Karlina Supelli dan Tunabaca Generasi

Karlina Supelli

Oleh: Jumardi Putra*

“Ingin nian menghadirkan filusuf Karlina Rohima Supelli di Jambi,” ungkap saya pada Firman Lie, pengajar seni rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), di sela bincang-bincang di Tempoa Art Gallery hampir setahun lalu.

Tentu Firman Lie memahami maksud saya, terlebih usai membaca teks pidato kebudayaan perempuan kelahiran 15 Januari 1958 itu di Taman Ismail Marzuki, 11 November lima tahun lalu (2013), dengan tajuk Kebudayaan dan Kegagapan Kita.

Anggitan tentang keindonesiaan oleh akademisi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara ini disertai tawaran jalan keluar yang dikenal sebagai delapan siasat kebudayaan berikut ini: (1) membangkitkan kembali kebiasaan berpikir serius, (2) mengubah konsep ekonomi dari urusan pasar dan jual beli barang ke urusan mata pencaharian warga biasa, (3) melatih kebiasaan mau mengakui kesalahan dan berkata benar, (4) melatih kebiasaan berpolitik karena tanggung jawab dan komitmen pada kehidupan publik, bukan pribadi, (5) melatih hasrat: belanja karena perlu, bukan karena mau, (6) membangun kebiasaan baru seluas bangsa untuk menilai bahwa korupsi, plagiarisme, dan menyontek bukan hal yang lazim, tetapi kriminalitas, (7) mengembalikan makna profesi sebagai janji publik,  bukan sekedar keahlian,  dan (8) melatih bertindak karena komitmen, bukan semata karena suka.

Selain memiliki minat yang dalam terhadap fisika, matematika dan metafisika, kecintaannya pada filsafat menempatkan isu-isu kemanusiaan sebagai episenterum kesadaran dalam menghasilkan buah-buah pikiran cerdas dan bernas. Beberapa teks ceramah maupun diskusi kebudayaan Karlina dapat diakses dengan mudah di kanal youtube maupun portal berita online nasional.

Nun, terhadap keinginan saya itu, Firman yang juga perupa ini tidak buru-buru mengamini, melainkan mengajak saya menjelajahi literatur yang diakses sekaligus dibicarakan warga Jambi, utamanya mahasiswa maupun dosen yang beraktivitas di perguruan tinggi di Jambi.

“Andai Karlina Supelli benar ke Jambi, akankah audien berlaku aktif mengetengahkan pikiran secara kritis. Bukan barisan pemukau atau pentakjub semata,” tukasnya.

Tetiba keinginanku tadi segera dirundung awan tebal keraguan. Pertanyaan Firman Lie yang bernada retoris itu, dalam amatan saya tidak diniatkan untuk menunjukkan arogansi intelektualisme, melainkan diskusi dengan ragam bentuk, model atau pun jenisnya mensyaratkan prinsip take and give. Itu memang tampak sepele, tapi abai kita refleksikan, apatahlagi di tengah amuk informasi di internet, utamanya media sosial.

Pengalaman saya menghadiri diskusi baik di kampus atau di beberapa tempat di Kota Jambi, menguatkan praduga Firman Lie (untuk menyebutkan diskusi berjalan berat sebelah). Dengan kata lain, pemantik diskusi menjadi pihak yang dominan.

Ambil misal, untuk menyebut contoh, kehadiran Dr. Katrin Bandhel, kritikus sastra cum akademisi Sanata Dharma Yogyakarta, saat membentangkan wacana post-kolonial dalam kajian seni dan sastra yang ditaja Melayu Institute, Fak. Adab, UIN STS Jambi, berjalan timpang. Beberapa tokoh kunci postkolonial dengan latar belakangnya, sebut saja seperti Edward W. Said, Homi K. Bhabha, Frantz Fanon, Jamaica Kincaid, Wole Soyinka, dan Gayatri Chakravorty Spivak yang diketengahkan Katrin di forum diskusi itu lewat begitu saja. Fatalnya, selain peserta diskusi belum mengakrabi nama-nama pemikir tersebut, juga pertanyaan atau tanggapan yang muncul seringkali keluar dari pokok bahasan. Dus. Selebihnya foto-foto untuk dipublish di facebook, twitter dan instagram. Semua menjadi seolah-olah. Seolah-olah ngerti. Seolah-olah telah terjadi adu argumentasi.

Sama halnya di FIB Universitas Jambi, dua kegiatan di dua waktu yang berbeda yakni dialog arkeologi dan sejarah Melayu dengan mendatangkan arkelog senior Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkelogi Nasional serta diskusi museum sebagai pusat penelitian dan pendidikan, merujuk museum-museum di beberapa negara di dunia, dengan menghadirkan Jonathan Zilberg dari universitas Illinois,  Urbana-Champaign, USA.

Contoh di atas jelas belum mewakili spektrum yang lebih luas untuk mendapatkan gambaran utuh ihwal sebaran sekaligus jelajah literatur di Jambi. Akan tetapi, bolehlah kita sejenak merefleksikan dari banyak diskusi, dialog atau pun seminar, sejatinya apa yang hendak dicapai? Bukankah transformasi gagasan? Pengayaan perspektif? Perluasan horison pengetahuan? Sehingga model kelompok intelektual sebagai kanal distribusi pengetahuan macam apa yang kita butuhkan?

Hulu dari keadaan ini, salah satunya, kian memudarnya intelektualisme di Kampus. “Apa buku-buku atau jurnal yang dibaca hari-hari?”. “Apa yang dipercakapkan civitas akademika hari-hari?”. “Adakah kelompok-kelompok diskusi di kelas maupun di luar kelas yang tumbuh subur sekaligus konsisten meneroka ragam peristiwa secara kritis, dan puncaknya memproduksi pengetahuan ke khalayak luas?”. Atau jangan-jangan, dari banyak diskusi atau dialog publik yang diselenggarakan hanya seremonial, dan lebih mementingkan kemasan ketimbang isi”. Semoga tidak demikian.

Kenapa dinamika diskusi di dalam maupun luar kelas menjadi ukuran? Faktanya, padatnya jadwal kuliah disertai tugas makalah membuat mahasiswa disibukkan merampungkan tugasnya sendiri, lalu tiba saat presentasi (idealnya) di situlah dialekatika ilmu pengetahuan terjadi, justru gagal total. Tak berhenti di situ, sumber rujukan tugas (makalah) mereka umumnya bersandar pada artikel-artikel lepas di internet yang diragukan keakurasiannya.

Pun dinamika di kelas lebih menunjukkan mahasiswa sebagai subordinat dari relasi kekuasaan dengan dosen. Beda halnya ketika diskusi kelompok di luar kelas (untuk menyebut komunitas), dengan tanpa beban dan diiming-imingi nilai (A+, A-, B+, B-, C), mahasiswa dengan suka cita berbagi hasil bacaan dan mendialogkannya secara terbuka, sehingga berjalannya waktu pikiran terus diasah, kedalaman analisa diuji serta jejaring pengetahuan antar komunitas/kelompok intelektual terus terbentuk, dan puncaknya kampus betul-betul menjadi lumbung pengetahuan.

Di lain kesempatan, utamanya di toko buku (sebut saja GM) dan beberapa toko buku di Pasar Kota Jambi, pada mahasiswa yang lalu lalang, saya iseng bertanya, “apa yang kamu baca”, “buku apa yang kamu beli”, dan “siapa penulis yang menjadi rujukan”. Dari ketiga pertanyaan itu, saya tak menemukan jawaban yang cukup memuaskan (untuk menyebutkan pengembaraan jagat intelektualitas), kecuali respon terbata-bata dan sekenanya.

Ambil misal, dari kalangan mahasiswa jurusan sastra yang saya tanyakan. Mereka tidak mengenal beberapa dari sastrawan berikut ini Kuntowijoyo, Sitor Situmorang, Motinggo Busye, Pramoedya Ananta Toer, Mahbub Djunaidi, Danarto, Wisran Hadi, Ajip Rosidi, Remy Silado, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Budi Dharma, WS Rendra, Umbu Landu Paranggi, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, Putu Wijya, Seno Gumira Aji Darma, Afrizal Malna, Sutardji Colzoum Bahri, Acep Zam Zam Noor, Eka Kurniawan, Muhidin M. Dahlan, Leila S. Chudori, Linda Cristanty, NH. Dini, Dorothea Resa Helani, Dwi Lestari (Dee), dan Oka Rusmini. Itu baru sebagian kecil penulis Indonesia. Belum lagi penulis dari kawasan Asia, Eropa dan Amerika Latin.

“Tak adakah yang terucap dari mereka?”. Terucap nama penulis yang akrab di telinga mereka yakni Tere Liye, Andrea Hirata, A. Fuadi, Boy Candra, Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Habiburrahmanel-Syirazi.

“Oh, betapa dunia literatur kita serasa begitu sempit,” batinku.

Hal unik lainnya saya dapati ketika ngobrol lepas bersama beberapa mahasiswa ilmu pemerintahan STISIP NH Jambi yakni betapa percakapan merespon isu-isu politik terkini, terlepas dari bandul literatur dan dunia pemikiran. Mereka bicara sekenanya dengan merujuk informasi yang dominan berasal dari teks-teks singkat berjenis komentar di instagram, twitter dan facebook, yang tak jelas asbab an-nuzulnya.

Keadaan demikian itu mengingatkan saya pada memoar Roeslan Abdulgani yakni perbandingan yang amat mencolok antara generasi tua dan generasi baru. Generasi Soekarno dan Hatta asyik mengembara dalam dunia Socrates, Plato, Marx, Rever, dan banyak yang lain. Pikiran mereka dibanjiri oleh mimpi-mimpi literatur Shakespeare, komposisi Mozart, dan membayangkan sebuah dunia utopis. Generasi baru punya mimpi lain: mengendarai Lamborgini, ditemani oleh lagu-lagu Michael Jackson dan semangatnya marak dengan ekstasi (Retnowati Abdoelgani-Knapp, A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia. Singapore-Kuala Lumpur: Times Books International, 2003, h. 227).

Bukankah internet juga menyediakan kanal-kanal pengetahuan yang bermutu? Betul. Untuk menyebut contoh beberapa portal online yang lagi ngehits, seperti Tirto, Beritagar, Indoprogress, Islambergerak, lembaga studi filsafat Cogito, Mojok, Geotimes, Qureta, Remotivi, Alif, Basa-Basi. Itu contoh portal yang mengangkat tema/topi serius dengan gaya populer.

Selain itu, portal online yang dikelola di kampus dan lembaga riset seperti www.newmandala.org (Australian National University (ANU), indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au (University of Melbourne), theconversation.com, www.academia.edu, http://pmb.lipi.go.id/ (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), https://www.bl.uk/ (The British Library), https://ari.nus.edu.sg (Asia Research Institute, Universitas Nasional Singapura).

Tetapi, benarkah kanal-kanal tersebut termasuk ke dalam list portal rujukan nitizen saat ini?
Memang, zaman terus berubah, kehadiran media sosial sekarang ini tidak hanya menginterupsi kehadiran media cetak, buku, jurnal, melainkan juga munculnya kanal-kanal pengetahuan baru di luar institusi penelitian dan lembaga kampus.

Namun kehadiran internet, dengan ciri utama kecepatan, bak dua sisi dalam satu keping mata uang. Bisa menjadi instrumen efektif yang mendukung dan menggairahkan riset lanjutan sekaligus pemasyarakatan hasil-hal riset melalui jejaring media sosial, tetapi juga bisa sebaliknya, saat yang sama, air bah informasi terus menggerogoti prinsip sekaligus kerja-kerja intelektual. 

***

Kembali ke Firman Lie. Tidak berhenti pada pertanyaan retoris di atas tadi. Ia kemudian menawarkan sesuatu yang hemat saya perlu kita terapkan, dan mungkin saja pada komunitas yang terbatas, hal itu sudah mentradisi.

Firman Lie, sang perupa kelahiran Jambi ini, menyebutkan sebuah istilah, yakni “kelas advance”. Sebuah kelas (tidak dimaknai literlek) yang konsisten mendiskusikan topik apa saja dengan terlebih dahulu mempersiapkan sumber-sumber literatur yang memadai untuk ditelaah bersama-sama secara rutin. Model kelas lanjutan ini berjalan fleksibel. Bisa temu darat maupun melalui jejaring grup di Whatsapp dan facebook. Sembari itu senantiasa mengasah kemampuan menulis artikel di koran-koran atau media online (yang menerapkan sistem kurasi) dan bahkan menulis panjang untuk jurnal ilmiah.

Dari situ, lanjutnya, jika telah mentradisi, kehendak atau niat menghadirkan sederet intelektual ahli menjadi relevan. Dengan kata lain, di luar soal teknis-akomodasi, substansi atau pokok bahasan diskusi yang diharapkan dari mendatangkan seorang ahli betul-betul disiapkan untuk menciptakan diskusi yang betul-betul saling mengisi.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada 3 November 2018.

0 Komentar