Puasa dan Kesalehan Sosial

ilustrasi

Oleh:  Jumardi Putra*

“Bukan tanpa iman jika kepergian ramadan ditangisi.” Demikian ungkapan Farid Esack, cendekiawan muslim kontemporer asal Afrika Selatan perihal signifikansi bulan suci ramadan bagi umat Islam.

Pertanyaan yang segera muncul kita renungi mengawali bulan suci ini ialah bagaimana ibadah puasa memiliki pengaruh terhadap praktik kehidupan sehari-sehari, tidak terkecuali terapi bagi persoalan-persoalan yang menimpa republik ini.

Setidaknya ada tiga posisi strategis puasa, baik dipandang sebagai ibadah ritual yang bersifat personal maupun sosial.

Pertama, puasa merupakan ladang persemaian kesalehan vertikal-horizontal. Merujuk pendapat cendekiawan muslim Indonesia, Moeslim Abdurrahman (Bulan Suci Bermakna Sosial, 2009), bahwa puasa yang kita jalankan tidak hanya berhenti dan memperkaya horizon pengalaman beragama individual, tetapi juga berlanjut implikasinya pada dimensi sosial.

Ritus ini diharapkan berdampak meningkatkan kualitas pengahayatan individu terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Kedudukan ibadah puasa di atas tersebut, memakai istilah Yudi Latif, bukan semata-mata cultus privatus, tetapi juga cultus publicus. Dengan kata lain, mengaku iman (modal primer kaum muslimin dalam menunaikan ibadah puasa) saja tidaklah cukup, bila tidak diwujudkan dalam bentuk amal saleh.

Kedua, secara normativ. Agama Islam berkewajiban menabur elan pembebasan kehidupan manusia dari kenyataan sejarah yang diskriminatif dan eksploitatif. Akan tetapi, kepedulian umat muslim terhadap realitas dan problematika praktis kemanusiaan itu, tampaknya belum mendapat porsi yang memadai. Faktanya,  87, 2% warga muslim dari 200 juta lebih penduduk Indonesia (sehingga dijuluki the largest muslim country in the world) merupakan modal utama bagi umat muslim Indonesia memajukan bangsa ini, tetapi sayangnya, secara kualitatif internal umat muslim masih berhadapan langsung dengan pelbagai persoalan yang rumit dan kompleks seperti kemiskinan, pengangguran dan kualitas pendidikan serta kesehatan yang tercecer di belakang negara-negara lain.

Karena itu, merujuk A. Najib Burhani (Kompas, 2000), dengan puasa aspek pembebasan yang bersifat interior (di dalam kesadaran) dan pembebasan pada tingkat eksterior (kehidupan kemasyarakatan) dapat dikristalisasikan lagi oleh umat Islam. Itu artinya, puasa harus dimaknai sebagai ajaran tauhid yang dapat mengobrak-abrik spritualitas kerja kita dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Ambil misal, Nabi Muhammad SAW semasa hidup membuktikan kepeduliannya terhadap ketimpangan yang melanda kondisi masyarakat. Terbukti, begitu dekatnya Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang miskin, sampai-sampai beliau mendapat julukan Abul Masaakin (Bapak Orang-orang miskin). Kemudian ketika ada seorang sahabat bertanya terhadap keberadaan dirinya beliau menjawab, “Carilah aku di tengah orang-orang yang lemah di antara kalian.”

Setakat hal itu, sebagaimana diriwayatkan Imam Ali Bin Musa Al-Ridha A.S pernah berkata, “Sebab diwajibkannya puasa agar manusia merasakan kelaparan dan kehausan, sehingga mengetahui beratnya kehidupan akhirat sehingga bisa meninggalkan dosa dan maksiat.”

Dari situ jelas, di samping puasa merupakan satu mekanisme kesadaran kritis seorang manusia terhadap eksistensi Tuhan-Nya, juga tempat untuk menemukan sisi kemanusiaan kita yang (mungkin) selama 11 bulan hilang. Pada sebelas bulan ke belakang mungkin saja jiwa kita dikubangi aneka perilaku kotor, seperti kita tidak peduli dengan rintih-rengek orang miskin.

Ketiga, puasa merupakan kado istimewa dari Allah SWT. Ajaran tentang puasa dengan berbagai ritual di dalamnya semata-mata dimaksudkan bagi kepentingan kemanusiaan kolektif (orang banyak).

Pahala ritual lebih dari seribu bulan, peluang penghapusan dosa, penutupan pintu neraka, dan taburan rahmat di bulan Ramadan merupakan cara Tuhan memberi harapan bagi manusia di tengah deraan kesulitan, penderitaan dan kegagalan di sepanjang tahun.

Akan tetapi, banyaknya “produk mewah” yang ditawarkan oleh Tuhan sewaktu bulan 'pembakaran' ini, menurut Emha Ainun Najib, tergantung sejauhmana keberhasilan manusia menerjemahkan ibadah puasa sebagai aksi kemanusiaan, sehingga mampu menjadi fondasi terpenting manusia dalam memperoleh pencerahan untuk bisa kembali kepada kesucian dan kejatidiriannya (Kompas, 1995).

Jalaludin Rahmat dalam bukunya berjudul Madrasah Ruhaniah: Berguru pada Ilahi di Bulan Suci (Mizan, 2005), mengatakan di bulan suci Ramadan, manusia diajak mi’raj ke tingkat rohani yang lebih tinggi dengan meninggalkan periode oral, anal dan genital sebagai sumber pendangkalan makna hidup.

Periode oral dikendalikan dengan tidak makan dan minum. Periode genital ditertibkan dengan mengendalikan basic instinct (nalar primitif kebinatangan). Dengan kata lain, puasa yang di dalamnya memuat tafakur dan amal, refleksi dan aksi, peribadatan dan perkhidmatan adalah madrasah yang mendidik kita untuk menajamkan mata batin, serta menerbangkan ruhani kita agar bisa hinggap dalam pangkuan kasih sayang Tuhan.

Selaras sabda Nabi Muhammad SAW berbunyi, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa pun dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga,” mengisyaratkan puasa yang dilepaskan dari dimensi ruhaniah dan amal saleh (aksi sosial), boleh jadi hanya bermanfaat untuk kesehatan tubuh dan kebugaran jasmani, tetapi tidak bermanfaat untuk kemuliaan ahlak dan ketinggian ruhaniah.

*Tulisan ini terbit di portal kajanglako.com pada 17 Mei 2018.

0 Komentar