Melacak Jejak Sejarah Lewat Ziarah Batanghari

Batanghari. Sumber: Tropenmuseum

Ada seorang pemuda, Jumardi Putra namanya. Ia berdiri di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari memegang teropong untuk menelisik masa lampau, masa kini, dan kemungkinan kehadiran masa depan. Anak muda itu gamang, risau, dan bahkan galau melihat geliat Batanghari yang meliuk serupa naga raksasa, yang mengingatkan sebuah tembang khas daerah ini:

Dari danau sampai muaro
Kau macam nago dari Selatan
Bentukmu indah, arusmu tenang
Kau susuri kota Jambi
Sudah berapa zaman telah kau lewati
Prasasti kerjaan Melayu
Sampai kini, sampai kini kau tetap akan abadi
Batanghari, oi, batanghari
sungai yang terpanjang di pulau Sumatera

Pemuda itu, melalui teropong historis (kesejarahan) seolah menemukan kenyataan aktual, kehidupaan fiksional dan imajinasi pada ruang waktu yang hilang silih berganti, susul-menyusul, yang kemudian menghasilkan kenyataan baru yang aktual, yang kemudian diganti oleh kenyataan baru yang lebih aktual. Begitulah inti substansi perjalanan sejarah: terpapar dan terpendar pada masa lampau, masa kini, dan masa depan.

Semua dimensi waktu itu (masa lalu, masa kini, dan masa depan) seakan teraduk-aduk menjadi semacam “gado-gado” dalam puisi-puisi Jumardi Putra yang terangkum dalam “Ziarah Batanghari” (Ayyana, Yogyakarta, 2013, merangkum 69 puisi, kata pengantar oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, plus endorsment Prof. Abdul Hadi WM, Prof. CW Watson, Acep zamzam Noor, Ibnu Wahyudi, Regina Yanti,Ph.D. Marhalim Zaini, dan Wayan Sunarta).

Semua yang terpapar dan tergelar dalam puisi-puisi Jumardi Putra, langsung atau tidak lanagsung memperlihatkan sikap, pandangan, visi, atau falsafah yang dianutnya. Puisi dengan demikian turut berkembang seiring perputaran roda zaman, melalui penafsiran-penafsiran baru.

Puisi diasumsikan sebagai rekaman napas zaman yang memiliki unsur untuk dapat dijadikan bahan kajian sejarah (historis). Unsur-unsur yang dinilai sebagai fakta sejarah itu  setelah didukung oleh informasi, imajinasi, dokumen-dokumen lainnya diperlukan untuk kajian puisi dengan pendekatan historis. Pendekatan historis selain menemukan fakta sejarah juga melakukan seleksi untuk mengambil unsur yang memiliki nilai sejarah.

Ambil misalnya puisi berjudul  “Tanah Pilih” (hal. 1),  “Chan-pi di Mata Sayoeti” (hal. 3), “Athisha Berguru di Svarnadvipa” (hal.4), “Kajanglako Telungkup di Tanggorajo” (hal. 8), “Tak Hilang Melayu di Jambi” (hal 10), “Balada Bujang Melayu” (hal. 11), “Aku, Kembarbatu dan Telagorajo’ (hal. 14),  “Nandung Tanah Sejarah” (hal. 16),  “Balada Candi Teluk” (hal. 17), “Kedaton” (hal. 18), “Rumah Batu Olak Kemang “(hal. 19), “Mengenang Selempang Merah” (hal. 20),“Setelah Pulau Berhala Tak Ada Lagi” (ha. 21), “Senyerang” (hal. 22), “Tiga Bukit, Sungai Au” ,(hal. 23), ‘Jalan Menikung ke Limbur Lubuk Mangkuang” (hal. 25), “Cerita di Lubuk Landai” (hal. 28), “Balada Buyung Empelu’ (hal. 29), “Di Ketinggian Jerambah Muaratembesi” (hal. 31), “Di Tepian Bukit Talanca” (hal. 32), “Orang-orang Empelu” (hal. 33), dan puisi-puisi lainnya.

Pendekatan historis mencari dan menemukan nilai-nilai yang tersembunyi di balik teks puisi. Pendekatan ini juga mempedulikan hubungan antara puisi dengan aspek sosio-budaya, ideologi, falsafah yang berkembang pada suatu kurun waktu tertentu. Dalam metodologisnya, pendekatan historis ini perlu mengkaji diri penulis (siapakah Jumardi Putra, apakah yang menjadi acuan dalam hidup dan kehidupan, keyakinan, dan aneka wacana pemikirannya yang masuk ke dalam puisi-puisi yang ditulisnya). Kajian historis juga menelisik pengaruh aspek-aspek ekstrinsik (sosial, budaya, ekonomi, politik, agama) yang tumbuh pada saat puisi ditulisnya. Penerapan pendekatan historis ini harus didukung oleh dokumen-dokumen lain selain puisi yang dikaji sehingga menghasilkan simpulan yang meyakinkan.

Buku “Ziarah Batanghari” yang kini ada di tangan kita, telah terbuka dan perlu dibaca untuk melacak jejak sejarah negeri Tanah Pilih. Kita baca hasil kontemplasi Jumardi Putra melalui puisi “Tanah Pilih” yang mengawali isi buku ini.

Kini aku mengerti, Saudaraku
Kenapa Tanah Pilih begitu lesu
Menjelma yatim piatu
dalam kesepian mahapanjang
Tanggal, bulan, tahun, atau mungkin
abad-abad terlalu sanggat di Tanggorajo

Teropong yang dipakai oleh Jumardi Putra dalam puisi ini berlensa buram, suram, dan Jambi dipandangnya sebagai sebuah negeri tertutup dan berselimut kabut. Tidak jelas, terlihat lesu, yatim piatu, dalam kesepian yang mahapanjang. Kenapa Jambi seperti itu? Dalam bait selanjutnya JP menulis karena “Kita sengaja lupa” dan “Tanah Pilih tak lagi kuasa menampung hasrat pribadi anak zamannya”....”Berbagai suasana telah menyusun dirinya/dalam segala prasangka cuaca”.
Kabut dan kemelut yang menutupi fakta sejarah dan karut-marut negeri ini dalam perspektif teropong Jumardi Putra diliputi suasana “segala prasangka cuaca”. Perspektif sejarah negeri ini tentu serupa pelangi—warna-warni oleh gelegak ambisi, gejolak nurani, yang semuanya berkonfrontasi untuk mencari solusi. Sebagai pemuda yang peduli pada persoalan Jambi, Jumardi Putra menutup buku dengan puisi “Saya Ingin Lihat Semua ini Berakhir” (hal. 69) yang selengkapnya diturunkan sebagai berikut: 

Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir
: Pram

Pada kesendirianku kau bercerita:
“Aku pernah memohon kepada Tuhan
Tolong cabut nyawaku saat ini juga
Bila saya tak lagi diperlukan”

Terhadap masa mudaku
Kau menitipkan pesan:
“Saya tidak pernah tenang.
Saya sangat muda, saya tidak
pernah berhenti sebentar”

Dalam amarahmu kutemukan:
‘Tahun-tahun sepi di mataku.
Di dadaku, daun-daun gugur berabad-abad.
Dalam pernyataan cintaku terhadap airmata,
Kupikul bumi manusia yang begitu berat”

Dalam romanmu kujumpai:
“Saya memesan hujan,
juga meminta kemarau,
dan musim-musim lain
dan segala prasangka cuaca.
Menemui orang-orang kecil di labirin
yang mendebarkan.
Hinga aku menanatang siapa saja
tentang manusia dan cita-cita”

Pada dialog kusimpulkan:
“Saya ingin lihat semua ini berakhir
Apa yang paling penting,
bila hayatku memisahi badan?
Aku bisa mendengar bisikan
Di bumi manusia, anak cucuku
menemukan keberanian”

Di akhir hayatmu, kusimpulkan;
“Reformasi belum mengubah banyak.
Dengan sukacita saya membakar sampah.
Menghanyutkan amarah, menemui arah”.

Jambi 2013.

Puisi ini merupakan ‘dialog imajiner” dengan sosok Pramoedya Ananta Toer—seorang sastrawan dan budayawan kebanggaan Indonesia lantaran ide dan pemikirannya brilian. Jumardi Putra sebagai generasi muda membaca sosok dan pemikiran Pramoedya, serta mengidentifikasi alam pikirannya untuk dijadikan bahan dasar melontarkan wacana baru. Ketika para elit politik hanya berebut kursi sebagai tahta kekuasaan, melakukan intrik dan tekanan, manipulasi, kolusi, nepotisme dan lainnya, Jumardi Putra merasa suntuk dan berkehendak agar semuanya ini berakhir. Harapan ini, untuk segera mengakhiri silang-sengkarut wacana mengenai berbagai hal mengenai hidup dan kehidupan merupakan keniscayaan, sebab harapan itu akan tetap tinggal sebagai harapan yang sulit terwujudkan.
Bagaimana seorang Jumardi Putra memandang “Arti kelahiran”? Dalam sebuah puisi di halaman 40 JP menulis seperti ini:

Arti Kelahiran

Masa lalu dilumuti batu-batu
Bagaimana menuju abad berlalu
Bila merasa tak perlu
Duka dihalau tak juga lerai
karena masa depan dituju
tidak dengan rakit bambu
Beribu pertanyaan terus berlaku
karena kelahiran tiba tidak sendirian

Jambi, 2012.

Lahirnya era baru, bangkitnya generasi baru lahir atas kehendak bersama-sama, sebuah perjuangan kolektif untuk menuju cita-cita bersama. Peradaban tak bisa diubah oleh hanya seorang, melainkan harus didukung oleh kerja kolektif—masif sifatnya.

Secara personal, Jumardi Putra tentu sedang membangun sejarahnya sendiri. Ia menjadikan puisi sebagai media bertegur sapa, berdiskusi mengkritisi fenomena yang berkembang. Meski acap bimbang, melalui puisi yang dirangkum dalam buku “Ziarah Batanghari” setidaknya Jumardi Putra berupaya menembang—melagukan gigil peradaban, menguak pintu-pintu sejarah, dan berupaya melihat segala apa yang pernah dicatat dan diingat. Jumardi Putra tentu saja ingin dicatat, dan tak ingin dicatut namanya hanya untuk kebenaran sebuah sejarah. Sejarah pemikiran anak muda telah terhidang di hadapan kita, marilah kita diskusikan bersama.

*Ditulis oleh Dimas Arika Mihardja adalah pseudonim Dr. Sudaryono, lahir di Jogjakarta 3 Juli 1959. Tahun 1985 hijrah ke Jambi menjadi dosen di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Gelar Doktor diraihnya 2002 dengan disertasi “Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia” (telah dibukukan oleh Kelompok Studi Penulisan, 2003). Tulisan di atas merupakan timbangannya terhadap buku puisi Ziarah Batanghari karya Jumadi Putra dalam diskusi yang berlangsung di FKIP Universitas Jambi tahun 2013 dengan judul Teropong Historis untuk Melacak Jejak pada "Ziarah batanghari". Karya tulis Dimas berupa cerpen, esai, dan kritik sastra tersebar di berbagai media massa koran dan jurnal-jurnal ilmiah.

0 Komentar