada seminar seperti itu di Jambi hampir 20 tahun kemudian. Bukan itu saja, prosiding seminar 1992 tidak dibukukan sehingga tidak memeroleh banyak pembaca.

Tentu dengan keterbatasan itu, maksud untuk menggairahkan penelitian atau studi tentang Jambi akan sangat lambat dicapai. Karena itu, perlu mencari jalan alternatif agar upaya tersebut bisa lebih cepat, yaitu konferensi studi Jambi, di samping penerbitan jurnal Seloko, forum dikusi “Uncang Budaya” dan seminar tematik berkala.

Konferensi bertemakan Sejarah, Seni dan Budaya, serta Agama dan Perubahan Sosial (History, Art and Culture, Religion and Social Change) ini menghadirkan 38 pemakalah, antara lain Edmund Edwards McKinnon (National University of Singapore), Stefanie Steinebach (Gottingen University, Germany), C.W. Watson (University of Kent, UK), Fiona Kerlogue (Horniman Museum, UK), Heinzpeter Znoj (University of Bern, Switzerlend), Margaret Kartomi (Monash University, Australia), dan Staven Sager (Australian National University).

Sedangkan dari Indonesia, antara lain Julianti L. Parani (Institut Kesenian Jakarta), Devi Roza Krisnandhi Kausar (Universitas Pancasila, Jakarta), Su’aidi Asy’ari (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi), dan Bambang Hariyadi (Universitas Jambi).

Adapun pemakalah maupun peserta konferensi berasal dari berbagai universitas dan pusat studi di beberapa negara, di antaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia, Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan Switzerland. Umumnya, mereka menekuni bidang kajian beragam, seperti sejarah, antropologi, hukum, arkeologi, filologi, sastra, batik, etnomusikologi, tari, seni rupa, arsitektur, pariwisata, agama, dan agrikultur.

Forum ICJS juga mengundang dua pembicara yang bertindak sebagai pembicara kunci (keynote speaker). Pertama, John N. Miksic, profesor di Departemen Studi Asia Tenggara, National University of Singapore dan ketua Pusat Nalanda- Sriwijaya, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Kedua, Profesor Barbara Watson Andaya, direktur Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Hawai’i, Manoa, Amerika Serikat. Di samping keduanya, konferensi dua tahunan itu menempatkan tujuh chairperson. Mereka adalah Annabel Teh Gallop (British Library, UK), Barbara Watson Andaya (University of Hawai’i, USA), Bambang Purwanto (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Bambang Budi Utomo (Pusat Arkeologi Nasional), Jonathan Zilberg (University of Illinois at Urbana- Champaign, USA), Yanti (Universitas Atmajaya Jakarta), dan Su’aidi Asy’ari (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi).

Makna Strategis ICJS

Merujuk paparan para pemakalah dalam konferensi yang berlangsung tiga hari itu, dapat diambil beberapa pokok pikiran. Pertama, pengkajian tentang Jambi memiliki nilai penting dalam ilmu-ilmu sosial masa kini dan di masa mendatang. Atas dasar itu, penggunaan berbagai pendekatan seperti sejarah, antropologi, sosiologi, hukum, arkeologi, filologi, dan ilmu sosial lain merupakan kombinasi yang sangat baik dan mendesak dilakukan.

Kedua, ICJS memantik banyak topik tentang Jambi yang belum terungkap. Itu menjelaskan studi tentang Jambi butuh topik-topik yang lebih beragam dibanding yang sudah ada, serta perspektif baru, seperti sejarah revolusi di Jambi, sejarah Tionghoa dan sejarah transmigrasi di Jambi. Ragam penelitian yang telah dilakukan, selalu saja terbuka kemungkinan menemukan data baru, yang boleh jadi dapat mengungkapkan makna baru pula. Maka bukanlah gejala luar biasa jika kebudayaan cenderung menuntut pengkajian-pengkajian dan penelitian lanjutan.

Ketiga, ICJS merupakan momentum yang tepat untuk menggairahkan kembali para peneliti Jambi, mengingat di antara hasil studi Jambi yang sangat minim itu, hanya sedikit diampu oleh peneliti yang berasal dari Jambi. Karena itu, kita perlu membuka peluang untuk penelitian kolaboratif dan jenis pengembangan penelitian lainnya, yang menghubungkan sarjana lokal, nasional dan luar negeri dalam penelitian ataupun studi-studi tentang Jambi di masa mendatang.

Konsekuensi dari gagasan di atas adalah keniscayaan bagi perguruan tinggi, terutama di Jambi, melakukan perbaikan konsep akademik di bidang pengkajian Jambi dan memperkuat tradisi penulisan ilmiah serta membuka jaringan bagi jurnal yang ada di perguruan tinggi Jambi dengan dunia akademis di level nasional maupun internasional.

Keempat, mendesak program penerjemahan hasil penelitian tentang Jambi dari bahasa Inggris atau bahasa lainnya ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu bertujuan memudahkan akses pembaca dari kalangan lokal. Seiring hal itu, sumber-sumber Belanda abad ke-17 sampai ke-19 Masehi sangat penting untuk dikumpulkan, baik oleh pemerintah melalui perpustakaan, komunitas, maupun individu-individu yang menaruh perhatian terhadap studi-studi Jambi.

Kelima, besarnya minat para pakar untuk ambil bagian dalam konferensi itu, menggambarkan pokok bahasannya telah menjadi sasaran telaah bersama, baik melalui cara pandang sesuatu disiplin maupun dalam kerja sama antar disiplin. Melalui pertemuan ilmiah ini kiranya boleh dimanfaatkan hasil-hasil yang unggul mutunya, serta bermanfaat bagi pengenalan seluk-beluk kebudayaan Jambi. Selanjutnya, memberdayakan pusat-pusat kajian kebudayaan dengan melakukan penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh negara atau pemerintah daerah untuk keperluan membuat semacam sertifikasi atau hak cipta. Karena kajian ilmiah suatu tinggalan budaya (tangible-intangible) dapat dimanfaatkan untuk mematenkan suatu hak cipta. Keenam, berbagai sumber dan keahlian khusus harus disinergikan dalam satu usaha bersama, sehingga ke depan, kita dapat memiliki sumber-sumber paling lengkap mengenai sejarah dan kebudayaan Jambi.

Menempatkan Jambi sebagai ruang kultural-intelektual tentulah membawa pengaruh positif bagi mentalitas masyarakat Jambi, karena pandangan tentang kebudayaan Jambi bergerak dinamis dan menjadi pijakan dasar dalam pembangunan.

*Tulisan ini pertama kali terbit di jambistudies.blogspot.com dan dimuat kembali pada portal kajanglako.com

0 Komentar