Asap di Rumah Tuhan

ilustrasi

Oleh: Jumardi Putra*

Ini kali pertama di bulan September saya mendengar isi khutbah yang barapi-api (untuk menyebut bertenaga). Apa pasal? Meski terlalu panjang, isi khutbahnya kontekstual, bernada kritis, dan intonasi penyampaiannya terjaga.

Saya sungguh-sungguh terhindar dari rasa kantuk. Jamaah lainnya pun sama, terlihat dalam keadaan terjaga dan sepi dari batuk pura-pura (hehe). Apa mungkin karena siaga asap? Saya tak bisa menilai lebih dari apa yang saya saksikan.

Sang khatib, H. Masykur S.Ag., M.Pd (sesuai tertulis di papan nama), memulai khutbahnya dengan prolog yang menggetarkan (minimal bagi saya), yakni kabut asap (akibat dari kebakaran hutan dan lahan), sejatinya merupakan satu dari deretan bencana lingkungan lainnya, seperti banjir, tanah longsor, kerusakan hutan, polusi udara, kelangkaan air bersih, dan kepunahan jenis flora dan fauna, yang secara keseluruhan menegaskan “kemarahan” alam akan terus berlangsung di bumi ini, tak terkecuali Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah, bila tidak disikapi secara komprehensif, tak terkecuali moralitas lingkungan.

Lalu lelaki bertubuh kecil itu menyebutkan kondisi mutakhir lingkungan Jambi (10 September), antara lain, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) tercatat sebesar 324. Itu artinya, udara di Jambi tergolong berbahaya. Sementara kedalaman sungai Batanghari, tepatnya permukaan air di Taman Tanggorajo, tinggi airnya hanya 6,80 meter. Itu adalah debit air terendah dari standar normal debit air sungai biasanya serta musim kemarau tahun lalu yakni 7 meter. “Bahkan, di wilayah-wilayah tertentu, untuk menyeberangi sungai Batanghari, masyarakat gak perlu lagi pakai perahu, cukup jalan kaki,” imbuhnya.

Tak cukup sampai di situ, akibat dari kebakaran hutan dan lahan itu, penerbangan mandeg, sekolah diliburkan, hak anak-anak bermain di luar rumah terganggu, hewan kurban kering-kerontang, petani gagal panen, air bersih langka, dan sederet efek negetif lainnya. Singkat kata, realitas yang terjadi belakangan ini ditautkan olehnya dengan firman Tuhan (al-quran), seperti digariskan dalam QS Al-Baqarah (2): 190; Al-An’am (6): 141; Al-Isra’ (17): 27; QS Al-Furqan (25): 67; QS Al’Alaq (96): 6-7.

Sepenghayatan saya, ada beberapa poin penting yang disampaikan sang khotib, antara lain pertama, umumnya muatan khutbah (yang mengedepankan dimensi moral), merujuk aspek ajaran agama, asap (dan bencana lingkungan lainnya) adalah bentuk “azab” bagi mahluknya. Terutama akibat dari kekeliruan umat mengimplementasikan manusia sebagai individu yang memiliki otoritas terhadap alam (kosmos), sehingga paradigma pengelolaan alam untuk kesejahteraan umat manusia telah secara nyata menimbulkan ketidakseimbangan alam, yang berujung pada “kemarahan” alam dalam bentuk-bentuk bencana alam dewasa ini. Singkat kata, paradigma eksploitatif tersebut bertentangan dengan perintah Tuhan untuk memanfaatkan hasil alam dalam batas-batas wajar.

Kedua, secara struktural maupun kultural, asap (dan bencana lainnya) memperlihatkan kepemimpinan struktural dan kultural dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Ambil misal, praktek penyelewengan dan korupsi (termasuk dalam hal pengelolaan hutan dan lingkungan) mulai dari pejabat elit (Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas) hingga ke level terbawah, seperti Camat, Kepala Desa hingga ketua RT.

Bukan lagi rahasia, bahwa pejabat, pemodal, oknum akademisi, dan konsultan, terlibat dalam melahirkan kebijakan (regulasi), program atau pun kegiatan-kegiatan yang kontraproduktif terhadap keberlangsungan pembangunan dan ekologi berkelanjutan. Sementara kalangan masyarakat tradisional di lereng dan berdekatan dengan kawasan hutan, yang menjaga keseimbangan alam, perlahan-perlahan dihantam oleh praktek-praktek pembangunan yang membuat etika dan gaya hidup mereka terpinggirikan.

Sang khatib sempat merembet ke soal Pilgub Jambi yang sedang berlangsung saat ini. Baginya, politik dewasa ini belum menghasilkan perubahan-perubahan fundamental, seperti kesejahteraan, lapangan pekerjaan, keberpihakan terhadap orang miskin dan pengelolaan hutan/lingkungan secara berkelanjutan. “ Pilgub atau Pileg di negeri ini hanya ribut soal NPWP (Nomor Piro Wani Piro),” tukasnya.

Ketiga, sebagai ujian, situasi pelik saat ini merupakan momentum bagi masing-masing kita, terutama umat Islam untuk intropeksi. Ada yang salah dari interaksi kita selama ini sebagai manusia dengan alam dan Tuhan. Modernitas (sebagai “agama baru”) telah berhasil menggiring umat manusia meninggalkan sikap hidup yang selaras dengan kesederhanaan dalam kesederhanaan alam.

Khutbah pun ditutup dengan baik. Kami pun menunaikan shalat, dengan tidak lupa oleh sang Imam, pada rekaat kedua (setelah ruku’ dan sebelum sujud) membacakan doa qunut nazilah. “Semoga asap kembali normal dan masyarakat riang-gembira melakukan aktivitas masing-masing." Amiin

Demikian sekelumit pengalaman saya melaksanakan ibadah jumat berjamaah di Masjid Fathul Iman, berlokasi di Sumber Karya Kenali Besar, Jalan Lingkar Barat 11-Kota Jambi. Akhir kata, Lain lubuk lain ikan. Lain ladang lain belalang. Beitulah kira-kira, bagaimana peristiwa asap dibicarakan oleh sang Khotib di tiap-tiap Masjid. Mari berbagi pengalaman anda seputar kabut asap di Rumah Tuhan.

*Tulisan ini dibuat pada 12 September 2015 di tengah Kebaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Provinsi Jambi dan daerah-daerah lain di tanah air.

0 Komentar