Quo Vadis Taman Budaya Jambi

Taman Budaya Jambi

Oleh: Jumardi Putra*

Nama Bang Didin Siroz ramai dibicarakan, terutama di kalangan seniman di jejaring sosial media facebook. Itu lebih karena jabatan baru yang disematkan kepadanya yaitu mengepalai Taman Budaya Jambi (TBJ) terhitung sejak 6 Januari 2017.

Seturut ungkapan syukur yang bertebaran, apresiasi sekaligus doa menyertai pentabalan tersebut, tentu kita perlu mengetengahkan kembali hal-hal krusial seputar pengelolaan kesenian di Jambi. 

Saya pikir momentum saat ini tidak sekadar ruang berucap selamat. Tetapi melampauinya dengan mempercakapkan kembali perkara substansial pengelolaan seni di Jambi yang kenyataannya berujung pada kejumudan dan fatalnya lagi sikap masa bodoh pengambil kebijakan untuk melestarikan kesenian Jambi di tengah pusaran globalisasi secara sistematis, programatis, integreted dan berkesinambungan.

Saya tidak berpretensi mengulas itu semua, tetapi beberapa hal berikut ini saya pandang menjadi pekerjaan yang tidak mudah untuk diejawantahkan beberapa waktu ke depan bila pengelolaan kesenian masih dilaksanakan asal ada.

Dalam banyak kesempatan diskusi baik formal maupun obrolan warung kopi, kritik serta keluhan dari para pelaku seni datang deras menyoal keberadaan Taman Budaya Jambi belakangan ini.

Saya berharap Taman Budaya Jambi tidak saja menjadi tempat latihan (apalagi didominasi oleh satu kelompok seni tertentu), tetapi yang tak kalah penting adalah menjadikan TBJ sebagai laboratorium pemikiran kebudayaan. Inilah satu ciri utama dari Taman Budaya yang lama hilang.

Terhadap hal demikian itu, mungkin ada yang menuduh sinis yaitu membangkitkan Batang Terendam sudah menjadi bagian dari klise yang menyesakkan wacana kita sekarang ini. Sebab itu saya menyodorkan tema ini dengan harapan pemajuan kesenian Jambi adalah bahasa bersama yang mampu memantik daya cipta masyarakat kesenian di seantero provinsi Jambi.

Bukan tanpa alasan saya mengetengahkan hal ini, karena ketidakhadiran lembaga seni atau pun komunitas seni yang dicirikan berpikir-bertindak dalam bilik konsepsional hanya akan membuat program dan kegiatan seni budaya Jambi tampil sporadis dan parsial. Suatu ciri utama pada instansi teknis yang diamanahi mengurusi kesenian dewasa ini.

Kondisi tersebut, meminjam istilah budayawan Yusmar Yusuf, kebudayaan direnggut oleh kehilangan secara perlahan dan sistematis selari umur kalender, sejulur tahun kabisat, dan sependek satuan minggu, bulan, dan tahun. Asal jalan!

Didin Siroz (berbaju hitam)

Bukan rahasia lagi, beberapa persoalan di dunia kesenian yang mesti dicarikan jalan keluar yaitu rendahnya daya tawar organisasi/komunitas seni, minimnya dukungan pemerintah dan regulasi, sumirnya batas antara unsur perangkat daerah sebagai fasilitator yang sekaligus sebagai praktisi seni sehingga di lapangan kerap memunculkan kecemburuan antar kelompok seni dalam pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari APBN/APBD, institusi dan pendidikan seni yang macet hingga riuh-rendah pesta demokrasi (baca: Pilgub Jambi) yang menjadikan kesenian sebagai subordinasi dari ekonomi dan kekuasaan. Di luar soal itu, yang tidak kalah penting juga yakni kemitraan para pihak untuk menghadirkan ekosistem berkesenian secara sehat dan produktif.

Sebelum Bang Didin diamanahi mengepalai institusi yang memfasilitasi kerja-kerja kesenian pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, dalam beberapa kali obrolan informal antara kami, saya menangkap pesan betapa kegelisahan pria kelahiran 13 Januari 1968 itu terhadap dinamika kesenian (terutama institusi seni) di Jambi melebihi kebanyakan orang yang justru lebih tertarik dan berbusa-busa membicarakan kesenian sebagai program (untuk menyebut sekadar proyek) ketimbang perspektif. 

Saya berharap Bang Didin bisa membawa TBJ sebagai lokomotif pengelola kesenian yang selalu gelisah demi kemajuan kesenian di Provinsi Jambi.


*Ditulis tahun 2017. Didin Siroz pensiun sebagai ASN dengan jabatan terakhir Kepada Taman Budaya Jambi pada 1 Juli tahun 2021. #Arsip.

0 Komentar