Oleh: Jumardi Putra*
“Pasar
memang sudah memberikan banyak pengalaman baru tentang kemanusiaan, akan
tetapi, kini orang mulai gelisah dengan efek dari hasil temuan-temuan yang dulu
pernah membanggakan. Bisakah kita keluar dari pasar?” (St. Sunardi)
Dewasa ini,
kata pertumbuhan, mengejar ketertinggalan dan mewujudkan impian bersama adalah
simpul-simpul rasionalitas pembangunan, yang tanpa ada turut campur masyarakat
di dalamnya, memuluskan program-program mercusuar pemerintah daerah dalam
berbagai bentuk pembangunan infrastruktur fisik di wilayahnya. Keadaan
demikian, turut mewarnai Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah dalam beberapa tahun
terakhir ini. Sebut saja mega proyek Jambi EMAS (Ekonomi Maju, Aman dan Sejahtera)
yang menelan trilliunan rupiah itu, antara lain perbaikan trotoar kantor
Gubernur Jambi, Tugu dan Perpustakaan Pers, Jembatan Pedestarian dan menara
Gentala Arasy, serta Jambi Bisnis Center (JBC), Shoping Centre dan Hotel.
Sejatinya,
di balik akselerasi pembangunan itu, menyembul persoalan mendasar, yaitu
terabainya wilayah pengembangan pembangunan kebudayaan, seperti pengembangan
nilai luhur bersama, penguatan karakter sosial-budaya serta pembangunan mental
spiritual dan afeksi sosial. Bahkan, dalam draf Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Jambi periode 2010-2015, prioritas pembangunan sosial
budaya di bawah kepemimpinan HBA-Fachrori, berganti “keriuhan” dengan
pengembangan infrastruktur melalui pembangunan fisik-material.
Pada saat
yang sama, Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi yang menjadi penerjemah dua kementerian teknis:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (rujukan program kebudayaan) serta
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (acuan program pariwisata), gagal
menerjemahkan program prioritas pengembangan dan pembangunan kebudayaan ke
dalam program-program konkret dan berkelanjutan, yaitu 1) pembangunan karakter
bangsa melalui kebudayaan, 2) pelestarian warisan budaya (pelindungan,
pengembangan dan pemafaatan, dan 3) penguatan diplomasi budaya.
Saya
mencatat, ada dua permasalahan besar dari Renstra Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi. Pertama, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Jambi kurang tepat dalam mendesain renstra. Tarikan dalam rancangan awal
renstra mereka mengarah jauh ke substansi pariwisata daripada kebudayaan.
Kedua, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi menerjemahkan substansi
kebudayaan dengan cara mereduksinya menjadi sebatas komoditas pariwisata. Salah
satu buktinya adalah rumusan visi pada renstra Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jambi. Bunyinya: “Terwujudnya Jambi sebagai daerah tujuan wisata yang
mampu meningkatkan perekonomian daerah berbasis keragaman budaya dan kekayaan
alam,” dengan garis besar sasaran 1) meningkatnya kunjungan wisatawan; 2)
meningkatkan komoditas pariwisata yang berbasis keragaman budaya daerah; 3)
meningkatnya kapasitas SDM bidang kebudayaaan dan pariwisata.
Tidak
mengherankan bila muncul keganjilan dalam melihat catatan prestasi kerja
pemerintah di bidang kebudayaan, yang antara lain berisi: jumlah pengunjung
museum, jumlah wisatawan domestik dan mancanegara, jumlah situs, jumlah rumah
makan, hotel, biro perjalanan pariwisata, produksi dan penonton teater, atau
sebaran kantong-kantong kesenian. Kebudayaan pun tertinggal melulu sebagai
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau hitungan statistik belaka.
Pertanyaannya, dari mana rumusan tentang pengembangan pembangunan kebudayaan
bisa diambil? Jawabannya seharusnya dari renstra Dinas Pendidikan. Sebab, SKPD
ini yang menjadi penerjemah langsung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Lantas, bagaimana substansi kebudayaan melalui internalisasi nilai untuk
membentuk jati diri dan kepribadian masyarakat tersebut dilakukan? Tidak ada
desain konkret dalam rencana pembangunan lima tahun yang berjalan ini. Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata tidak menyentuhnya. Dinas pendidikan juga abai
terhadap substansi ini. Tarikan renstra Dinas Pendidikan pun lebih kuat ke
pendidikan persekolahan alias pendidikan formal. Padahal, para sarjana dari
berbagai disiplin ilmu melalui berbagai forum ilmiah mengatakan Jambi memiliki
keragaman budaya sekaligus menyimpan sejarah yang panjang.
Ambil misal,
hasil penelitian profesor Jhon. N. Miksic dari Departemen Studi Asia Tenggara,
Universitas Nasional Singapura (NUS) menyebutkan, kumpulan manusia dari
berbagai daerah bahkan negara luar telah menghuni wilayah ini sejak lama.
Gambaran menyeluruh itu dapat disimak dalam masa awal perkotaan Jambi di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Batanghari, dalam hal hubungan regional dan internasional
di masa lalu dan potensi pengembangan di masa kini maupun mendatang.
Beranjak
dari keadaan di atas, saya menilai penguatan kapasitas pengembangan pembangunan
kebudayaan itu harus diposisikan sebagai satu paket utuh pembangunan Jambi
bersama pengembangan infrastruktur lainnya yang terus berjalan. Dengan begitu,
pembangunan Jambi bisa lebih berimbang, antara pengembangan kapasitas
infrastruktur dan pengembangan pembangunan kebudayaan.
Pertama,
sisi fisik. Sisi ini lebih menekankan pada pembangunan struktur dan
infrastruktur sosial-budaya-ekonomi-politik. Kedua, sisi psikis. Pembangunan
sisi ini memperkuat basis kebudayaan warga (mental dan jati diri masyarakat)
untuk mengimbangi keberhasilan-keberhasilan fisik-material itu. Namun, patut
dicatat, bila wilayah pengembangan pembangunan kebudayaan itu tidak didesain
konkret, program pembangunan sebaik apa pun akan sulit untuk menemukan
kanalisasinya. Atau bahkan menimbulkan ketidakseimbangan baru.
Hal itu
menjelaskan, Jambi EMAS tidak bisa terus tumbuh di bawah komando pembangunan
ekonomi yang mensakralkan kata “pertumbuhan” sehingga mengeksploitasi sumber
daya alam, seperti menggali lebih banyak batu bara, menanam lebih luas kelapa
sawit, karet atau mengisap lebih dalam minyak dan gas. Karena yang terjadi
adalah pengrusakan lingkungan yang berkelanjutan, sehingga memicu terjadinya
bencana hidrometeorologi: banjir, tanah longsor, kekeringan, dan malapetaka
lainnya bagi kehidupan umat manusia ke depan.
Dalam pada
itu, budayawan Radar Panca Dahana dengan baik mengingatkan, “Adagium klasik
bagi pemerintahan negara-negara ketiga (berkembang), lebih dulu ekonomi cukup
sebelum hidup (kebudayaan) cukup, sekian lama sudah menjadi jebakan yang
memerangkap kita berkali-kali dalam krisis. Walau sebenarnya, realitas hidup
berbudaya kita yang cukup panjang telah sangat banyak mengajarkan:
kebahagian–juga sebagai akhir dari perjuangan ekonomi, di antaranya-tidaklah
semata karena limpahan harta.”
Akhirnya,
demi keberlangsungan masyarakat Jambi untuk waktu yang tidak ditentukan,
penguatan wilayah pengembangan pembangunan kebudayaan tidak bisa ditawar-tawar
lagi, karena inti dari proses kebudayaan itu, kata filusuf Driyarkara adalah
humanisasi, yaitu kerja-kerja peradaban yang semakin menciptakan kondisi hidup
bersama semakin manusiawi, menyejahterakan satu sama lain, karena saling
mengembangkan kemanusiaan sesama dan dirinya. Dengan begitu, masyarakat tidak
mudah terjerumus ke dalam lubang hitam budaya modern, “terlihat seperti
gelembung sabun, yang meski indah, tapi tidak berisi.”
*Tulisan ini terbit pertama kali di koran Jambi Today (2014).
0 Komentar