Budi Prihatna dan Studi Regalia Kesultanan Jambi

Ilustrasi. Penyerahan Perhiasan ke Pemerintahan Belanda.

Oleh: Jumardi Putra*

Beberapa waktu lalu saya berjumpa dan bercakap-cakap dengan Budi Prihatna di tempatnya bekerja sekarang, yaitu Museum Perjuangan Rakyat Jambi. Itu kali kelima saya bertatap-muka dengannya, meski empat tahun lepas, namanya bersama penerjemah S. Hartini Adiwoso saya temukan di beberapa buku berbahasa Belanda mengenai Jambi.

Sebelum bekerja sebagai kurator di Museum Perjuangan Rakyat Jambi (2012-sekarang) dan Museum Siginjai (1997-2012), pria kelahiran Jakarta, 14 November 1962 itu bekerja di Museum Nasional (1990-1997). “Perjalanan yang panjang dan tidak mudah,” sahutnya.

Berkat dua puluh enam tahun dari museum ke museum, ia begitu piawai memaparkan keanekaragaman koleksi, analisis tata penyajian, kekhususan pameran, dan kajian ilmiah seputar regalia, baik yang tersimpan di Museum Perjuangan Rakyat Jambi maupun Museum Siginjai (sebelumnya bernama Museum Negeri Jambi).

Ia tak menampik, meski revitalisasi museum Siginjei telah berjalan dan jumlah pengunjung menunjukkan tren meningkat, kesemua yang disebutkan di atas belum mendapat perhatian penuh, terutama dari kalangan akademisi atau peneliti yang menaruh minat pada museologi.

Menurut catatan inventaris van Ethnographisch Verzameling, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Seksi Etnografi, Bidang Sejarah dan Antropologi, Museum Nasional, terdapat 292 buah koleksi berasal dari berbagai daerah di Jambi. Ratusan koleksi tersebut diperoleh dari hasil ekspedisi militer Belanda, hibah para kontrolir yang pernah bertugas di Jambi, dan hibah masyarakat Jambi.

Dari koleksi yang berjumlah 292 itu, terdapat 18 buah koleksi yang berkenaan dengan Kesultanan Jambi. Kedelapan belas koleksi tersebut adalah sebuah gong bernama Si Timang Jambi, 2 bilah keris yang bernama Si Ginjei dan Senja Merjaya, 2 buah parang, 2 buah pembelah pinang (kacip), 1 buah pisau bertangkai tanduk rusa, 1 helai bendera katun hitam (bendera Raja Sehari), 1 helai bendera wol kuning (bendera Pangeran Ratu), 1 buah keris (sarung lang), 1 buah keris panjang dengan sarungnya, 1 buah meriam (lila), 3 buah payung, 1 perangkat perhiasan, dan pisau bertangkai tanduk.

Dari beragam koleksi itu, yang menurutnya spesifik dan abai oleh kebanyakan kita sampai sekarang, yaitu mengenai regalia kesultanan Jambi dalam kaitan penyajian di ruang pameran tetap museum. Apa sebab? Regalia merupakan satu di antara atribut raja Kesultanan Melayu Jambi, yang penting selain gelar yang disandang adalah pusaka, yaitu benda warisan yang dianggap bernilai sangat tinggi, baik bahan pembuatan maupun latar belakang sejarahnya sekaligus memberikan kebahagiaan, kekuatan, kewibawaan, serta kemegahan pada orang yang memilikinya.

A. Mukty Nasruddin, dalam bukunya, Jambi Dalam Sejarah Nusantara: 692-1949 (1989:419), mengungkapkan kesaksiannya (kalau bukan ketakjuban) terhadap pusaka Kesultanan Jambi, “Sekarang kami serahkan kepada Bapak sebagai penyerahan tanah dan jiwa rakyat Jambi kepada Pemerintah Republik Indonesia. Keris (Si Ginjei) diangkat oleh pewaris, diserahkan kepada Bapak M. Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia. Banyak orang tua menitikan air mata karena upacara itu membawa kenangan kepada setiap penobatan Rajasari (Raja Sehari) sebagai raja ad interm menjelang penobatan raja esok harinya. Hanya penyerahan keris kali ini tidak diiringi tembakan meriam sebanyak 20 kali. Banyak orang terpesona oleh karena baru mengenal perangkat Kerajaan/Kesultanan Jambi dahulu itu. Penuh kegembiraan bahwa apa yang mereka rasa hilang selama ini, bertemu kembali. …”.

Jauh sebelum itu, G.J.Velds, dalam bukunya, De Onderwerping van Djambi, 1901-1907; Beknopte Geschiedenis Naar Officieele Gegevens. Indisch Militair Tijdscrift, Extra-bijlage 24 (1909: 149), menyebutkan penyerahan regalia Kesultanan Jambi yang berupa keris Si Ginjei dan Senja Merjaya oleh Pangeran Prabu Negara dan Pangeran Ratu kepada asisten Residen O.L. Petri pada tanggal 26 Maret 1904, yang selanjutnya diserahkan kepada Departement van Binnenlandsch Bestuur, dan diteruskan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang kini Museum Nasional.

Penyerahan pusaka yang dihadiri seorang kontrolir, Kemas Kadir, dan Residen Palembang bernama J.A van Rijn Alkemade itu menggambarkan bahwa para pembesar Jambi mengakui secara resmi kekuasaan tertinggi dan langsung atas Jambi telah berpindah kedalam pemerintah Hindia Belanda.

Namun, terlepas dari dua contoh yang bertolak-belakang di atas, hemat saya, peristiwa itu tetap mengukuhkan suatu hal mendasar, yaitu regalia yang berupa pusaka Kesultanan Jambi mempunyai arti penting bagi masyarakat Jambi dan pemerintah Hindia Belanda, yang saat itu terus berupaya menundukkan Jambi di bawah kepemiminan Sultan Taha Saifuddin, seperti tercermin dalam paparan Elsbeth Locher-Sholten dalam bukunya, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial. Hubungan Jambi-Batavia (1830- 1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. (Banana & KITLV, 2008: 135) berikut ini, “Pada Oktober 1855 seorang Sultan baru bernama Taha Saifuddin menerima otoritas atas Jambi, menyusul mangkatnya Nazaruddin pada tanggal 18 Agustus tahun itu. Maka, bertahtalah seorang penguasa yang ternyata menjadi musuh utama pemerintah kolonial di Jambi selama hampir empat puluh tahun. Sebuah ekspedisi militer mengakhiri secara formal kekuasaannya pada 1858, tetapi di balik layar dia terus bertindak sebagai dalang kehidupan politik”.


Penulis bersama Budi Prihatna

Tidak Runtun

Kembali ke regalia. Budi Prihatna memulai penelitiannya mengenai koleksi regalia Kesultanan Jambi di Museum Nasional dan penataan koleksi di Museum Siginjei, yang kelak menjadi tesisnya di Universitas Padjadjaran Bandung (2010) dengan tajuk “Pemanfaatan Koleksi Regalia Kesultanan Jambi Guna Penyempurnaan Tata Pameran Tetap Ruang Khazanah Museum Negeri Jambi (kini Museum Siginjai)”.

Tesis berhalaman 134 itu, sepembacaan saya, dimulai dengan pengamatan serius Budi Prihatna terhadap tata pameran tetap Ruang Khazanah Museum Siginjei, yang tidak menyertakan regalia Kesultanan Jambi dalam babad sejarah Jambi, yang dimulai dari masa pra-Melayu, Melayu Kuno, Hindu-Budha, Pemerintah Hindia-Belanda, Pemerintahan Jepang, Kesultanan Jambi, dan kemerdekaan (Halaman 7). Singkatnya, penggambaran peristiwa Jambi di masa lalu tidak runtun alias terjadi lompatan alur cerita (storyline).

Melalui analisis alur cerita (story line), koleksi, sarana, metode dan teknik penyajian, tesis Budi memberikan kontirbusi ilmiah bagi pengembangan teori yaitu menghidupkan koleksi yang tidak asli (replika) untuk menyempurnakan alur cerita, dan bahkan ruang yang terbuka lebar memvisualisasikannya.

Lalu, sebagaimana temuan lapangan dan disertai analisis teoritisnya, Budi berkesimpulan agar tata pameran sesuai alur sejarah, koleksi perlu ditata dengan mengintegrasikan dalam satu vitrin atau tema tertentu. Hal itu dimaksudkan agar keseluruhan kehidupan sosial dan budaya koleksi tidak terlepas dari konteks sejarah di masa itu. Selanjutnya, selain mengintegrasikan koleksi berdasarkan tema tertentu, label pun harus berisi jalannya sejarah.

Tak hanya sampai di situ. Strategi dan metode dan penyajian pun tak terelakkan, yaitu antara lain, penata (preparator) harus memiliki kreativitas menata vitrin, koleksi sesuai tema pada alur sejarah Jambi, dan pengelola koleksi pun harus memahami sejarah Jambi (halaman 92).

Setelah Budi Prihatna

Dalam banyak diskusi mengenai studi Jambi, umumya masing-masing kita dihadapkan dengan pertanyaan retorik berikut ini, apa urgensi dan kontribusi Budi Prihatna berkaitan penyajian koleksi pada pameran tetap di ruang khazanah Museum Siginjei Jambi, atau lebih waw lagi, apa korelasi penelitian Budi Prihatna berkaitan minimnya kepustakaan ilmiah sejarah Jambi?

Saya tak bisa menjawab secara pasti, kecuali mengetengahkan beberapa hal berikut ini, antara lain, kajian Budi Prihatna merupakan salah satu sumbangan keilmuan sekaligus upaya dirinya menjawab kegelisahan banyak pakar mengenai kebersinambungan sejarah Jambi. Dengan kata lain, bila Budhi Prihatna memfokuskan pada penelitian koleksi pusaka di masa Kesultanan Jambi, pun sama halnya dengan peneliti yang menitik-beratkan pada displin ilmu lainnya, yang lebih luas dan beraneka ragam, sebut saja, seperti sejarah, arkeologi, antropologi, atau kesenian di wilayah Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah ini.

Kini studi Jambi membuka diri selebar-lebarnya bagi pikiran-pikiran kritis-kreatif dari para peneliti, dengan disiplin ilmu apa saja, untuk menguaknya, sebagaimana langkah mini museolog Budi Prihatna.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada tanggal 6 November 2017.

0 Komentar