Jambi TUNTAS dan Defisit Kebudayaan

Zola bersama istri

Oleh: Jumardi Putra*

Akhir-akhir ini muatan tivi dan koran di Jambi penuh sesak berita tentang kesemestian akselerasi pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal, defisit anggaran, perampingan organisasi perangkat daerah, bongkar-pasang kabinet Jambi TUNTAS, dan suhu politik pemilihan kepala daerah di Kabupaten Muarojambi, Tebo, dan Sarolangun yang kian memanas.

Nun jauh di sana, Bali, sayup-sayup terdengar Word Culture Forum (10/16), sebuah forum yang merumuskan landasan kebudayaan guna membangun dunia yang lebih inklusif dan lestari, sebagaimana tertuang dalam konvensi dan dokumen UNESCO bahwa kebudayaan berada di hulu pembangunan.

Setahun sebelumnya, hasil Kongres Kesenian III di Kota Bandung (12/15), mendesak negara menempatkan kesenian sebagai landasan daya cipta dan kreativitas manusia; sebagai sarana dialog yang memungkinkan pertukaran nilai yang sehat, dan rangsangan terhadap imajinasi kolektif untuk membangun visi masa depan yang lebih baik serta sarana untuk terus-menerus merumuskan identitas kebangsaan secara dinamis, terbuka dan inklusif.

Melalui kongres tersebut lahir beberapa rekomendasi, yaitu penyusunan kebijakan menyeluruh yang diikat oleh ketetapan hukum di tingkat nasional hingga daerah tentang pembinaan, pengelolaan, pengembangan, dan preservasi kesenian, pemetaan ekosistem kesenian, infrastruktur seni, politik anggaran yang berpihak pada kesenian, pendidikan kesenian, jejaring kesenian, dan pengembangan sistem pusat data, dokumentasi, dan informasi seni.

Kesemua itu, menukil pendapat Radhar Panca Dahana, bahwa kebudayaan (gugusan ide/norma/nilai-nilai, etika, dan estetika) merupakan basis bagi kerja-kerja penyelenggaraan substansi demokrasi dalam berkeseharian, bernegara dan berbangsa, yakni sebagai proses pengabdian dan pengadaban negeri (Kebudayaan dalam Politik,Kritik pada Demokrasi, 2015).

Faktanya, percepatan pembangunan yang berjalan dewasa ini mengalami semacam defisit kelembapan. Hal itu terjadi karena tidak adanya fundamen kebudayaan. Paling banter kebudayaan hanya dilekatkan dengan pendidikan (formal) dalam bentuk penanaman karakter, pergelaran, dan penggalian artefak.

Mimpi Zola

Dalam banyak kesempatan, Zumi Zola menyampaikan mimpi-mimpi besarnya tentang sejarah dan kebudayaan Jambi harus mengada di era glokalisasi (menglobalkan kebudayaan lokal) saat ini hingga di masa mendatang. 

Semangat yang perlu kita hargai tersebab kebudayaan apapun tidak akan mengalami penyusutan akibat gempuran globalisasi semata. Dengan kata lain, memilih mengisolasi diri dalam abad yang berlari kencang sekarang itu sama artinya menjadikan kebudayaan yang kita anggap besar mengalami penyusutan. 

Akankah mimpi sang Gubernur bisa terealisasi? Hemat saya, mimpi Zola tersebut sangat sulit digapai bila agenda-agenda kebudayaan diciutkan sebagai kerja prosedural-seremonial dan berlalu lalang antara pariwisata (ekonomi) dan pendidikan, sebagaimana nyatanya berjalan di tahun-tahun belakangan ini.

Beberapa lembaga seni-budaya yang diharapkan peran strategis-maksimumnya, sebut saja Taman Budaya Jambi (TBJ) mulai kehilangan gairah, lantaran abai memfasilitasi tumbuh suburnya kerja-kerja pemikiran (pengayaan dan perluasan perspektif) bidang seni dan budaya; Dewan Kesenian Jambi (DKJ-Jambi) terjerembab dalam ketidakpastian, sementara mandat yang diberikan padanya amatlah besar, yaitu penasehat Gubernur Jambi bidang kesenian sekaligus ‘penyambung’ lidah masyarakat seniman.

Begitu juga Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi mengalami krisis legitimasi. Apa sebab? Ia tidak saja beralih total pada kerja-kerja formal-prosedural semata, yang kualitas output kegiatannya patut menjadi perhatian seksama, tetapi juga perlahan-lahan terjadi ‘abrasi’ kepercayaan dalam lapangan kulturalnya yang tua.

Tidak berlebihan bila Zola meninjau ulang agenda-agenda kebudayaan, terutama pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi, sekaligus saat yang sama membangun komunikasi serta komitmen bersama segenap organisasi yang mengurusi kebudayaan agar pengembangan kebudayaan Jambi, yang sebelumnya terbelenggu dalam interes-interes material dan praktis, kembali menjadi bagian dari proses secara aktif baik sebagai indvidu maupun kolektif, entah bersifat regulatif atau sistemik, dengan didasarkan pada basis norma/nilai-nilai, etika, dan estetika, dapat mencari jalan baru untuk mencapai ruang-ruang aktualisasi yang berkeadaban dan maju.

Setakat hal itu, yang tak kalah penting, mengutip pendapat profesor Mudji Sutrisno (2009), “kita perlu menyusun strategi kebudayaan yang di dalamnya memuat visi perubahan dan arah perkembangan budaya yang mau dirancang, dipetakan, dan dibuat langkah-langkah pencapaian ke depan agar proses budaya [berlangsung] dengan saling menghormati antarmanusia dalam perbedaan dan keragaman kearifan-kearifannya menuju transformasi budaya yang beradab”.

Dengan demikian, pengarusutamaan kebudayaan Jambi amat relevan. Kebudayaan harus menemukan kanalisasinya di tengah kecamuk pembangunan dewasa ini. Bila tidak, pemerintah Provinsi Jambi di bawah kepemimpinan Zola-Fachrori, sebagaimana pemerintah terdahulu, hanya menyelebrasi kemenangan materi, yang kering, hampa, dan pada saat bersamaan melumpuhkan jiwa atau spritualitas yang membuat materi itu menjadi makna dalam kenyataan hidup kita.

*Tulisan ini terbit pertama kali di Koran Harian Sorot Jambi pada 20 Oktober tahun 2016.

0 Komentar