Kekalutan Budaya

ilustrasi

Oleh: Jumardi Putra*

Kendati meloncat-loncat dan bukan suatu kajian utuh, warna-warni wicarana yang bergulir dalam buku bertajuk Senarai Serumpun: Antologi Esai Kebahasaan, Kesastraan, dan Kebudayaan (Kantor Bahasa Jambi dan Rumah Akar, 2015), itu mengingatkan saya pada orasi budaya Profesor Abdul Hadi WM (2012), yaitu negeri ini sedang dilanda krisis kebudayaan, dengan ditandai kekosongan agama, filsafat, dan susastra dalam berbangsa maupun bernegara. Dalam pandangan pengajar filsafat Bambang Sugiharto, “kekalutan” budaya tersebut digambarkan dengan “aroma yang kita ciptakan tak lagi kita pahami, sementara pagar yang pernah kita bangun ambruk dan tak lagi berarti.” (Kompas, 2006).

Saya meyakini, meski esai-esai dalam buku tersebut tidak diniati mengurai pelbagai persoalan yang dikemukakan Abdul Hadi WM, benang merah antar keduanya menyiratkan gagasan yang senafas, yaitu perjalanan manusia bermuara pada gerak kebudayaan, dimana sastra, bahasa, dan karya seni lainnya juga berperan penting. Itulah mengapa, dalam perjalanan bangsa-bangsa besar, sastra (puisi, prosa dan naskah drama) menjadi salah satu nilai yang bisa memberi kesan tentang kemajuan kebudayaan di negara itu, sebut saja Inggris yang sangat membanggakan Shakespeare, bangsa Amerika membanggakan Robert Frost dan Ernest Hemingways, dan bangsa Pakistan sangat menghormati Mohammad Iqbal.

Dalam kaitan itu muncul pernyataan yang mesti kita refleksikan. Bukankah bahasa, sastra dan karya seni-dalam sejarah republik Indonesia-memiliki peran penting dengan memancangkan pemikiran dan keaksaraan sebagai pijakan untuk merebut kesadaran dalam berbangsa dan bertanah air?

Tentu banyak bukti yang menunjukkan peran yang dimaksud, terutama saat masing-masing kita melihat dengan cermat perihal bahasa di dalam sastra, dan sastra sebagai karya yang memberi asupan gizi intelektual dan spiritual secara bersama-sama bagi khalayak pembaca, maka tak pelak sastra dan bahasa menjelma bagai taman bunga yang meronai kebudayaan bangsa.

Dalam catatan singkat ini, seraya merujuk perkataan sastrawan Mary Ann Evans, yang lebih dikenal dengan nama pena George Eliot, “Karya saya hanyalah seperangkat pengalaman hidup-suatu jerih payah untuk menghadirkan apa yang bisa dirasakan dan dipikirkan”, mari kita simak isi dari beberapa esai dalam buku ini secara acak, menurut apa yang saya, saat membacanya, rasakan pas-tentu saja dengan tidak mengabaikan perspektif lain.

Tulisan Natal P. Sitanggang (Semiotika Tahun Ular dan Kurikulum 2013,  Ke(tak)santunan Berlalu Lintas, dan  Belajar dari Keledai), Ristanto (Menjadikan Bangga Berbahasa Indonesia dan Merenungi Kepunahan Bahasa: Gerakan Cinta Bahasa Indonesia), dan Ermitati (Kecenderungan Penutur Bahasa Kita,  Penulisan Nama Geografis di Provinsi Jambi Perlu Dibenahi, dan Gerakan Cinta Bahasa Indonesia), dengan bermacam latar belakang dan kurun waktu penulisan, memuara pada yang disimpulkan Alif Danya Munsyi, “Permasalahan-permasalahan bahasa Indonesia saat ini telah sampai pada perkembangan yang paling menyedihkan, menjengkelkan, dan memuakkan.”

Kesimpulan Alif Danya Munsyi itu tidaklah berlebihan. Apa pasal? Hasil penelitian dua orang sarjana Amerika, Daniel Nettle dan Suznne Romaine, yang menulis buku yang berjudul Vanishing Voice: The Extinction of the Word’s Languages (Oxford University Press, 2000), menyebutkan sekarang di dunia ini ada 5.000-6.700 bahasa dan paling tidak-mungkin lebih-kurang setengahnya akan mati dalam abad ke-21. Sekarang 60% dari bahasa yang masih ada dalam kondisi punah.

Hal yang sama pernah dikemukakan Ajip Rosidi (2005), bahwa memasuki usia ke-87 (bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional) atau yang ke-70 (bahasa Indonesia dikukuhkan secara yuridis sebagai bahasa negara), keistimewaan sejarah terbentuk bahasa nasional dan kekuatannya mengimbangi ekses globalisasi, kini, menemui rintangan yang mengkhawatirkan.

Paling tidak, ada lima permasalahan menyangkut bahasa nasional dewasa ini. Pertama, kecintaan generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa terhadap bahasa nasional menunjukkan grafik yang mengkhawatirkan. Kedua, penyampaian pelajaran bahasa Indonesia di jenjang pendidikan formal tidak berorientasi maju, karena lebih mementingkan target pencapaian nilai semata. Ketiga, menularnya penyakit sok-Inggris di kalangan pejabat di republik ini, baik di level eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Keempat, bahasa Indonesia menjadi keranjang sampah bagi kata-kata berbahasa Inggris. Kelima, bahasa pers sekarang telah dilintasi banyak istilah dan perkataan bahasa Inggris.

Selanjutnya, melalui tulisan Muhammad Ikhsan (Diskursus Setengah Jadi dan Kritik yang Mencerdaskan), Afriyendy Gusti (Karya yang Mencerdaskan dan Sanggar Sastra Siswa), Ricky A. Manik (Surat untuk Pecinta Seni), Muhammad Zaki (Menuliskan Tradisi Lisan), dan Nukman (Kelesuan Kritik Sastra, Ihwal Kesastraan Kerinci, dan Apa Kabar Cerpenis Perempuan Jambi), kita menyimak bahwa karya sastra memainkan salah satu peran utama dalam kehidupan, baik untuk individu-individu atau sebagai sebuah bangsa di dalam negara.

Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan sastra tidak menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri, melainkan penumpang gelap dalam pendidikan kita. Beberapa keganjilan mengamini situasi itu, antara lain, ketersediaan guru sastra yang mumpuni di sekolah sangat terbatas. Begitupun dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal. Sementara, arus utama pendidikan saat ini lebih menekankan keterampilan teknis, sehingga pengajaran bahasa mengabaikan dimensi kesastraan, seraya memberi perhatian yang berlebihan pada pengajaran tata bahasa dalam disiplin keilmuan dan kejuruan yang spesifik. Seturut hal itu, akibat sastra yang menjadi bagian dari banyak hal yang terpinggirkan di Indonesia, tulisan Nukman dan Muhammad Ikhsan yang secara khususmenyoroti lesunya tradisi kritik sastra dewasa ini adalah realitas tak terbantahkan, bahkan menjadi isu bersama di setiap agenda kesastraan di tanah air, tak terkecuali di Jambi.

Pada bagian lain, tulisan Afriyendy Gusti (Topeng Imitasi Demokrasi dalam Cawan Pak Tua) dan Muhammad Ikhsan (Mendefenisikan Kembali Musikalisasi Puisi) bertitik pijak pada seni perpaduan pelbagai wilayah keindahan, dikarenakan penggarapan pertunjukan (monolog) atas sumber naskah dan musikalisasi puisi membuat arahannya tidak semata-mata pada sastra, melainkan juga musik dan seni peran.

Atas dasar itu, bermonolog dan musikalisasi puisi dewasa ini, laiknya musik dalam pengertian umum, dinilai telah menjadi keperluan lintas batas, ruang dan waktu, tanpa memandang asal-usul kultur, agama dan sosial-politik. Paling tidak, di luar soal yang berhubungan dengan pemanggungan naskah monolog bagi seorang aktor, seperti teknik panggung, pemanfaatan ruang panggung serta kekuatan estetik naskah itu sendiri, dan kepiawaian mengawinkan unsur musik dan puisi tanpa menghilangkan keutuhannya, sehingga membuahkan musikalisasi puisi yang maksimal, melalui kedua medium tersebut, sejatinya, masing-masing kita bisa menginternalisasikan nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan di tengah pluralisme masyarakat Indonesia dan dunia.

Di bagian selepasnya, tulisan Ricky A. Manick (Eksistensialisme dan Individualisme Sitor Situmorang dan Fredie Arsi: "Papa" dalam Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia), menurut hemat saya, menggemakan kembali seruan sebagaimana pernah dikemukakan Arief Budiman tentang seni di Horison (1966), “karya seni yang baik adalah seperti suluh api yang memimpin manusia mencari nilai-nilai yang dapat menolong dia menemukan hakikat kemanusiaannya yang berbahagia.
Akhirnya, menutup catatan singkat ini, eloklah kita menyimak esai-esai dalam buku ini, dengan tetap tidak meninggalkan sikap kritis, disesuaikan dengan konteks pada kurun waktu tulisan disusun, sambil coba pula menempatkannya secara konstruktif.

*Tulisan ini merupakan prolog penulis untuk buku Senarai Serumpun: Antologi Esai Kebahasaan, Kesastraan, dan Kebudayaan (Kantor Bahasa Jambi dan Rumah Akar, 2015).

0 Komentar