Mimpi-Mimpi Pulau Emas, Elisabeth D. Inandiak: Percandian Muarojambi Cangkang bagi Budi dan Kecendekiaan


Elisabeth D. Inandiak

Oleh: Jumardi Putra*

“Kami tidak memaksa mencari bukti, tapi menemukan tanda. Sejatinya ‘Pulau Emas’ itu ada, di sini, di Muarojambi”.

11 Mei 2018. Pukul 17.15 WIB. Sore dengan rintik hujan. Bersama Wiwin Eko Santoso dengan mengendarai motor kami berangkat menuju Desa Muarojambi. Jarak tempuh untuk sampai ke Desa, genah berdirinya tinggalan abad ke 7 sampai abad ke 13 yang merekam jejak peradaban Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya tersebut sekira 30 kilometer dari pusat Kota Jambi.

Perjalanan ambang Magrib ini kami niati menghadiri peluncuran buku Dreams From The Golden Island (Mimpi-mimpi Pulau Emas) karya Elisabaeth D. Inandiak bersama beberapa pemuda Desa Muarojambi yang bertempat di bibir Dermaga Desa setempat.

Di Jambi, nama Elisabeth belum begitu familiar. Berbeda halnya di komunitas seni (sastra) dan pernaskahan, utamanya Yogyakarta, wartawati, penerjemah dan sastrawan asal Lyon, Perancis, ini dikenal luas melalui buku Les Chants de Lile a Dormir Debout – le Livre de Centhini (2002). Sebuah karya berbahasa Prancis tentang Serat Centini, maha karya sastra Jawa Klasik awal abad ke-19, yang memiliki nama lain Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga.

Berkat karyanya itu, tahun 2003, Eli, begitu ia akrab disapa, menerima penghargaan Prix littéraire de l'Asie (Penghargaan Sastra Asia) dari Perhimpunan Sastrawan Berbahasa Prancis (Association Des Ecrivains De Langue Francoise). Ia kemudian mengalihbahasakan karya itu ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Centhini, Kekasih yang Tersembunyi (Juli 2008).

Karya Eli berikutnya Tohu-Bohu, sebuah cerita yang bertolak dari dua peristiwa besar di tanah Jawa yaitu gempa Jogja dan korban erupsi Merapi 2010. Novel sarat mitos seputar Merapi dan Laut Selatan ini juga ditulis serempak dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dengan judul Babad Ngalor-Ngidul (KPG, 2016).

Sebenarnya pertemuan saya dengan perempuan berusia 58 tahun ini berawal enam tahun lalu, tepatnya ketika Elisabeth didapuk sebagai pemantik diskusi dalam forum Uncang Budaya Jambi, yang ditaja Dewan Kesenian Jambi (DK-Jambi) dengan topik Perjalanan Dipamkara Shri Jnana (gelar Atisha) ke Svarnadvipa (untuk menyebut Sumatra) menemui Guru Dharmakirti, 13 abad setelah perjalanan biksu peziarah asal Tiongkok, I-Tsing.  

Ketika itu sosok Elisabeth sebagai pencerita begitu menonjol. Tersebab mendengarnya bertutur pelan seperti membacakan tembang dan syair, untuk menyebut contoh, seperti Sutra Cahaya Emas, terjemahan dari Sankskerta ke bahasa Cina oleh I-Tsing di tahun 703, berikut ini:

"Suatu malam, terjaga,
Aku bermimpi begitu nyata.
Kulihat genderang besar dan indah
Memenuhi dunia dengan cahaya keemasan
Dan berpijar laksana sang surya.
Terang menyinari semua tempat,
Dan terlihat dari sepuluh penjuru."

Masih segar dalam ingatan, hanya dipisahkan oleh beberapa peserta diskusi, saya melihat mata Elisabeth laksana lembar-lembar halaman, berisi syair dan prosa tentang kesungguhan Atisha yang ingin lebih banyak memahami batin pencerahan bodhicitta, jantung praktik seorang Bodhisattva, pada guru yang paling tersohor di Suvarnadvipa yakni Dharmakirti, biasa disebut di Tibet sebagai Lama Serlingpa.

Demikian Elisabeth membacakan penggalan catatan Atisha dengan sudut pandang orang pertama, yang merujuk bahasaTibet (rNam-thar rgyas-pa, ditulis sekitar tahun 1355) berbunyi:

“Sembah sujud kepada Maitreya dan Avalokiteshvara! Aku, biksu Dipamkarashrijana, mengarungi samudera dengan kapal selama tiga belas bulan lamanya dan beranjak ke tempat Lama Serlingpa berada. Setelah lima bulan berlalu, Indra Putra Dewa mengirim badai hebat untuk menghentikanku dari jalan Bodhicitaku. Juga, ia menjelma dalam rupa raksasa makara untuk menghentikanku dan mengirim kilat.

Kala itu, aku melakukan samadhi atas Kasih dan Welas Asih. Akibatnya, badai mereda dan enam kilat danawa tampak sangkut di langit tak mampu turun ke bumi. Akan tetapi, makara berhasil menghentikan jalan kami. Pada saat yang sama angin ribut membuat kapal kami terombang-ambing seperti panji diterpa angin ribut; bergoyang, gemeletar, terpental-pental ke udara dan hendak karam di samudera. Keempat tiang kapal di empat penjuru tumbang dan keempat batu besar diturunkan untuk menambatkan kapal. Namun suasana berubah lebih menakutkan; bunyi bising membahana dari empat arah mata angin diikuti dengan kilat.”

Diakui Elisabeth, awal mula dirinya mengikuti jejak biksu Buddha asal Benggala, India Timur, Atisha, itu berkat jasa seorang Yogi.

“1997 saya berada di Himalaya. Seorang pendeta Bangladesh memberi saya abu sang tokoh. Tiga tahun berselang, saya memang mengembalikan abu itu ke Dalai Lama di India. Tapi saya masih melanjutkan pengembaraan panjang: dari Centhini, ke Suvarnadvipa, kemudian Tibet,” ungkap Eli menyebut pengembaraan dirinya yang penuh arti dan sarat pengalaman, baik lahir maupun batin.

***

Pukul 19. 52 WIB. Rangkaian peluncuran buku Mimpi-mimpi Pulau Emas dimulai. Warga memenuhi semua sisi laman Dermaga. Laiaknya pengunjung lain, saya antusias menikmati suguhan pelbagai tampilan karya seni dari warga Desa Muarojambi malam itu, mulai dari berarak dengan membawa obor dari arah Gapura utama Percandian Muarojambi hingga laman depan panggung utama, lalu kato-bejawab (memakai seloko adat) sebagai simbol ucapan selamat datang bagi tamu yang datang, yakni Elisabeth bersama jurnalis dan turis lainnya, zikir bardah, tarian tradisi, sekapur sirih penulis sekaligus penerjemah buku Mimpi-mimpi Pulau Emas, penandatanganan memperingati Hari Perdamaian Internasional (IDLTP), atraksi pencak silat, dan dipungkasi lawakan kocak serta nyanyian dari kelompok musik ternama Wak Kocai.

Sedangkan di sisi kanan panggung utama, tampak beberapa buah lukisan berkonten tetumbuhan dan tinggalan artefak khas peradaban kuno Desa Muarojambi, topeng-topeng yang terbuat dari bahan labu (dipakai oleh penderita kusta dalam riwayat lama Desa Muarojambi), dan dekorasi pendukung lainnya.

Tak syak, perjumpaan kali kedua antara saya dan Elisabeth di sela peluncuran bukunya di malam (13/5/18), itu menyegarkan kembali ingatan kami enam tahun lalu. Malam pun menunjukkan larutnya. Warga Desa Muarojambi perlahan-lahan meninggalkan lokasi acara. Sedangkan penyelenggara, Padmasana bersama sebagian warga pemuda Desa, mulai merapikan dan mengkemas ragam peralatan pendukung acara.

Sebelum berpisah, kepada Elisabeth saya mengutarakan niat bincang-bincang lebih lanjut. Kami pun sepakat menentukan hari pertemuan, sebagaimana hasil wawancara saya bersama dirinya, dua hari usai peluncuran buku, tepatnya 13 Mei 2018, sekira pukul 10.15 WIB di hotel Wiltop, Kota Jambi, berikut ini:

Kapan Pertama Kali Anda ke Desa Muarojambi?

26-28 November 2010, tepat ketika saya menjadi salah satu narasumber dalam seminar internasional cagar budaya Jambi yang ditaja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, dan bertempat di Hotel Wiltop Kota Jambi.

Sejak itu, bila ada kesempatan luang saya mulai berkunjung ke Jambi, tepatnya ke kawasan Percandian Muarojambi sembari berinteraksi dengan warga masyarakat Desa Muarojambi yang notebene mayoritas beragam Islam dan ikut berjasa merawat situs terbesar di Asia Tenggara dan dulunya adalah sebuah Universitas Budha sejak abad ke-7 hingga abad 13.

Bagaimana Pandangan Anda Terhadap Situs Percandian Muarojambi?

Pertalian antara penggalian arkeologis dan naskah-naskah berbahasa cina dan tibet tampak menunjukkan bahwa situs besar Muarojambi, yang membentang lebih kurang 3.981 hektar di sepanjang batanghari, sungai terpanjang di Sumatra, telah menjadi pusat ajaran Buddha terbesar di Asia Tenggara. Demikianlah nama svarnadvipa, yang dalam bahasa sansakerta berarti 'pulau emas' digunakan untuk menyebut pulau yang sekarang bernama Sumatra ini.

84 candi batu batanya, baru sebelas yang di pugar. Mungkin pernah menjadi "fakultas-fakultas" yang disaling-hubungkan dengan suatu jaringan kanal yang besar.

Ketika menyusuri jalan semak belukar dimana puing keramik cina pada abad ke-7 dan ke-9 bertebaran. Orang mulai membayangkan universitas "alam" pertama di persimpangan antara India dan Cina yang mencakup hutan sebagai kebun, perpustakaan, apotik hidup dan suaka semedi di dalam kampusnya.
Hebatnya, laiaknya Nalanda, ilmu yang diajarkan pada waktu itu mencakup pancavidya: logika (hetuvidya), tata bahasa/kesusastraan (sabdavidya), ilmu pengobatan (cikitsavidya), kesenian (silpasthanavidya), dan inner science (adhyatmavidya).

Merujuk pendapat arkeolog Jhon N. Miksic, yakni, "Sumbangan terpenting Muarojambi bagi warisan budaya dunia terletak bukan pada bangunan gedungnya, tetapi pada kegiatan kecendikiaannya. Seperti diajarkan M. Dumarcay kepada saya, gedung-gedung ini hanya cangkang bagi pikiran manusia dan renungan tentang sifat kenyataan."

Bagaimana Pandangan Anda Mengenai warga Desa Marojambi dalam kaitan Pelestarian Percandian Muarojambi?

Faktanya di Muarojambi berdiri sebuah Desa yang semua warganya penganut Islam. Sebagian besar rumah mereka terbuat dari kayu dan dibangun di atas jangkungan di sepanjang Sungai Batanghari. Kebun mereka yang ditanami dengan pohon kakao dan durian terletak di atas reruntuhan candi-candi tersebut. Beberapa muda-mudi Desa kadang-kadang terlibat mengerjakan penggalian dengan pengawasan ahli purbakala. Mereka dapat mengenali tiap batu, tiap gundukan tanah merah, setiap pohon di hutan tempat orangtua mereka membangun gubuk-gubuk kecil untuk mengawasi durian jatuh di malam hari.

Mereka mampu menunjukkan beberapa spesies endemis pohon-pohon dari anak benua India yang tidak tumbuh di tempat lain di Sumatera, kecuali di hutan Muarojambi. Contohnya, pohon kapung atau kembang parang (meto dzambaka dalam bahasa Tibet) yang kelopak setipis ari berwarna putih di dalam kulit pohonnya digunakan di India dan Tibet sebagai sesaji bunga dalam pembayatan tantra.
Mereka benar-benar bisa hidup antara ilmu kuno Budha dan kebudayaan Melayu (Islam) saat ini.

Adakah Benturan antara Warga Muslim (Desa Muarojambi) dengan keberadaan Percandian Muarojambi sebagai Tinggalan Budha?

Faktanya, dalam rentang waktu yang panjang, antara Budha (termasuk situs peninggalannya) dan Islam di kawasan ini terbangun dalam relasi penuh cinta, kasih dan waskati. Kekuatan ini, diakui Elisabet merupakan angin segar bagi buruknya relasi antar umat beragama sekarang ini di banyak tempat lain, baik dalam maupun luar negeri.

Ia memberi contoh, aksi radikalisasi mengatasnamakan agama dewasa ini, seperti penyerangan Charlie Hebdo di Prancis, bahkan aksi bom bunuh diri Surabaya baru-baru ini (tepat saat wawancara kami) mencederai keluhuran nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi akan perdamaian.

Karena itu, dirinya sangat senang, saat peluncuran buku Mimpi-mimpi Pulau Emas (11/5/18), Desa Murojambi menjadi saksi untuk dunia, dengan dibubuhkannya tanda tangan di atas kain berwarna putih, yang dimulai dari perangkat Desa, yakni sekretaris Desa, perwakilan warga, muda-mudi, pengunjung, turis mancangera, jurnalis, dan lain sebagainya, sebagai simbol dukungan sekaligus peringatan Hari Internasional Hidup Bersama dalam Damai (the International Day of Living in Peace Together—selanjutnya: IDLTP) pada setiap16 Mei.

“Semoga kami (warga Desa Muarojambi) menjadi pengemudi perahu di atas lubang hitam besar, sampan bagi ingatan, tongkang, jembatan di antara dua tepian, dari Budha menuju Allah (Islam),” imbuhnya mengulang penggalan narasi dari buku Mimpi-mimpi Pulau Emas, yang sejatinya
merupakan kesadaran secara kolektif warga Desa Muarojambi (hal: 114) .

Apa itu IDLTP?

Gagasan mengenai IDLTP lahir dari diagnosis Syekh Bentounes, mursyid tarekat Alawiyyah, yang didirikan pada 1909 di Mostaganem, Aljazair, oleh kakek buyutnya, Syekh Ahmed al-‘Alawi (1869-1934) yang dianggap sebagai seorang wali sekaligus pembaharu pemikiran-pemikiran Muslim modern.
Menurut  Syekh Bentounes, sekarang ini massifnya budaya egoisme (“dari setiap orang untuk dirinya sendiri”), sehingga telah mencapai tingkat paling akut dalam sejarah; mengarah pada antagonisme antarindividu dan antar masyarakat serta konflik politik, sosial dan lingkungan; dan meningkatkan rasa takut terhadap yang lain, yang tidak diketahui, yang berbeda; rasa takut terhadap kemiskinan dan perubahan.

Egosentrisme meningkatkan rasa ketidakamanan (insekuriti). Rasa ketidakamanan meningkatkan intoleransi. Sebagian orang mengampanyekan respons terhadap ketakutan dengan ketakutan. Orang-orang ini mengklaim ruang mereka melalui kekerasan. Mereka mengeksklusi orang lain untuk memonopoli ruang bagi diri mereka sendiri seraya mempromosikan homogenitas dan membatasi dunia hanya pada apa yang mereka ketahui.

Sebuah gagasan sekaligus gerakan baru dengan demikian diperlukan untuk menawarkan optimisme kepada warga dunia, demi mengekspresikan keinginan keras untuk belajar hidup bersama, untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi semua orang di mana pun.

Dengan demikian, pungkas Elisabeth, peringatan IDLTP di berbagai negara, termasuk Indonesia merupakan usaha tiada putus masing-masing kita untuk mencipatkan situasi damai dan keterbukaan untuk selalu belajar dan menghargaai perbedaan.

Betulkah Tempat Belajar Atisha Merujuk Kawasan Percandian Muarojambi (dan Istana Payung Perak-kediaman Sarlingpa) sekarang ini?

Elisabeth mengakui buku ini tidak dimaksdukan sebagai kesimpulan dari sebuah karya ilmiah. Tentu kerja-kerja penelitian serius lintas disiplin ilmu perlu terus digalakkan. Namun hasil refleksi panjang dirinya plus perjalanan dari banyak tempat, perjumpaan dengan banyak individu, juga didukung literatur (termasuk naskah-naskh kuno di Tibet), bahkan penjelajahannya terhadap mimpi (baik mimpinya sendiri maupun mimpi orang lain di TIbet) yang memiliki hubungan dengan situs Muarojambi, sehingga dirinya berkeyakinan kawasan percandian Muarojambi sekarang ini merupakan peninggalan peradaban unggul pada masanya, dan gambaran tempat Atisha berguru pada Dharmakirti di Suvarnadvipa, sebagaimana diceritakan Atisha dalam catatannya berbahasaTibet (rNam-thar rgyas-pa, ditulis sekitar tahun 1355), diyakini kuat adalah kawasan Percandian Muarojambi sekarang ini.

Apa sebab?

Sangat mungkin di masa Sriwijaya, ketika Palembang sebagai kota administratif (pusat kekuasaan-red), maka di Batanghari, sekira 400 kilometer ke selatan Muarojambi, tepatnya di Desa Muarojambi sekarang berdiri  perguruan tinggi Budha terbesar.

Lumrah bila kita memperhatikan lokasi-lokasi perguruan tinggi besar di dunia sekarang ini, bahwa kampus besar itu berada jauh dari pusat ekonomi dan kekuasaan, untuk menyebut contoh, seperti Hardvard (Cambridge, Massachusetts) dan Colombia University (New York City). Keduanya bukan di Washington, D.C., sebagai ibu kota Amerika Serikat. Maka, sangat mungkin di Muarojambi berdiri lembaga pendidikan tinggi di masa itu yang berjarak cukup jauh dengan pusat kekuasaan Sriwijaya di Palembang sebagai Ibu Kota”.

Tak hanya itu, Elisabeth juga mendapati kenyataan dari warga Muarojambi bahwa jika kelak para ahli purbakala dapat membuktikan Istana Payung Perak pernah berdiri di sana atau tidak, itu bukan perkara. Karena sang guru bersamayam di tempat ajarannya hidup. Walau faktanya hari ini, meayoritas warga di sekitar Percandian berama Islam, saripati Sharlingpa hidup di dalam hati kami: “ membaktikan kebahagiaan diri demi melayani sesama. Islam dan adat-istidat kami pun mengajarkan hal yang sama. (Mimpi-mimpi Pulau Emas, hal: 104).

Bahkan, kunjungan biksu Tashila (Tenzin Dakpa), guru upacara di Winhara Namgyal, pada Mei 2012, baik saat bertemu saya maupun ketika dirinya mengunjungi lansung kawasan percandian Muarojambi, mengatakan: “Sejak kecil, saya baca ajaran dan riwayat hidup Atisha. Saya membayangkan pulau emas ini sebagai pulau impian. Sekarang, di sinilah saya. Ternyata, itu bukan mimpi semata.”

Adakah petunjuk lain?

Sekarang, muara Sungai Batanghari, Muara Sabak, hanyalah sebuah dermaga. Samudera masih jauh jaraknya, setidaknya dua jam dengan perahu, tetapi daratan berhenti di sini, tempat sungai tersebut terbelah menjadi dua cabang. Kedua lengan tersebut merangkul sebuah pulau yang menghadap ke Selat Malaka, menjaga jalan masuk sungai itu. Pulau yang kaya akan sungai ini merupakan tempat taman nasional yang dihuni banyak buaya dan tanaman bakau. Persis seperti catatan Atisha (rNam-thar rgyas-pa, ditulis sekitar tahun 1355) berbunyi:

Segera setelah kami menyeberangi samudera itu, aku (Atisha) langsung beranjak ke stupa emas yang dahulu dibangun oleh kaisar Tibet. Di sanalah enam murid Lama Serlingpa sedang larut dalam samadhi mereka. Stupa ini terletak di barat hutan Swarnadwipa, di sebelah selatannya ada teratai yang permai, di sebelah utaranya ada rawa yang berbahaya, dan di sebelah timurnya terdapat Kekeru Buaya. Aku tinggal di sana selama empat belas hari, sembari bertanya tentang kehidupan Lama Serlingpa.

Sejumlah penggambaran di dalam catatan perjalanan Atisha menunjukkan bahwa di Muarojambi lah Atisha bertemu Serlingpa dan belajar bersama gurunya terkasih itu, sama seperti sejumlah besar biksu yang tinggal di sana dan kesempurnaan naskah-naskah Buddha yang diajarkan di sana:

Kemudian aku (Atisha) melihat para biksu datang dari kejauhan, beriringan mengikuti guru mereka. Mereka berbusana rapi dengan tiga jubah mereka. Tiap orang memegang wadah air dan tongkat.Ada lima ratus tiga puluh lima jumlahnya dan tampak anggun seperti para arahat. Sang guru dikawal oleh enam puluh dua sramanera. Seluruhnya ada lima ratus tujuh puluh dua biksu. Saat aku melihat ini, aku merasa seolah aku sedang melihat Sang Buddha yang dikelilingi para arahat. Sungguh pemandangan yang menawan!

Apa Penelitian Terbaru Anda?

Berulang kali Elisabeth menyebut dirinya bukan seorang scholar atau pakar Muarojambi, tapi seorang petualang yang terpana pada ilmu dan kebatinan. Namun menulis dan menjadi narasumber dalam pelbagai forum diskusi maupun seminar terus ia jalani hingga sekarang.

Diakuinya, buku Mimpi-mimpi Pulau Emas, terbitan Babad Alas (Yayasan Lokaloka Yogyakarta dan Padmasana Foundation (2018) ini merupakan karya mutakhirnya. Meskipun tidak dibuat sebagai karya ilmiah, lanjut Elisabeth, buku bercitarasa sastra (memuat kata-kata puitik, syair, seloko, dan narasi reflektif),  dan ditulis dengan empat bahasa (Inggris, Perancis, Mandarin, dan Indonesia) ini cukup menguras tenaga dan pikiran, terlebih menggali alam pikiran sekaligus praktek keseharian masyarakat Desa Muarojambi yang berganti dari Budha pada masa yang lampau hingga menjadi Islam sebagaimana sekarang.

Namun demikian, jerih payah itu semua seolah terbayarkan lantaran dikerjakan bersama-sama warga muda kreatif Desa Muarojambi. “Sayang senang sekali,” selorohnya lepas.

Selain narasi/teks, lanjut Elisabeth, buku ini juga menampilkan beberapa kaligrafi karya Tan Swie Hian (Singapura untuk Mandarin), Syeikh Khaled Bentounnes (Aljazair untuk Arab/Quran), Ven. Tenzin Dakpa/Tashila (Head of tantric ceremony Tibet untuk Tibet dan Sanskrit), dan lukisan-lukisan karya Masyarakat Muarojambi, termasuk Repro lukisan mural monastery tibetan oleh Pebrianto Putra, dan repro Lukisan mural di tembok dermaga desa Muarojambi karya Heri Dono (Pelukis kontemporer Indonesia) sebagai kaver buku.

Anda Membawa Peneliti, Jurnalis dan Turis Asing ke Kawasan Percandian Muarojambi. Bagaimana Pandangan Mereka?

Betul. Karena memang situs Percandian Muarojambi penting dikenal oleh publik internasional. Saat bersamaan keberadaan jurnalis dan penelitian menjadi faktor penting dalam menggali sekaligus memperluas keterbacaan khalayak luas terhadap budaya yang tumbuh-berkembang di kawasan situs dan masyarakat Desa Muarojambi.

Diakui Elisabeth, utamanya bagi turis Eropa, kawasan Percandian Murjambi tidak begitu menarik buat mereka lantaran tidak sebagaimana bangunan cagar budaya Angkor Wat di Kamboja.

“Secara bisnis bagi travel belum memberikan keuntungan yang sepadan, utamanya untuk kedatangan turis dari Eropa. Faktanya, lima tahun ini, untuk menyebut contoh, CEO-ASIA, agen perjalanan pimpinan Jan-Paul Chantraine (juga penyandang dana penerbitan buku Mimpi-mimpi Pulau Emas), mengakui kunjungan turis ke Muarojambi belumlah memberikan efek ekonomi secara signifikan bagi perusahaannya,” ungkapnya.

Namun demikian, lanjut Elisabeth, dalam banyak kesempatan, dirinya selalu menyampaikan pada turis yang mengunjungi Percandian Muarojami untuk tidak semata fokus pada objek situs atau melakukan ibadah (bagi yang beragama Budha), tetapi perlu berinteraksi dengan warga sekitar yang notebene muslim dan menjadi perawat kawasan situs ini. Di situlah kita (turis) akan menemukan nilai-nilai tak terhingga.

Bagaimana Pandangan Anda Upaya Percandian Muarojambi Menuju World Heritage (UNESCO) ?

Selagi memberi manfaat seluas-luasnya bagi masyaraat Desa Muarojambi itu tak masalah. Namun bilamana upaya menuju penetapan situs warisan dunia UNESCO justru membawa pengaruh buruk bagi warga, semisal hilangnya kepemilkan tanah mereka (berarti hilangnya kebudayaan), dan massifnya pembangunan fisik penunjang wisata tanpa sama sekali mengindahkan ekosistem warga Muarojambi, itu maka menjadi kontraproduktif.

“Kita perlu berlajar pada konflik kepentingan dalam pengelolaan situs cagar budaya dunia Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, dimana warga masyarakat hanya menjadi pelengkap asesoris kepariwisataan belaka. Tidak menjadi tuan rumah sepenuhnya,” ujarnya.

Bagi Elisabeth, upaya internasionalisasi kawasan situs Percandian Muarojambi ini, di samping perlu penguatan kafasitas SDM bagi masyarakat setempat, adalah juga penting memperluas kerja-kerja penelitian dan pelestarian budaya. Apatahlagi, lanjut Elisabeth, kawasan Percandian Muarojambi, juga Desa Muarojambi, sekarang menujukkan anomalinya. Amuk stockfile (tumpukan batu bara) pada struktur-struktur candi yang belum dipugar. Penembang emas liar di hulu sungai Batanghari memadu debu emas dengan raksa, yang sisanya dibuang ke air hingga sampai ke bibir Desa dan kanal situs Muarojambi. Gurita sawit kian menjadi-jadi dan di tahun 2015 perluasan kebun sawit telah menyebabkan kebakaran hutan besar yang asapnya menutup matahari di atas Desa Muarojambi.

Sehingga, pungkas Elisabeth, sekalipun terbit surat keputusan Nomor 259/M/2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang menetapkan bahwa Muarojambi terdaftar sebagai kawasan cagar budaya Nasional plus kedudukan percandian Muarojambi dalam daftar tunggu (tentatif list) UNESCO, adala faktor di atas menjadi kendala utama  guna maraih status sebagai cagar budaya dunia (world heritage).

***

Jarum jam mengarah ke angka 13.45 WIB. Tak terasa hampir tiga jam percakapan antara kami belangsung di mini restoran, hotel Wiltop Kota Jambi, tempat Elisabeth menginap selama di Jambi.
Saya pamit dan kami pun berpisah. Esoknya Elisabeth D. Inandiak bertolak ke India, lanjut terbang ke Prancis, dan sekitar Agustus kembali ke tanah air, tepatnya ke Yogyakarta, sebuah kota dimana ia pertama kali jatuh cinta pada kebudayaan Jawa, dan sejak 1989 ia memilih menetap di perkampungan dalang Desa Pajangan, Tridadi, Sleman, Yogyakarta.

Kini, selain Yogyakarta, di hati Elisabeth ada Desa Muarojambi. Tersebab, sebagaimana dirinya, warga Muarojambi tidak perlu memaksa diri mencari bukti, melainkan telah menemukan tanda bahwa 'Pulau Emas' itu sejatinya ada, di sini, di Desa Muarojambi.


* Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada tanggal 13 Juni 2018.

0 Komentar